Berkatalah Sanjaya :
1. Sri Krishna pun penuh dengan
perasaan iba bersabda kepada Arjuna yang sedang dalam keadaan gundah,
dan kedua matanya penuh dengan linangan air mata dan merasa dirinya
tanpa semangat dan harapan lagi.
Berkatalah Sri Krishna Yang Maha Pengasih :
2. Dari
manakah timbulnya depresi batinmu ini, pada saat-saat yang penuh dengan
krisis seperti ini? Menolak berperang adalah tidak pantas untuk seorang
Aryan. Penolakan ini akan menutup pintu masuk ke sorga. Penolakan ini
adalah puncak dari kehinaan, oh Arjuna!
3. Janganlah bertindak sebagai seorang pengecut, oh
Arjuna! Tiada laba yang akan kau petik dari kelakuanmu ini. Buanglah
jauh-jauh kelemahan hatimu. Bangkitlah, wahai Arjuna!
Berkatalah Arjuna :
4. Bagaimana
mungkin, wahai Krishna, daku menyerang Bhisma dan Drona dengan
panah-panahku dalam perang ini? Bukankah mereka sebenarnya layak untuk
dijunjung tinggi, oh Krishna?
5. Lebih
baik hidup sebagai pengemis di dunia ini, daripada membantai para guru
yang agung ini. Dengan membunuh mereka, yang kudapatkan hanyalah
kepuasan yang bergelimang darah!
6. Juga kami tak tahu manakah
yang lebih baik - kami mengalahkan mereka atau mereka mengalahkan kami.
Dengan membunuh putra-putra Dhristarashtra, yang berdiri sebagai lawan,
berarti juga menghilangkan sendi-sendi kehidupan (keluarga besar
mereka).
7. Seluruh svabhavaku
(jiwa-ragaku), serasa sedang dirundung rasa lemas dan rasa iba, dan
hatiku bimbang untuk melaksanakan kewajibanku ini. Maka kumohon
kepadaMu. Ajarilah daku, sesuatu yang pasti, yang manakah yang lebih
baik. Daku adalah muridMu.* Daku berlindung di dalam diriMu. Ajarilah
daku.**
Arjuna terombang-ambing di antara
kesedihannya dan rasa tanggung jawabnya dalam menunaikan kewajibannya
sebagai seorang kshatrya. Dan puncak dari keragu-raguannya ini adalah
berpasrah diri kepada Sri Krishna agar ditunjukkan jalan yang benar dan
pasti.
*
Aku adalah muridmu dan aku sedang mencari penerangan': inilah kira-kira
yang dimaksud oleh Arjuna. Dalam hidup ini ada tiga tahap untuk seorang
jignasu (seseorang yang mencari): pertama-tama ia akan masuk dalam
tahap "mencari," kedua ia akan menjadi seorang murid, seorang yang ingin
sekali belajar sesuatu dan pada tahap ketiga ia menjadi seorang "anak"
dari sang Guru untuk kemudian dituntun. Selanjutnya sang jignasu akan
masuk kedalam suatu tahap yang "tenang" dan tidak lagi dalam keadaan
"depresi."
** 'Ajarilah daku' dalam bahasa Sansekertanya adalah
"shadhi mam" yang juga dapat berarti pengaruhilah daku. Seorang Guru
kebatinan tidak saja mengajari muridnya dengan ajaran secara verbal
maupun tertulis tetapi juga akan menimbulkan suatu "shakti atau "energi"
di dalam diri seorang murid. Dalam pengembaraan kita dari setitik atom
sampai ke Atman (Inti-Jiwa kita), kita semua memerlukan sebuah jembatan,
dan jembatan ini adalah seorang Guru yang sejati. Carilah dia dan
berlindunglah di dalamnya, niscaya kau akan berhasil melalui jembatan
ini ke tujuanmu. Tetapi ingat seorang guru bukan untuk berbantah-bantah,
seorang guru adalah penuntunmu, dan engkau harus tulus jiwa- dan ragamu
dalam pengabdianmu kepadanya, dan barulah jalan akan terbuka, bukan
dengan berdebat kepadanya.
8. Rasa bimbang ini
merubah seluruh indraku menjadi layu. Aku tak melihat masa depan, walau
seandainya aku berkuasa tanpa batas atas seluruh permukaan bumi ini atau
pun atas para Dewa-Dewa.
Berkatalah Sanjaya :
9. Setelah
ucapan-ucapan Arjuna ini selesai, Arjuna berkata kepada Sri Krishna:
"Aku tak akan berperang." Dan dengan kata-kata ini Arjuna pun langsung
berdiam diri.
Arjuna bersikap diam diri. Diam atau pun hening sebenarnya adalah salah satu "guru" kita.
10. Kemudian
Sri Krishna penuh dengan senyuman bersabda kepada Arjuna yang masih
diliputi kedukaannya (masih terduduk) di kereta yang berada di antara
kedua laskar ini.
Krishna tersenyum karena ia
mengetahui bahwa kesedihan Arjuna sebenarnya adalah proses cinta-duniawi
yang terpengaruh oleh ilusi Sang Maya. Arjuna sedih karena belum
memiliki ilmu pengetahuan yang sejati. Arjuna harus melewati dulu semua
rasa egonya baik yang buruk maupun yang baik, untuk mencapai suatu
"pengertian" tentang hidup ini.
