Bermulalah di sini Gita suci yang dituturkan dari Yang Maha Suci Sri Krishna.
Berkatalah Dhristarashtra :
1. Di
dataran nan suci ini (dharmakshetra), tanah kebenaran, tanahnya para
Kuru, berkumpullah putra-putraku beserta laskar-laskar mereka, dan juga
putra-putra Sang Pandu (Ayahanda Pandawa) bersiap-siap untuk suatu
yudha. Apa saja yang sedang mereka lakukan beritakanlah kepadaku, wahai
Sanjaya.
(Keterangan) Kurukshetra disebut juga
dharmakshetra, terletak di Hastinapura di utara kota New Delhi yang
modern dewasa ini. Tempat ini di masa yang silam dianggap suci karena
sering dipergunakan oleh para resi, kshatrya untuk bertapa, bahkan
kabarnya juga oleh para dewa-dewa. Salah satu kata pertama yang disebut
di sloka pembukaan Bhagavat
Gita di atas ini adalah kata dharma, inilah inti sebenarnya yang harus
diresapkan oleh sidang pembaca. karena inilah salah satu pesan
sesungguhnya Bhagavat Gita. "Bangunlah jiwa dan ragamu dengan dan untuk
dharma." Kata dharma berasal dari kata "Dhru" yang berarti "pegang."
Dharma adalah kekuatan yang memegang hidup ini, dharma tidak terdapat
dalam ucapan-ucapan manis. tetapi adalah kesaktian di dalam jiwa kita
yang merupakan inti dari kehidupan kita.
Bermulalah di sini Gita suci yang dituturkan dari Yang Maha Suci Krishna. Berkatalah Dhristarashtra :
1. Di
dataran nan suci ini (dharmakshetra), tanah kebenaran, tanahnya para
Kuru, berkumpullah putra-putraku beserta laskar-laskar mereka, dan juga
putra-putra Sang Pandu (Ayahanda Pandawa) bersiap-siap untuk suatu
yudha. Apa saja yang sedang mereka lakukan beritakanlah kepadaku, wahai
Sanjaya.
(Keterangan) Kurukshetra disebut juga
dharmakshetra, terletak di Hastinapura di utara kota New Delhi yang
modern dewasa ini. Tempat ini di masa yang silam dianggap suci karena
sering dipergunakan oleh para resi, kshatrya untuk bertapa, bahkan
kabarnya juga oleh para dewa-dewa. Salah satu kata pertama yang disebut
di sloka pembukaan Bhagavat Gita di atas ini adalah kata dharma, inilah
inti sebenarnya yang harus diresapkan oleh sidang pembaca. karena inilah
salah satu pesan sesungguhnya Bhagavat Gita. "Bangunlah jiwa dan ragamu
dengan dan untuk dharma." Kata dharma berasal dari kata "Dhru" yang
berarti "pegang." Dharma adalah kekuatan yang memegang hidup ini, dharma
tidak terdapat dalam ucapan-ucapan manis. tetapi adalah kesaktian di
dalam jiwa kita yang merupakan inti dari kehidupan kita.
Dan
Kshetra berarti padang, ladang atau medan. Seyogyanyalah kita bertanya
pada pribadi kita masing-masing, "apa sajakah yang selama ini yang telah
kutanam dan kupetik dalam hidupku ini, dharma ataukah adarma? Bagi yang
menanam dharma maka hidupnya akan menghasilkan karunia Ilahi, dan yang
telah melakukan adharma maka kita dapat bercermin kepada para Kaurawa.
"Bersiap-siap untuk suatu yudha," Kaurawa menginginkan perang, sedangkan
para Pandawa sebenarnya menginginkan perdamaian. Sang Krishna yang Maha
Bijaksana berusaha agar perdamaian terwujud, tetapi para Kaurawa selalu
menolaknya. maka untuk mempertahankan diri dan menegakkan
dharma/kebenaran terpaksalah para Pandawa berperang walaupun dengan
laskar yang sedikit. Tetapi yang sedikit ini akhirnya akan menang karena
mereka berjalan tegak di jalan kebenaran.
Dalam ucapan
Dhritarashtra yang mengatakan di atas "tanahnya para Kuru" dan juga
'"putra-putraku," tersirat adanya rasa egois atau ahankara (angkara)
yang besar. inilah sebenarnya sumber dari segala tragedi dalam hidup
ini.