Sri Krishna tersenyum karena Ia
sadar bahwa Arjuna harus melalui proses "habis gelap terbitlah
terang." Arjuna harus disadarkan dan diluruskan jalan pikirannya
bahwa tradisi lama memang tidak boleh dibunuh tetapi sebaliknya harus
dimanfaatkan sebagai alat bagi langgengnya kebenaran untuk segalanya.
Keadilan harus ditegakkan kalau tidak agama dan tradisilah yang akan
menuju ke arah kehancuran total.
Sri Krishna tersenyum karena
apa yang diutarakan oleh Arjuna adalah kulit-luar dari kitab-kitab
shastra dan Upanishad. Arjuna lupa akan isi ajaran-ajaran semua itu
dalam bentuk yang sebenarnya. Apakah dharma itu sebenarnya? Arjuna alpa
akan hal itu, baginya dharma adalah tradisi dan peraturan yang sesuai
dengan adat-istiadat ritual; bagi Sri Krishna dharma adalah suatu
peraturan atau tata-cara atau hukum yang menganjurkan/mewajibkan
seseorang untuk bekerja demi Yang Maha Esa, sesuai dengan segala
kehendakNya, untuk mereka-mereka yang menderita dan tersiksa dan
diperlakukan tidak adil, dan semua itu tanpa pamrih dalam bentuk apapun
juga, tetapi diserahkan kembali kepada Yang Maha Esa.
Berkatalah Sang Maha Pengasih :
11. Dikau bersedih
hati untuk mereka yang seharusnya tidak perlu dikau risaukan, tetapi
dikau bertutur seakan dikau amat bijaksana. Seseorang yang bijaksana tak
pernah bersedih baik untuk yang hidup maupun untuk yang telah tiada.
Kesedihan
Arjuna adalah berdasarkan kebodohan, Arjuna tidak sadar akan arti hidup
dan mati yang sebenarnya, kedua-duanya adalah permainan Sang Maya
(Ilusi-Ilahi), Inti-Jiwa (Atman) kita tak akan pernah mati. Seseorang
yang bijaksana akan terus jalan dalam hidup ini penuh dengan dedikasi
akan tugas-tugasnya bagi Yang Maha Esa tanpa perduli akan ilusi yang
beraneka-ragam bentuknya yang selalu mencoba mencengkeram kita dengan
berbagai cara yang baik maupun yang buruk, baik dengan jalan kekerasan
maupun kasih-sayang (moha). Bukankah Columbus yang terserang badai dalam
suatu pelayarannya pernah berteriak, Lajulah terus, terus dan terus. Di
dunia ini tidak ada jalan mundur, yang ada hanyalah jalan terus baik
kita mau atau tidak. Tidak ada jalan lain.
Bab ini disebut Sankhya
Yoga yang berarti yoga Kebijaksanaan, kebijaksanaan yang disarikan dari
seluruh Upanishad-Upanishad. Sloka 11-38, akan banyak mengupas soal
kebijaksanaan ini.
12. Tiada waktu di mana Aku tak
pernah hadir dan juga engkau, juga mereka-mereka ini, dan juga semuanya,
dan kita semua akan selalu terus hadir.
Badan atau
raga kita akan selalu hidup dan mati sesuai dengan masa pakainya,
tetapi Inti-Jiwa (Atman) akan selalu mengembara dari satu raga ke raga
yang lainnya, tanpa henti sesuai dengan karmanya. Inilah yang harus
disadari Arjuna. Seseorang sebenarnya tidak pernah mati, yang mati
adalah raganya, suatu permukaan kasar yang merupakan medium belaka. Raga
selalu menikmati semua kesenangan dan juga merasakan penderitaan yang
diakibatkan oleh kesenangan itu, tetapi Atman akan jalan terus tanpa
terkontaminasi sedikitpun. Arjuna dalam kebodohannya mencampur-adukkan
antara yang "nyata" dengan yang "tidak nyata."
13. Sang
Inti Jiwa ini berkelana dari satu raga ke raga lainnya sambil melewati
masa kanak-kanaknya, masa remaja dan masa tuanya. Seorang yang bijaksana
akan maklum akan semua ini dan tidak terpengaruh oleh ilusi ini.
Timbul
pertanyaan mengapa Sang Jiwa selalu berkelana dari satu raga ke raga
yang lainnya, tidak lain karena harus melalui berbagai perjalanan yang
sudah digariskan oleh Yang Maha Pencipta, dan merupakan pengalaman untuk
memperkaya diri Sang Atman ini, dan pada akhirnya kembali ke Sang
empuNya sesuai dengan tugas dan siklus yang sudah diatur. Sedangkan raga
itu sendiri sebagai suatu medium harus juga melalui berbagai tahap
seperti masa kanak-kanak, remaja dan masa tua, sesudah itu binasa dan
Atman berpindah ke raga lainnya, dan begitulah siklus ini berputar terus
seakan-akan tidak ada akhirnya.
14. Setiap hubungan
kita dengan berbagai obyek (duniawi), oh Arjuna, menimbulkan dingin dan
panas, kesenangan dan penderitaan. Semua ini datang dan pergi, dan tidak
abadi. Hadapilah semua ini, Arjuna (sebagai sesuatu fakta).