Berkatalah Sanjaya :
2. Kemudian pangeran Duryodana, setelah melihat barisan laskar para Pandawa yang teratur rapi, menghampiri gurunya dan berkata.
Yang
dimaksud guru di sini adalah Dronacharya, guru sang Kaurawa dan
Pandawa. Di Baratayudha ini Drona mendukung Kaurawa sampai akhir
hayatnya.
3. Lihatlah wahai guruku, barisan laskar
para Pandawa yang telah siap untuk berperang, mereka semua dipimpin oleh
murid Sang Guru yang bijaksana, yaitu putra Sang Drupada.
Yang
dimaksud "murid yang bijaksana" di sini adalah Dhristadyumna. la adalah
putra Raja Drupada dari kerajaan Panchala. Dia diangkat para Pandawa
menjadi panglima perang untuk pihak Pandawa; Dhristadyumna sebenarnya
masih merupakan saudara ipar para Pandawa Dalam perang ini Resi Dorna
akan membunuh Raja Drupada, kemudian Dhristadyumna akan membunuh Drona.
Disusul putra Drona yang disebut Asvatama kemudian membunuh
Dhristadyumna. Inilah lingkaran karma.
4. Di sinilah
para pahlawan-pahlawan besar berkumpul, dari Bima, Arjuna dan yang tak
kalah kehebatannya yaitu Yuyudana, Virata dan Drupada.
5. Juga
Dhrishtaketu, Chekitana dan raja besar dari Kashi, Purujit, Kuntiboja
dan Shaibya, semuanya pendekar-pendekar nan sakti wirawan.
6. Juga yang gagah berani yaitu, Yudhamanyu dan Uttamauja, Saubadra dan putra-putra Draupadi.
Bima : Putra kedua dari Pandu. yang kedua dari para Pandawa.
Arjuna : Yang ketiga dari Pandawa bersaudara, dan yang paling dikasihi Sang Krishna.
Yuyudana : Disebut Juga Setyaki. pahlawan yang gagah perkasa.
Virata:
Raja dari Matsya-desha. seorang raja nan arif bijaksana. Selama
pengasingan para Pandawa di hutan (13 tahun lamanya), tahun terakhir
pengasingan ini para Pandawa menyamar dan bersembunyi di istana Raja
Virata. Alkisah putri sang raja kemudian dikawinkan dengan Abimanyu,
putra Arjuna.
Dhristaketu: Putra Sishupala, raja dari Chedi-desha.
Chekitana: Salah satu pendekar yang gagah berani yang memimpin salah satu dari tujuh divisi laskar Pandawa.
Purujit dan Kuntibhoja: Saudara-saudara laki dari ibu Kunti, ibunya sang Pandawa,
Shaibya:
Raja suku Sibi. Duryodana menyebutnya sebagai banteng diantara manusia,
karena ia adalah seorang pendekar sakti yang bertenaga luar biasa.
Yudhamanyu dan Uttamauja:
Pangeran-pangeran dari Panchala, juga merupakan pendekar-pendekar nan
sakti-wirawan. Keduanya dibunuh Ashvathama sewaktu sedang tidur.
Saubhadra:
Putra Arjuna dan Subadra (adik sang Krishna). la dikenal juga dengan
nama Abimanyu. Dalam perang ini ia memperlihatkan kepahlawanannya yang
luar biasa.
Putra-putra Draupadi: Mereka berjumlah lima orang, yaitu Prativindhya, Srutasoma, Srutakirtti, Satanika dan Srutukarman.
Pendekar-pendekar
di atas semuanya kalau bekerja untuk perdamaian niscaya akan
menghasilkan suatu suasana damai bagi semuanya, tetapi rupanya takdir
menentukan yang lain, dan itulah misteri Ilahi yang tak akan mungkin
terjangkau oleh kita manusia ini.
7. Ketahuilah juga, oh Engkau yang teragung di antara yang
dilahirkan dua kali, pemimpin-pemimpin dan pendekar-pendekar di pihak
kami, akan kusebutkan mereka demi Engkau yang kuhormati,"Yang
teragung diantara yang dilahirkan dua kali" adalah ungkapan yang
ditujukan kepada Resi Drona, karena sang resi ini adalah seorang
brahmana dan biasanya kaum brahmana dianggap lahir dua kali. Maksudnya:
pertama seorang brahmana harus lahir di dunia fana ini, tetapi di dunia
ini ia harus menjalani kehidupan kebatinan demi Sang Maha Esa, jadi
"lahir" lagi dengan meninggalkan semua nafsu keduniawian demi
pengabdiannya ke masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. Inilah tugas
seorang Brahmana seharusnya.
8. Pertama-tama
Dikau yang mulia Drona, kemudian Bhisma, Karna dan Kripa yang tak
terkalahkan dalam setiap yudha, juga Ashvatama, Vihana dan putra
Somadatta.
9. Dan banyak lagi
pahlawan-pahlawan lainnya yang bersedia mengorbankan jiwa-raga mereka,
bersenjatakan berbagai senjata-senjata yang sakti, kesemuanya ahli-ahli
perang yang tiada taranya.
• Bhisma:
Pendekar tua yang ditunjuk menjadi panglima tertinggi di pihak Kaurawa,
yang sebenarnya masih "kakek" para Kaurawa dan Pandawa, Bhismalah
sebenarnya yang membesarkan raja Dhristarashtra dan para
Kaurawa-Pandawa. Beliau amat mencintai para Pandawa, tetapi dalam perang
ini beliau berpihak kepada para Kaurawa karena berhutang budi dan setia
kepada Kaurawa sesuai dengan janjinya. Tetapi Bhisma pernah bersumpah
dihadapan Duryodana tak akan pernah membunuh para Pandawa; dalam perang
Baratayudha ini Bhisma membuktikan kehebatannya sampai akhir hayatnya.
• Karna:
Saudara tiri para Pandawa, adalah teman akrab Duryodana. Oleh
Duryodana, Karna diangkat menjadi raja Anga (sekarang disebut daerah
Bengal di India). Sebenarnya Karna adalah seorang kshatrya maha-sakti
yang penuh dengan kasih-sayang kepada sesamanya, tetapi terikat sumpah
setianya kepada Duryodana maka ia memilih pihak Kaurawa, Setelah matinya
Drona, Karna diangkat menjadi panglima tertinggi Kaurawa tetapi hanya
berlangsung dua hari saja, karena kemudian ia mati di tangan Arjuna,
saudara tirinya sendiri. Beginilah kehendak Dewata.
• Kripa: Saudara ipar resi Drona. Ia adalah diantara tiga pendekar dari pihak Kaurawa yang tidak gugur dalam perang Baratayudha.
• Ahsvatama: Putra resi Drona, juga salah seorang panglima perangnya Kaurawa yang terkenal liciknya.
• Vikarna: Putra ketiga raja Dhristarashtra, adik Duryodana.
• Putra Somadatta: Somadatta adalah raja dari negara Bahikas yang membantu Kaurawa.
10. Tak
terhitung jumlah laskar kita yang dipimpin oleh Sang Bhisma, sedangkan
dipihak mereka (Pandawa) yang dipimpin oleh Bima, jumlah laskar mereka
sangat mudah untuk dihitung.Sebenarnya jumlah
tentara Kaurawa memang lebih banyak dari pihak Pandawa, kabarnya Kaurawa
mempunyai laskar lebih banyak empat divisi dibandingkan pihak Pandawa.
Ada juga yang menyebutnya berlipat ganda.
11. Dan
telah diatur sedemikian rupa sehingga setiap pendekar dan pimpinan
divisi berada pada posisi masing-masing dan menjaga Bhisma dengan baik.
Oleh
sementara ahli, ucapan-ucapan Duryodana di atas dianggap juga sebagai
ungkapan rasa khawatir Duryodana yang merasa di pihak Pandawa terdapat
lebih banyak pahlawan-pahlawan sakti, walaupun jumlah laskar mereka
lebih sedikit.
12. Untuk memberi semangat kepada
Duryodana, Sang Bhisma yang bijaksana meniup sangkalalanya yang
mengeluarkan suara seakan-akan auman dahsyat seekor singa.
13. Kemudian
dari segala penjuru tambur-tambur dan sangkalala dibunyikan oleh semua
pihak, dan hiruk-pikuklah suasana waktu itu dipenuhi suara-suara ini.
14. Kemudian,
duduk di kereta perang nan agung, dengan pasangan-pasangan kuda-kuda
putih, Sang Krishna dan Arjuna masing-masing meniup sangkalala mereka.