Atman
sendiri sebenarnya tidak terpengaruh oleh semua obyek sensual duniawi
ini, yang terpengaruh dan merasakannya ini adalah raga yang ditumpangi
Atman. Raga ini setelah ditumpangi Atman akan merasakan dingin dan
panas, kesenangan dan penderitaan, dan sebagainya. Semua ini harus kita
maklumi dan kita jalani sebagai sesuatu yang datang dan pergi. Kita
harus bersikap tidak terikat kepada semua ilusi ini tetapi juga tidak
menutup mata, bahkan harus kita hadapi dan rasakan semua itu sebagai
dedikasi kita kepadaNya, demi dan untukNya.
15. Seseorang yang tenang
dalam kesenangan dan penderitaan --tidak terusik oleh kedua-duanya --
ia hidup dalam suatu kehidupan yang tak pernah mati, oh pemimpin
diantara anak-anak manusia (Arjuna)!
16. Yang tidak sejati tidak
mempunyai bentuk, Yang Sejati tak pernah ada habis-habisnya. Kebenaran
kedua hal ini telah dirasakan oleh para pencari Kebenaran.
Yang
sejati di sini adalah Atman (Inti Jiwa Kita), yang tidak sejati adalah
raga kita yang selalu habis dan binasa, sedangkan Atman terus berkelana
tanpa ada batas-batasnya. Raga kita berbentuk asat: tidak abadi, dapat
rusak atau mati dimakan waktu atau keadaan. Sedangkan Atman adalah sat:
Kesejatian yang Abadi, dalam Sat selalu tercipta yang baru, tanpa
henti-hentinya, terus-menerus, abadi dan langgeng. Bukankah Itu sama
saja dengan Yang Maha Pencipta. Seorang penyair Barat yang terkenal di
dunia pernah menulis:
Yang Satu Abadi, yang banyak berganti dan berlalu,
Cahaya Ilahi bersinar tanpa habis, bayangan bumi hilang berterbangan.
Hidup, bagaikan sebuah rumah kaca yang memantulkan pelangi berwarna- warni,
Sebenarnya bersumber pada warna putih yang abadi. (Percy Bysshe Shelley)
17. Tiada
seseorang pun mempunyai kekuatan untuk menghancurkan Yang Tak Pernah
Binasa, Yang menunjang semua ini. Ketahuilah Ia tak akan pernah bisa
dihancurkan.
Yang dimaksudkan Yang Tak Pernah Binasa di sini adalah
Atman (Yang sebenarnya adalah sepercik kecil dari Brahman). Raga kita
akan hancur dan berganti raga lain, tetapi Atman tak akan pernah binasa
karena Ia abadi.
18. Raga yang ditumpangi Sang Jiwa yang abadi, dan
yang tak bisa dihancurkan atau terjangkau oleh pikiran, dikatakan tidak
abadi. Jadi berperanglah, oh Arjuna!
19. Seseorang yang berpikir
bahwa ia membunuh, atau seseorang yang berpikir ia terbunuh kedua-duanya
tidak memahami dengan baik arti dari kebenaran. Tiada seorangpun yang
sebenarnya dapat membunuh atau terbunuh.
20. Tak ada seseorangpun
yang pernah dilahirkan atau pun suatu saat nanti harus mati. Tak ada
seorangpun sebenarnya yang hilang atau terhenti proses hidupnya
(eksistensinya). Ia tak pernah dilahirkan, bersifat konstan, abadi dan
telah ada semenjak masa yang amat silam. Ia tak pernah mati walau raga
habis terbunuh.
Emerson seorang penyair terkenal dari Barat pernah
mengatakan tentang Atman sebagai berikut: "Aku datang, lewat dan
berputar lagi." Sedangkan Yesus pernah bersabda kepada orang-orang
Yahudi, "Ye are gods" (Engkau semuanya adalah dewa-dewa). "Barangsiapa
mengenal dirinya sendiri tahu akan Cahaya ini," kata filsuf terkenal Lao
Tse dari Cina, sedangkan seorang sufi terkenal pernah berkata, "Inti
dirimu adalah inti Tuhan itu sendiri."
21. Seseorang yang mengenal
bahwa Jati Dirinya tak akan dapat dihancurkan dan selalu abadi, tak
pernah dilahirkan dan tak pernah berganti-ganti, bagaimana mungkin orang
seperti itu membunuh, oh Arjuna, atau bahkan mengakibatkan orang lain
jadi pembunuh?
"Seseorang yang mengenal Jati Dirinya," sadar Dirinya
hanyalah saksi dan bukan yang melakukan sesuatu tindakan atau aksi,
inilah arti yang tersirat dari mukti atau penerangan yang sesungguhnya.
22. Seperti
seseorang yang mengganti baju usangnya dengan baju yang baru, begitupun
Jiwa ini berganti-ganti raga dari yang lama ke yang baru.
Dalam
Shanti Parwa yang terdapat di kitab Mahabarata, ada perumpamaan lain
dari proses jalannya Jiwa ini yang diibaratkan sebagai seseorang yang
pindah dari rumahnya yang usang ke rumahnya yang baru; inilah jalan
kehidupan Sang Jiwa dari raga ke raga lainnya. Tetapi harus diingat
bahwa yang dimaksud ini bukan raga manusia saja tetapi bisa juga
berbagai ragam raga yang ada di alam semesta ini, seperti hewan,
manusia, tumbuh-tumbuhan, raga-raga lainnya yang bertebaran di laut,
bumi di sistim planet-planet lainnya atau di mana saja di seluruh alam
semesta yang tanpa batas ini. Dan bentuk raga ini bisa saja yang
berbentuk abstrak, atau pun dewa-dewi, makhluk-halus, dll, semuanya
sesuai kehendakNya dan alur karma kita sendiri.
23. Tidak ada
senjata yang dapat memisah-misahkanNya, tidak juga api dapat
membakarNya, atau air membuatNya basah, bahkan anginpun tak dapat
mengeringkanNya,
24. Tak terpisahkan Ia. Tak terbakarkan Ia. Tak
terbasahkan dan terkeringkan Ia. Ia abadi dan hadir di mana saja. Ia
selalu konstan dan tak tergoyahkan. Ia hadir semenjak masa yang amat
silam, dan selalu sama selama-lamanya.
Inilah gambaran dari Atman
(Inti Jiwa) kita, yang karena bentuknya yang sangat unik, tak dapat
digambarkan secara duniawi, tetapi dapat kita fahami sebagai sesuatu
yang berbentuk Ilahi dan selalu konstan dan abadi. Tak akan rusak atau
pun binasa.
25. Tak terterangkan, tak terpikirkan dan tak dapat
diubah-ubah - begitulah Ia disebut. Setelah mengenalNya seperti itu,
seharusnya engkau (Arjuna) tak perlu lagi merisaukan hatimu.
Diri ini
harus bersih dulu dari segala keterikatan duniawi ini yang aneka-ragam
corak dan bentuknya, setelah itu kita akan lebih mengerti akan hadirNya
Sang Atman dalam diri kita dan mengenalNya lebih baik. Selama kita masih
diliputi rasa-ego (apa saja bentuknya), rasa ketakutan duniawi, dan
selalu terikat kepada unsur-unsur disekitar kita; dan tak pernah
menyerahkan semua ini kepadaNya secara tulus, selama itu juga yang dekat
akan terasa amat jauh. Sebenarnya la amat dekat di dalam diri kita
sendiri. Kenalilah Dia !
26. Pun sekiranya kau pikir Sang Jiwa
(Atman) ini bisa mati dan hidup, dan tidak bersifat abadi, wahai Arjuna,
tak perlu juga dikau harus risau dan bersedih hati.
27. Karena sudah
pasti yang lahir harus binasa dan yang binasa harus lahir. Jadi
janganlah dikau bersedih untuk sesuatu yang sudah pasti dan semestinya
ini.
Sesuatu yang sudah digariskan Ilahi tak akan bisa berubah, jadi
sebenarnya tak perlu dirisaukan lagi, que sera sera, apa yang akan
terjadi terjadilah. Mati-hidup kemudian hidup-mati, dan seterusnya sudah
semestinya begitu, jadi apa yang harus dirisaukan lagi. Tidak ada jalan
lain, yang mau tak mau harus kita terima karena sudah tidak ada jalan
lain, takdir sudah mengaturnya begitu. Yang penting adalah kesadaran
untuk menerimanya sebagai kewajiban kita kepada Ilahi, bukan karena
terpaksa.
28. Keadaan dari mereka-mereka yang belum dilahirkan tak
dapat diterangkan dalam bentuk duniawi ini. Tetapi pada periode antara
kelahiran dan kematian situasi mereka dapat kita lihat dan fahami.
Setelah mati mereka kembali lagi ke suasana yang tak dapat diterangkan
ini lagi. Jadi untuk apa dikau harus bersedih hati, wahai Arjuna?
Jadi
sebenarnya yang diketahui oleh kita manusia ini hanyalah bentuk
kehidupan yang terjadi antara kelahiran sampai dengan kematian kita dan
orang-orang disekitar kita saja. Sebelum dan sesudah itu gelap dan
tidak terang bagi kita. Yang kita rasakan atau kita lihat hanya sedikit
yang ditengah-tengah saja, ujung dan pangkalnya kita tak akan pernah
tahu. Lalu untuk apa kita bersedih hati, toh kita datang dari suatu alam
yang tidak kita ketahui dan kemudian harus kembali ke sana juga, dan
ini berlangsung terus tanpa henti-hentinya. Lalu untuk apa risau akan
semua masalah yang harus kita hadapi, bukankah kita ini sebenarnya hanya
alatNya saja di dunia ini, yang dikirimkan untuk melakukan
tugas-tugasNya saja, jadi berbaktilah kita seharusnya sesuai dengan
kehendakNya. Itulah dharma-bhakti yang semestinya.
29. Ada yang
mengesankanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, ada yang
membicarakanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, dan ada juga yang
mendengarkanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, tetapi tak
seorang pun yang benar-benar dapat mengenalNya (mengetahuiNya) dengan
pasti apa Ia sebenarnya.
Kebenaran tentang Atman sebenarnya terbuka
untuk kita semuanya; dan mereka-mereka yang merasakanNya menjadi takjub
sendiri. Toh tidak semua kita ini dapat merasakan ketakjuban ini, karena
sudah tersandung dalam perjalanan sebelum mencapaiNya. Ada yang
ragu-ragu, ada yang terhadang oleh kesulitan-kesulitan dan hanya sedikit
yang sampai ke Tujuan yang menakjubkan ini.