15. Sang
Krishna meniup sangkalalanya yang bernama Panchjanya, dan Arjuna meniup
sangkalalanya yang bernama Devadatta, sedangkan Bhima yang perkasa
meniup sangkalalanya yang nampak besar, kekar dan kuat, bernama Paundra,
16. Raja Yudhistira, putra ibu Kunti, meniup Anantawijaya, Nakula dan Sahadewa masing-masing meniup Sugosha dan Manipuspaka.• Raja
Yudhistira: Yang tertua di antara Pandawa adalah seorang maha-raja yang
berwatak tenang, penuh kasih-sayang dan amat bijaksana dalam segala
tindak-tanduknya, tak pernah bohong dalam segala hal. Beliau dikenal
lebih sebagai seorang negarawan daripada seorang pendekar yang gemar
berperang. Sangkalala yang dimilikinya disebut Anantavijaya yang berarti
"kemenangan tanpa akhir" atau juga disebut "suara-kemenangan."
• Nakula: Putra keempat Pandawa dikenal amat mahir berkuda, sangkalalanya bernama Sagosha yang berarti "bersuara indah."
• Sahadewa
(Sadewa): Putra Pandu yang paling bungsu memiliki sangkalala yang
bernama Manipuspaka yang berarti "mutiara yang mekar" atau "bunga-bunga
mutiara," karena sangkalala yang satu ini teramat indahnya, selain
bentuknya laksana mutiara ditaburi pula dengan mutiara-mutiara asli yang
indah.
17. Juga yang ikut meniup sangkalalanya
masing-masing adalah raja dari Kashi yang memimpin laskar pemanah,
kemudian Sikhandi (Srikandi) yang gagah perkasa, Dhristadyumna, Virata
dan Satyaki (Setiaki) yang tak terkalahkan.
18. Juga Drupada dan putra-putra Draupadi, dan juga Saubhadra, semuanya meniup sangkalala mereka dari setiap jurusan.Shikandi
(Srikandi) di India sering disebut juga sebagai putra raja (sebenarnya
ia seorang banci) Drupada, di Indonesia ia dikenal sebagai pahlawan
wanita, merupakan titisan dewi Amba yang menuntut balas kepada Bhisma.
Panahnya akan menghabisi nyawa Bhisma dalam perang ini. Satyaki adalah
sais kereta perang pribadi Sang Krishna.
19. Suara-suara
dahsyat sangkalala-sangkalala ini memenuhi langit dan bumi tanpa
henti-hentinya dan menjatuhkan semangat putra-putra Kaurawa.
20. Kemudian
Arjuna yang di kereta perangnya terdapat panji bergambarkan Hanoman,
memandang ke arah putra-putra Dhristarashtra yang telah siap untuk
berperang; dan tak lama kemudian ketika perang akan segera dimulai,
Arjuna memungut busur panahnya.
21. Dan berkata kepada Sang Krishna:
Berkatalah Arjuna :
22. Ingin
kulihat semua yang ada di medan ini, mereka yang telah bersiap-siap
untuk berperang, dengan siapa aku nanti harus berlaga.
23. Ingin
kulihat mereka-mereka yang berkumpul di sini, yang berhasrat untuk
mendapatkan sesuatu yang berharga bagi putra-putra Dhristarashtra yang
berhati iblis itu.
Berkatalah Sanjaya :
24. Setelah
Arjuna selesai dengan kata-katanya, Sang Krishna pun mengarahkan kereta
perangnya, kereta yang terbaik diantara semua kereta-kereta perang, ke
tengah-tengah, diantara kedua laskar yang berbaris rapi.
25. Di hadapan Bhisma, Drona dan pendekar-pendekar lainnya.
Berkatalah Krishna :
Lihatlah, oh Arjuna, para Kuru yang sedang berkumpul (di sini).
26. Dan
Arjuna pun melihat paman-pamannnya, para sesepuh (kakek-kakek),
guru-guru, saudara-saudara dari ibunya, putra-putra dan para cucu, misan
dan sahabat-sahabatnya, berdiri berbaris rapi.
27. Juga
terlihat ayah-mertuanya dan para teman yang terdapat di kedua belah
pihak. Melihat jajaran sanak-saudaranya yang berbaris rapi ini, Arjuna.
28. Tergetar penuh dengan rasa iba dan berkata pilu.
Berkatalah Arjuna :
Melihat jajaran keluargaku ini, oh Krishna, bersiap-siap untuk berperang.
29. Sendi-sendi badanku terasa lemas dan bibirku terasa rapat, seluruh tubuhku tergetar dan rambutku tegak berdiri.
30. Busur
Gandivaku terlepas dari tanganku dan seluruh kulitku terasa terbakar;
tak kuat aku berdiri tegak lagi; kepalaku serasa berputar-putar.