Timbul pertanyaan kalau
Dia memang mengasihi kita lalu mengapa banyak yang harus tersandung
sebelum mencapaiNya? Sebenarnya Yang Maha Kuasa memberikan kita
kebebasan untuk memilih. Sering sekali kita-kita ini lebih condong untuk
terikat dengan segala unsur-unsur duniawi ini yang seakan-akan sudah
jadi milik kita atau sudah menjadi urusan pribadi kita yang tak dapat
diganggu-gugat. Seharusnya kita melepaskan semua unsur ego baik yang
positif maupun yang negatif, dan menyerahkannya semua kepadaNya untuk
kemudian dibimbing olehNya sesuai dengan kehendakNya. Jadilah seperti
seorang anak kecil yang bersandar pada orang-tuanya, polos, bersih dan
jujur dalam segala aspeknya. Dan seperti juga orang-tua kita yang akan
selalu membimbing kita dalam suka dan duka, maka Yang Maha Kuasa pun
akan selalu menunjukkan jalan kita dalam setiap tindak-tanduk kita. Ia
sebenarnya setiap hari mengetuk pintu hati kita dan tersenyum penuh
cinta-kasih, yang menjadi masalah adalah kita menganggapNya Ia berada di
tempat yang amat jauh. Bukankah Ia tersirat dalam keheningan, bahkan Ia
sebenamya dapat ditemui setiap saat dalam diri pribadi kita
masing-masing yang juga adalah DiriNya sendiri. la hadir selalu dalam
diri kita, tak usah jauh-jauh mencarinya di hutan atau di laut, di bulan
atau di matahari, carilah Dia dalam ketenangan dirimu senidiri.
30. Ia
yang bersemayam dalam setiap makhluk - adalah Kehidupan dalam setiap
makhluk -- Ia tak tersentuh senjata apapun juga. Jadi Arjuna, seharusnya
dikau tidak bersedih hati untuk makhluk apapun juga.
Yang dimaksud
Sri Krishna di sini, adalah Sang Arjuna boleh saja memikirkan dan
memperhatikan semua makhluk di dunia ini, malahan itulah salah satu
aspek penting dalam dharma. Tetapi juga harus tahu bahwa yang bersemayam
dalam setiap makhluk ini, yang disebut Atman tak akan bisa binasa walau
apapun yang terjadi. Jadi sebenamya Arjuna tidak perlu sedih, karena
kesedihan itu sia-sia belaka, takdir sudah menentukan jalan hidup setiap
makhluk ciptaanNya sesuai kehendakNya dan bukan sesuai kehendak Arjuna
atau kita semuanya.
31. Dedikasikan dirimu kepada kewajibanmu dan
jangan kau ingkari itu. Karena tidak ada imbalan yang lebih baik untuk
seorang kshatrya, daripada suatu perang demi kebenaran.
Dharma demi
kebenaran adalah tugas suci untuk siapa saja, apalagi kalau ia seorang
kshatrya yang seharusnya membela nusa dan bangsa serta negaranya dari
segala kezaliman dan angkara-murka. Dalam salah satu kisah Mahabarata
tertulis, "Barangsiapa menyelamatkan suatu kehancuran adalah seorang
kshatrya" dan juga tertulis di bagian lainnya, "Hanya ada dua tipe
manusia yang dapat mencapai alam Brahman setelah melewati konstelasi
matahari: yang pertama adalah para sanyasin (orang-orang suci) yang
telah dalam ilmu pengetahuannya dan yang kedua adalah para kshatrya yang
mati dalam peperangan membela kebenaran." Bukankah itu berarti bahwa
kalau kita selamanya berjalan/berperang demi kebenaran maka kita sedang
menuju ke arahnya, Yang Maha Pencipta.
32. Berbahagialah mereka para
kshatrya, yang harus berperang demi kebenaran -- terbukalah kesempatan
ke sorga tanpa mereka minta.
Sri Krishna di sini menegaskan bahwa
berperang/mati demi kebenaran membawa kita langsung ke alam sorga; ini
berarti bahwa berperang demi kebenaran adalah tugas yang maha suci bagi
kita dari Yang Maha Esa. Kalau direnungkan dengan baik-baik bukankah
kita dikelilingi oleh berbagai bentuk tidak kebenaran dalam hidup ini,
dari segala bentuk nafsu-nafsu pribadi kita yang negatif sampai ke
penindasan yang tidak berprikemanusian dalam prilaku manusia. Sesuatu
bentuk pcmerintahan, diskriminasi, dan berbagai aspek tidak benar
lainnya yang seakan-akan tidak ada habis-habisnya dan semua itu
bertebaran di sekeliling kita setiap saat.
33. Dan seandainya dikau
tak maju berperang di jalan yang suci ini, dikau akan mengabaikan
kewajiban dan kehormatan, dan dikau akan dikejar-kejar oleh perasaan
salahmu itu.
Seseorang yang berjalan atau berjuang di jalan kebenaran
harus siap mengorbankan segala miliknya. Bukan saja sanak-saudara dan
harta bendanya tetapi juga nyawanya sendiri. Apalagi untuk suatu tugas
yang besar dan suci. Sebagai seorang kshatrya, seandainya Arjuna
mengingkari kewajibannya ini, maka ia akan kehilangan segala
kehormatannya.
34. Setiap orang akan menghinamu, dan bagi seorang yang terhormat, penghinaaan adalah lebih buruk dari suatu kematian.
35. Para
pendekar-pendekar yang besar akan mengira dikau mundur dari peperangan
ini karena rasa ketakutanmu. Dan mereka-mereka yang menghormatimu akan
memandang rendah padamu.
36. Belum lagi hinaan-hinaan lainnya yang
diucapkan oleh musuh-musuhmu, semua itu akan membuatmu lebih lemah lagi.