31. Dan
kulihat pertanda iblis, oh Krishna! Tak kulihat sesuatu apapun yang
baik dengan membunuh sanak-saudaraku dalam perang ini.
32. Tak
kuinginkan kemenangan, oh Krishna, tidak juga aku menginginkan kerajaan
atau pun kesenangan-kesenangan. Apakah arti sebuah kerajaan untuk kami,
oh Krishna, atau pun apakah arti dari kesenangan bahkan hidup ini ?
33. Mereka-mereka
ini sekarang berjajar rapi untuk mengorbankan hidup dan harta-benda
mereka, sedangkan kami menginginkan kerajaan, kemewahan dan kesenangan,
bukankah sebenarnya semua itu diperjuangkan untuk mereka juga.
34. Yang
terdiri dari para guru, ayah, putra-putra dan para kakek, paman,
mertua, cucu, saudara-saudara ipar dan sanak-saudara lainnya.
35. Aku
tak akan membunuh siapapun juga, walaupun aku sendiri boleh mati
terbunuh, oh Krishna, takkan kuberperang walaupun aku sanggup
mendapatkan ketiga dunia ini; apalagi hanya untuk satu yang bersifat
duniawi ini ?
36. Setelah membantai
putra-putra Dhristarastra, kenikmatan apakah yang dapat kita miliki,
wahai Krishna? Setelah membunuh penjahat-penjahat ini, kita sendiri akan
tercemar oleh dosa-dosa ini.
37. Tak benar bagi kita untuk membunuh sanak-saudara
sendiri, yaitu putra-putra Dhristarashtra. Sebenarnya, wahai Krishna,
mana mungkin kita 'kan bahagia dengan membunuh keluarga kita sendiri?
Arjuna
adalah seorang pahlawan besar, tetapi menghadapi situasi yang unik ini,
ia terhempas ke dalam suatu keragu-raguan yang dalam. Arjuna ke
Kurukshetra untuk berperang tetapi tiba-tiba ia tak sampai hati untuk
membunuh sanak saudaranya sendiri, walaupun ia tahu mereka-mereka ini
berhati iblis. Tiba-tiba ia ragu untuk maju, gundahlah Arjuna dalam "ke
akuan" nya. Bukanlah kita manusia ini sering juga mengalami
tekanan-batin yang berat dalam mengambil suatu keputusan yang
maha-penting ? Bukankah rasa iba sering kali membuka pintu kelemahan
kita dan mengantarkan kita ke arah kehancuran itu sendiri'1 Itu semua
karena kita terikat akan sanak-keluarga, harta-benda, nama posisi kita
dalam masyarakat. Menjadi budak dari adat-istiadat demi kepentingan
egois orang lainnya.
Arjuna terjebak oleh rasa ibanya, oleh
adat-istiadat dan simbol-simbol duniawi. Ia lupa tugas manusia
sesungguhnya adalah demi dan untuk Yang Maha Esa, dan jalan ke Dia
berarti meninggalkan semua milik duniawinya baik yang berbentuk konkrit
(nyata) maupun yang berbentuk abstrak. Dalam agama Kristen kita
menjumpai suatu persamaan dalam hal ini, Nabi Isa (Yesus) pernah
bersabda: "Seandainya seseorang datang kepadaKu tetapi belum bersedia
meninggalkan ayah-bundanya, anak-istrinya, dan saudara-saudaranya, maka
ia tidak akan menjadi muridKu." Begitu pun dalam agama Hindu sering kita
jumpai tokoh-tokoh spiritual di masa-masa yang silam yang harus
meninggalkan "semua miliknya," kalau sudah memilih jalanNya.
Ini
bukan berarti Sang Krishna mengecam "rasa-iba" atau perasaan "simpati"
atas penderitaan seseorang: rasa-iba sebenarnya adalah sifat seorang
yang satvik, tetapi rasa-iba yang sejati menurut versi Bhagavat Gita
adalah yang tanpa moha, yaitu keterikatan secara duniawi. Rasa iba yang
sejati adalah ekspresi dari cinta atau kasih sayang dari seseorang yang
penuh dengan rasa "welas-asih," dan tidak seseorang pun akan dapat
mencintai sesuatu/seseorang dengan sejati tanpa memasuki "sinar
pengetahuan Ilahi," dan bersedia berjalan lurus (tanpa keterikatan
duniawi apapun juga) di jalannya sang dharma.