Adakah yang lebih menyakitkan dari semua itu?
37. Seandainya dikau
terbunuh, maka dikau akan ke sorgaloka. Sekiranya dikau perkasa dalam
peperangan ini, maka dikau akan menikmati bumiloka ini.
Jadi bangkitlah wahai putra Kunti (Arjuna) dan angkatlah senjata untuk yudhamu ini.
38. Samakanlah
rasa nikmat dengan derita, laba dengan rugi, menang dengan kalah,
bersiaplah untuk yudha ini. Dengan begitu dikau tak akan tercemar oleh
dosa.
Pada sloka-sloka sebelumnya Sri Krishna menyindir rasa ego dan
tanggung-jawab Arjuna pada dharma yang sebenarnya. Di sloka atas ini
Sri Krishna meminta agar Arjuna melaksanakan kewajibannya yang
tertinggi yaitu berperang menegakkan kebenaran. Tugas ini merupakan
tugas yang amat suci bagi seorang kshatrya demi Yang Maha Esa dan
kebenaran.
39. Sejauh ini Aku telah menerangkan tentang ajaran
Sankhya. Sekarang dengarkanlah ajaran mengenai Yoga (llmu pengetahuan),
dengan mengikuti ajaran ini dikau akan lepas dari ikatan-ikatan
perbuatanmu.
Yang dimaksud dengan ajaran Sankhya ini adalah ajaran
Bhagavat Gita mengenai KeTuhanan yang Maha Esa, secara khusus Tentang
Sang Jati Diri (Sang Atman). Yang diajarkan adalah hubungan Sang Atman
dan raga kita, di sini ditekankan bahwa Sang Atman yang merupakan inti
dari jiwa kita itu tak mungkin dapat binasa, walau raga kita hancur
sekali pun. Sedang yang dimaksud dengan Yoga di sini, adalah llmu
pengetahuan yang sejati. Ajaran Sankhya ini tidak dapat ditelaah begitu
saja, melainkan harus disertai atau didasarkan pada yoga tentang
dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa secara benar. Tetapi semua
dharma-bhakti ini harus dilakukan dengan menyamakan rasa kita terhadap
dua sifat dualisme yang saling berkontradiksi, yaitu memandang atau
merasa sama akan senang dan susah, untung dan rugi, panas dan dingin,
dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana seseorang dapat mencapai tingkat
kesadaran semacam ini? Caranya adalah dengan menggabungkan daya-intelek
(budhi) kita dengan jalan pikiran kita. Setelah intelek kita sadar bahwa
semua unsur dualisme yang kelihatannya amat berlawanan ini sebenarnya
sama saja, dan hanya merupakan permainan pikiran kita belaka, maka
secara tahap demi tahap kesadaran kita akan meningkat dan kita akan
melaju ke arah Yang Maha Esa dengan baik, dan jadilah kita seorang
Buddhi-Yukta (seorang yang telah mencapai kesadaran).
Seorang
Buddhi-Yukta yang baik adalah ia yang telah berhasil mengendalikan
hawa-nafsunya yang bersifat aneka-ragam. Ia juga adalah seorang yang
bersikap sama dan tenang dalam setiap keberhasilan maupun kegagalan,
bersikap tenang dalam segala tugas-tugasnya, dan tidak memiliki ambisi
pribadi tertentu atau nafsu duniawi lagi. Semua perbuatannya sudah
menjadi kewajibannya untuk Yang Maha Esa semata. Seseorang semacam ini
tidak perlu harus dapat melihat Sang Atman yang bersemayam di dalam
dirinya, tetap sudah pasti ia akan dapat merasakan kehadiran Sang Atman
ini. Seorang Buddhi-Yukta yang sempurna akan selalu tenang
tindak-tanduknya, dan stabil jiwanya, akibat dari pengaruh Sang Atman
yang bersemayam di dalam dirinya.
40. Di jalan ini tidak ada usaha
yang akan sia-sia, dan tak ada rintangan yang akan bertahan lama.
Sedikit saja usaha dharma ini akan melepaskan seseorang dari rasa takut
yang besar.
Sedikit saja usaha ke arah dharma (jalan kebenaran)
ternyata akan melepaskan kita dari samsara, yaitu penderitaan di dunia
ini yang tak ada habis-habisnya. Karena jalan akhir dari dharma adalah
kebebasan mutlak dan kembali ke Ilahi Yang Tanpa Batas.
41. Budhi
(Kesadaran Intelektual) ini, Arjuna, sifatnya tegas dan hanya menunjuk
ke satu arah saja. Tetapi mereka yang tidak tegas dalam
dharma-bhaktinya, maka cara berpikirnya akan berjalan keberbagai arah
seakan-akan tiada habis-habisnya.
Budhi adalah suatu kesadaran total
seseorang; yang memilikinya akan selalu bersifat satu arah saja, yaitu
bekerja demi Yang Maha Esa semata tanpa pamrih sekecil apapun juga.
Sedangkan bagi mereka yang belum sadar, maka cara atau pola berpikirnya
pasti didasarkan oleh kebutuhan-kebutuhan nafsu, keinginan, selera, ego
dan pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya dan efek-efeknya, jadi
nafsu mereka pasti tidak akan ada habis-habisnya karena didasarkan oleh
banyaknya kebutuhan atau tujuan mereka. Budhi bersifat eka sedangkan
nafsu bersifat ananta (aneka ragam tanpa habis-habisnya).