Di atas, untuk
sejenak Arjuna rupanya lupa akan dharmanya. Arjuna lupa dan belum sadar
bahwa sanak-saudaranya yang sebenarnya bukanlah yang lahir secara fisik
sebagai adik, kakak, ayah, ibu, paman, kakek, dsb, tetapi sanak-saudara
yang sejati adalah mereka yang mencintai Yang Maha Esa dan jalan di
jalan lurus Sang Dharma. Merekalah sanak-saudara kita yang sejati, tulus
dan seiman dalam naungan Yang Maha Esa.
Arjuna masih hilang dalam
kealpaannya. la lupa bahwa dharma mengharuskan seseorang untuk
melaksanakan semua kehendak Yang Maha Esa tanpa pamrih, sama sekali
tanpa imbalan sesuatu apapun juga baik itu pahala atau pintu surga,
tanpa apapun juga, titik. Hanya bekerja untuk dan demi Dia! Rasa iba
yang sejati harus didasarkan atas dharma. Sang Rama sendiri untuk
menegakkan dharma berperang melawan Rahwana, dan di Bhagavat Gita Sang
Krishna menganjurkan jalan yang sama kepada Arjuna, agar Arjuna lepas
dari choka (kesedihan) dan moha (keterikatan atau cinta duniawi).
Di
dalam Bhagavat Gita ajaran penting yang tersirat adalah "bunuhlah atau
kekanglah pintu-pintu nafsumu." Agama-agama yang lain pun selalu
mengajarkan hal yang sama: Zoroaster misalnya mengatakan "berperanglah
terhadap iblis tanpa henti-hentinya," Sang Buddha berperang dengan Sang
Mara, Yesus berperang dengan Syaitan, dan masih banyak contoh dari
agama-agama yang lain. Arjuna di atas masih lupa bahwa ia harus
berperang melawan Duryodana demi tegaknya dharma.
38. Dengan
hati yang dikuasai oleh keserakahan, maka tidak terlihatlah kesalahan
ini yang akan mengakibatkan hancurnya keluarga kita dan penghianatan
atas teman-teman dan para sahabat.
39. Mengapa
kita tidak memiliki kebijaksanaan untuk menjauhi dosa semacam ini,
wahai Krishna - bukankah kita melihat kesalahan ini akan mengakibatkan
kehancuran keluarga kita?
Arjuna masih menilai
bahwa sesuatu kewajiban harus dilaksanakan dengan memikirkan imbalan
yang duniawi sifatnya. Sedangkan dharma yang sejati tidak menuntut
apa-apa. Dharma harus ditegakkan demi Yang Maha Kuasa, dan apapun yang
diberikanNya sesudah itu, baik yang menyenangkan untuk kita atau yang
membuat kita menderita karenanya, haruslah diterima sebagai
pemberianNya. Dan itu harus ihlas, tanpa pamrih. Semua dharma kita
adalah kewajiban dan persembahan kita kepadaNya, bahkan harus penuh
dengan tanggung-jawab yang tulus kepadaNya bukan kepada kehendak
unsur-unsur duniawi yang banyak terdapat disekitar kita, yang kalau
dihitung seakan-akan tiada habisnya.
40. Dengan
hancurnya sebuah keluarga, hancurlah juga semua tradisi-tradisi lama
kita (kuladharma), dan dengan hancurnya tradisi-tradisi, larangan dan
segala peraturan-peraturan nenek-moyang kita, maka kekacauan akan
menguasai keluarga kita semuanya.
41. Dan
kalau kekacauan ini (adharma) berkelanjutan, maka wahai Krishna,
wanita-wanita dalam keluarga ini akan berjalan serong. Dan kalau para
wanita kita telah berlaku serong, oh Krishna akan terjadi percampuran
dalam sistim kasta.
Arjuna amat khawatir
bahwa kehancuran dalam keluarga besar mereka akan menghancurkan juga
nilai-nilai lama tradisi mereka, dan lebih dari itu, juga akan
menghancurkan sistim kasta yang mereka pegang teguh.
Di dalam
Bhagavat Gita, kita akan menemukan bahwa sistim kasta yang dianut secara
diskriminasi adalah salah, suatu yang tidak senafas dengan inti ajaran
Bhagavat Gita. Peranan wanita dalam agama Hindu sebenarnya sangat vital
dan suci, nasib sesuatu bangsa maupun keluarga sering sekali ditentukan
oleh peranan seorang wanita yang dalam hal ini bisa berupa seorang ibu,
istri, dan sebagainya. Tidaklah mengherankan kalau Arjuna sangat gundah
akan hancurnya moral para wanita dalam keluarga besar mereka. Semenjak
masa silam, para wanita dalam agama Hindu selalu mendapatkan posisi yang
agung dan suci, penuh tugas untuk dharma. Derajat mereka sebenarnya
lebih suci dari para pria dan nilai mereka lebih tinggi. Ini dapat
dibuktikan dari kedudukan para dewa-dewi dalam legenda-legenda Hindu,
juga suatu upacara suci tidak akan sah kalau tidak dihadiri seorang
wanita, juga peranan gadis-gadis yang masih suci amatlah vital dalam
upacara untuk para leluhur dan tentunya masih sekian banyak
contoh-contoh lainnya yang dapat kita baca sendiri di epik Mahabarata
dan Ramayana di mana peranan wanita amat menonjol penuh kebajikan.
42. Dan
kekacauan ini akan menjerumuskan, baik keluarga kita maupun yang
menghancurkan nilai-nilai tradisi, ke neraka. Dan arwah para leluhur pun
akan terabaikan karena tak akan mendapatkan air dan sesajen (yang
berbentuk bulatan terbuat dari beras).
Arjuna
amat khawatir kalau peperangan ini akhirnya malah merusak nilai-nilai
tradisi lama dan agama mereka, sehingga arwah para leluhur pun ikut
makan getahnya dengan tidak mendapatkan sesajen lagi. Biasanya para
wanitalah yang mengatur sesajen ini pada upacara-upacara keagamaan
tertentu. Kalau wanita-wanita dalam keluarga mereka sudah tidak setia
lagi kepada leluhur mereka tentu akan timbul kekacauan dalam tradisi
ini, pikir Arjuna. Upacara sesajen untuk para leluhur disebut shraddha.
43. Karena
ulah yang menghancurkan keluarga kita ini, terciptalah kekacauan dalam
sistim varna (kasta) yang ada dalam tradisi kaum kita dan hancurlah
keluarga ini.
44. Dan kami dengar, wahai Krishna, bahwa barang siapa kehilangan nilai-nilai tradisi keluarga, mereka akan tinggal di neraka.
45. Aduh, Betapa besarnya dosa yang harus kita pikul dengan membunuh sanak-keluarga hanya demi kemewahan sebuah kerajaan.
46. Lebih baik aku dibantai putra-putra Dhristarastra dengan senjata mereka, dan tak akan kulawan mereka.
Berkatalah Sanjaya :
47. Setelah
mengatakan hal-hal tersebut (di medan perang), Arjuna terjatuh ke
sandaran kursi (kereta perangnya), dan menghempaskan panah serta
busurnya; seluruh jiwanya tercekam dengan rasa gundah-gulana.
Arjuna
sebenamya adalah seorang kshatrya yang bersih, tetapi pada saat ini
hatinya diselimuti awan tebal. la sebenarnya, seakan-akan berbicara
tentang vairagya (penyerahan diri secara total), tetapi hal ini
dilakukannya karena keterikatannya kepada sanak-keluarga dan harta
duniawi, bukan vairagya kepada Yang Maha Esa.
Banyak yang
bertanya apa perbedaan antara cinta (moha) dan cinta-sejati? Yang
pertama adalah kulit luarnya yang selalu terikat pada sesuatu benda atau
seseorang secara duniawi, sedangkan cinta-sejati adalah suatu ekspresi
dari suatu kesadaran yang dianugerahkan oleh Yang Maha Esa kepada kita
semuanya yang sebenarnya penuh dengan rasio, pertimbangan, dan
perhitungan yang penuh tanggung jawab baik kepada masyarakat maupun Yang
Maha Pencipta.
Cinta sejati tidak terikat pada batas-batas
pribadi seseorang. Arjuna tidak dapat berperang karena ia masih terikat
dalam batas-batas "miliknya," ia masih mencintai semua sanak-keluarganya
dalam batas duniawi. Arjuna lupa akan akhir hidup kita semuanya, tidak
ada sesuatu apapun yang akan kita bawa kembali ke alam sana, karenanya
Arjuna masih harus belajar tentang nishkama-karma (sesuatu tindakan atau
pekerjaan tanpa mengharapkan pamrih).