42. Kata-kata
manis diucapkan oleh seseorang yang tidak dapat membedakan, yang tidak
bijaksana, yang lebih tertarik dan bahagia dengan kata-kata yang
terdapat di Veda-Veda yang memuat: "yang ada hanyalah ini saja!"
Disinilah
kita harus mencamkan sabda Sri Krishna di atas ini yang merupakan
peringatan bagi kita-kita yang lebih mementingkan ritus-ritus atau
tradisi agama atau dogma, daripada Yang Maha Esa itu sendiri. Karena
semua itu bukan jalan yang sebenarnya ke arah Yang Maha Esa. Kata-kata
indah dalam weda yang dianggap suci dan indah tidak akan bermakna kalau
tidak didasari dengan dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa.
43. Mereka-mereka
ini penuh dengan keinginan duniawi. Tujuan akhir mereka adalah sorga.
Akibatnya mereka ini akan lahir kembali. Mereka melakukan berbagai
upacara keagamaan hanya untuk mendapatkan kesentosaan dan kekuatan
duniawi.
Mereka-mereka yang melakukan upacara-upacara keagamaan
dengan tujuan tertentu akan mendapatkan keinginan mereka masing-masing,
tetapi tindakan keagamaan ini tidak akan membebaskan mereka dari
samsara, melainkan membuat mereka lahir kembali ke dunia ini sesuai
dengan karma-karma mereka. Sedangkan seorang karma-yogi yang bekerja
semata-mata demi Yang Maha Esa, maka karmanya akan merupakan pengorbanan
yang tulus dan tanpa pamrih kepada Yang Maha Esa (merupakan yagna,
pengorbanan atau sesajen).
44. Budhi ini bukan untuk
mereka yang hidupnya hanya untuk agama yang dipraktekkan demi kesenangan
duniawi, yang berdasarkan kata-kata Veda, karena pengetahuan ini
memerlukan tekad yang keras demi melepaskan unsur-unsur duniawi
(seseorang).
45. Di dalam Veda terdapat ajaran mengenai tiga jenis
guna (kualitas atau sifat manusia). Bebaskanlah dirimu, oh Arjuna dari
ketiga kualitas ini. Bebaskanlah dirimu dari kedua sifat yang saling
berkontradiksi. Tegak dan berakarlah ke dalam kebersihan jiwamu, dalam
sifat kebenaran yang abadi, tanpa merasa memiliki suatu apapun:
milikilah Dirimu sendiri - Gurumu!
Veda mengajarkan tentang guna,
yaitu tiga sifat atau jenis kualitas manusia. Yang pertama sattva, yaitu
sifat yang penuh dengan unsur-unsur kebajikan, kecerdasan, kesucian,
kejernihan dan berbagai hal-hal lainnya yang penuh dengan unsur
kebaikan. Yang kedua disebut sifat raja, yaitu sifat atau aktivitas yang
sifatnya menggebu-gebu, juga suatu bentuk sifat yang selalu ingin
memiliki atau mengetahui hal-hal yang baru, dan sifat-sifat lain yang
pada dasarnya selalu penuh dengan energi dan aktivitas. Sifat ini
identik dengan pikiran kita pada umumnya yang selalu menerawang tanpa
henti-hentinya, tanpa batas. Sifat yang ketiga disebut Jama, yaitu
sifat-sifat manusia yang selalu menjurus ke arah kebobrokan mental
seperti sifat-sifat pemalas, peminum, penjudi, seks-maniak, sifat yang
penuh dengan unsur-unsur gelap yang lengkap sifatnya. Ketiga sifat ini
hadir dalam pikiran dan raga kita, sedangkan Sang Atman atau Sang Jati
Diri kita duduk bersemayam terpisah dari mereka ini semuanya. Sang Atman
adalah saksi Ilahi dalam diri kita sendiri, suatu bentuk Kesadaran
Ilahi yang sukar diterangkan dengan kata-kata, yang bagi yang telah
merasakan atau menyadariNya merupakan Keberkahan Nan Abadi.
Sebenarnya
di sini Sri Krishna sedang menganjurkan kita semua agar mencari dan
menemukan Sang Atman dalam diri kita masing-masing dan menyembah dan
memujaNya penuh dengan dedikasi dan dharma bhakti. Caranya adalah dengan
membebaskan diri kita dari sifat atau rasa dualisme yang saling
berkontradiksi yang hadir dalam setiap aspek kehidupan kita. Juga
membebaskan diri kita dari rasa ego, dari rasa iri dan benci, dari
segala perhitungan-perhitungan atau rencana yang bersifat amat duniawi,
dan hanya memfokuskan diri kita ke suatu jalan yang penuh dengan sattva,
tetapi bukan yang bersifat sattva duniawi tetapi Sattva Ilahi. Dengan
kata lain jadilah seorang manusia sejati bagi dirimu sendiri, bagi
masyarakat banyak dan yang terutama bagi Yang Maha Esa. Jadilah manusia
yang lepas dari segala unsur duniawi dan hiduplah secara cukup dan
sederhana saja, puas dengan apapun yang diberikan oleh Yang Maha Esa,
puas dengan diri dan Diri mu sendiri, sadar akan DiriNya (Sang Atman),
yang hadir di dalam diri kita semua dan bekerja atau hidup demi Ia
semata.
46. Kegunaan Veda-Veda untuk seorang Brahmin yang telah
mendapatkan penerangan Ilahi adalah ibarat sebuah kolam air yang
terletak ditengah-tengah genangan air banjir (bah).