Sang Krishna maklum
Arjuna sedang mengalami depresi mental yang sangat berat, Beliaupun
memulai ajaran-ajaranNya demi membangun lagi jiwa-raga Arjuna agar
terjun lagi penuh semangat dan vitalitas untuk menghadapi hidup ini yang
penuh dengan segala cobaan tetapi juga tugas-tugas dari Yang Maha
Pencipta untuk kita semua.
Inti ajaran Bhagavat Gita
adalah, pembinaan mental diri kita sendiri secara batin. Gita
mengingatkan dan sekaligus mengajarkan bahwa kelemahan adalah dosa;
sesuatu kekuatan diri haruslah dibina dengan disiplin yang kuat dan
tanpa pamrih. Kekuatan ini harus bersih dari segala unsur-unsur duniawi
dan penuh dengan gairah hidup demi dharma kita kepadaNya. Pesan Sang
Krishna dalam Bhagavat Gita adalah "berdirilah dan berperanglah melawan
kebatilan." Hidup adalah perjuangan demi nilai-nilai kebenaran; hidup
juga adalah sebuah kuil atau pura dari pemujaan kita kepadaNya tanpa
pamrih. Maju terus pantang mundur demi dharma-bhaktimu kepadaNya, bukan
kepada hasrat-hasrat pribadimu dalam bentuk apapun juga.
Dalam
Upanishad Bhagavat Gita, bab yang pertama ini disebut sebagai
Ilmu-Pengetahuan tentang Ilahi, sebuah Karya Sastra yang berbentuk
dialog antara Sang Krishna dan Arjuna yang disebut juga Arjuna Vishada
Yoga atau Yoga Sang Arjuna dalam Kedukaannya.
Bab
pertama disebut "Vishada Yoga." Vishada berarti depresi (karena duka),
yoga di sini berarti bagian atau bab. Vishada yoga adalah permulaan dari
Bhagavat Gita. Sebenarnya kalau ditelaah secara mendalam, maka rasa
depresi atau Vishada ini adalah anak tangga pertama menuju ke kehidupan
spirituil atau kebatinan. Setiap manusia harus mengalaminya setelah
tersandung dalam berbagai aspek kehidupannya yang gagal, dan masuklah ia
kemudian ke dalam suatu kegelapan seakan akan tanpa jalan keluar,
kemudian barulah ia meniti secara perlahan dari gelap menuju ke terang.
Dalam setiap depresi ini kalau sudah tidak terlihat jalan keluar maka
kita akan berteriak dalam kedukaan yang amat dalam: "Apakah arti
kehidupan ini? Apakah arti semuanya ini? Mengapa kita harus dilahirkan?
Kemana kita akan pergi sesudah mati nanti? Dan sering sekali kita
mengucapkan, "Oh Tuhanku mengapa Kau lupakan daku?" Mengapa Kau
tinggalkan daku sendiri dalam duka ini?" dan "Oh Tuhan Dikau tak adil
pada ku?" dan lain sebagainya, sebagai tanda-tanda frustrasi dalam diri
kita,
Setiap manusia kemudian harus masuk ke dalam
suatu keheningan sebelum ia kemudian melangkah masuk dalam suatu bentuk
ilmu pengetahuan tentang dirinya sendiri. Dalam keheningan ini setelah
membunuh atau menguasai semua bentuk rasa egonya baik yang berbentuk
positif (baik) maupun negatif (buruk), ia akan menemukan bahwa ia tidak
berdiri sendiri dan semua ini ada yang mengatur. la akan menemukanNya,
yang selalu mengayominya, menuntunnya dan kasih-sayang kepadanya. la
(Yang Maha Esa) selalu hadir dalam setiap agama dengan bentuk dan versi
yang berlainan sesuai dengan kepercayaan masing-masing individu; dalam
Hindhu Dharma Ialah Sang Krishna (Ilahi dalam bentuk manusia), Sang
Penuntun jalan kehidupan kita. Camkanlah bahwa untuk mendapatkan
penerangan, seseorang melalui jalan takdir biasanya harus mengalami
kegelapan dulu. Begitu juga Arjuna dan begitu juga kita manusia, sampai
suatu saat nanti, kita pun, seperti Sang Arjuna akan mengucapkan:
Engkaulah yang Terutama,
Engkaulah Tujuan yang Tertinggi,
Dari ujung ke ujung Kau penuhi alam semesta ini,
Oh Dikau Bentuk yang Tanpa Batas (Anantarupam). [XI, 38]