Seorang
Brahmin atau Brahmana yang sejati bukanlah yang dinyatakan secara
kastanya, melainkan adalah seorang yang secara sejati menemukan
kesadaran Ilahi dan bekerja untukNya tanpa pamrih. Bagi orang semacam
ini atau yang sudah sampai ke taraf ini, semua ajaran-ajaran Veda
termasuk semua tradisi agama atau pun upacara-upacara ritual menjadi
sekadar simbol saja. Di sloka di atas , diibaratkan seperti sebuah kolam
air tawar ditengah-tengah air bah atau banjir. Dengan kata lain bagi
seorang Brahmin yang sejati, ajaran-ajaran Veda sudah tidak berarti lagi
untuknya karena ia telah melewati semua itu, dan telah mencapai suatu
ajaran Ilahi yang sejati atau dengan kata lain telah mencapai penerangan
Ilahi yang tak terbatas sifatnya.
47. Engkau hanya berhak untuk
bekerja, tidak untuk hasilnya. Jangan sekali-kali motif pekerjaanmu
mengarah ke hasil akhir (imbalan dari pekerjaan ini), dan jangan juga
sekali-kali engkau tidak bekerja.
Jangan mengharapkan suatu
imbalan/buah/hasil untuk setiap tindakan atau perbuatan atau pekerjaan
kita dengan harapan duniawi kita, tetapi pasrahkanlah hasil-akhir atau
efek dari semua perbuatan ini kepadaNya semata. Semua hasil atau efek
dari perbuatan ini adalah la yang menentukan dan akan terjadi sesuai
dengan kehendakNya tanpa lebih maupun kurang. Setiap tindakan atau
perbuatan kita harus didasarkan atas kesadaran bahwa semuanya demi dan
untuk Ia semata. Dengan bekerja untukNya tak mungkin kita diarahkan ke
jalan yang salah atau merugikan orang lain. Semua hasil tindakan harus
diambil hikmahnya dengan tulus.
48. Lakukan tindakanmu, oh Arjuna!
dengan hati yang terpusat pada Yang Maha Esa, tanpa keterikatan dan
bersikaplah sama untuk semua kesuksesan dan kegagalanmu. Hati yang damai
dan penuh rasa bimbang adalah suatu yoga.
Yoga di sini jadi lebih
terang dan luas artinya. Yoga itu disebut samatvan, yaitu pikiran dan
hati yang selalu seimbang dalam setiap situasi baik menghadapi sesuatu
kegagalan maupun kesuksesan, buruk atau yang baik dan seterusnya.
Seandainya seseorang di dalam setiap tindak-tanduknya dapat selalu
balans atau seimbang dan tak terpengaruh oleh emosinya, maka ia akan
mencapai rasa ketenangan di dalam dirinya dan inilah yang disebut oleh
orang-orang Hindu sebagai yoga yang sejati.
49. Pekerjaan demi
suatu imbalan itu lebih rendah derajatnya daripada Buddhi-yoga, oh
Arjuna! Maka selalulah bernaung dibawah buddhi (intelek)mu. Kasihan
mereka yang bekerja untuk suatu imbalan tertentu.
Pekerjaan yang
benar dan bersih dari segala unsur-unsur duniawi akan melajukan
perjalanan kita ke arah Yang Maha Kuasa karena memang itulah yang
diajarkan oleh Sri Krishna. Janganlah seseorang bekerja demi nama,
rumah-tangga, dan kedudukannya dalam masyarakat, bekerjalah semua itu
tetapi berdasarkan dedikasi kita kepada Yang Maha Esa semata, sebagai
bhakti kita kepadaNya. Dan jenis pekerjaan itu bisa apa saja, dari
pekerjaan seorang pembersih sampai ke pekerjaan seorang pendeta, tetapi
harus bermotifkan dedikasi yang tulus dan bukan didasarkan pada imbalan
atau efek yang akan diterima. Semuanya terserah Ia yang menentukan, kita
bekerja tanpa pamrih.
50. Ia yang telah menjadikan dirinya seorang
Buddhi-Yukta (yang telah sadar dan mendapatkan kesadaran Ilahi) akan
mengesampingkan semua yang baik dan buruk dalam hidup ini. Jadi
berjuanglah untuk Yoga; Yoga ini lebih bermanfaat dari suatu tindakan
yang penuh harapan akan suatu imbalan.
Seorang yang telah sadar akan
peranannya dalam hidup ini suatu saat akan mengerti bahwa kebaikan dan
keburukan sebenarnya hanyalah berupa ilusi dari Sang Maya (Kekuatan dari
Yang Maha Esa juga). Sesuai dengan tugas-tugas maka kita hidup di dunia
ini hanyalah sekedar sebagai alat-alatNya. dan tentu saja terserah
kepada Yang Maha Kuasa apakah kita ini jadi alat yang baik atau alat
yang buruk. Seorang yang telah mencapai tingkat kesadaran yang benar
akan memandang sama, dengan mata, hati dan pikiran yang sama kepada
semua makhluk, semua unsur baik dan buruk pada setiap makhluk. Orang
semacam ini akan selalu tunduk atas segala kehendakNya, dan
tindak-tanduk maupun pikirannya akan selalu bersandar pada Yang Maha
Esa, dan selalu minta dituntun sesuai dengan kehendakNya semata. Orang
semacam ini akan selalu bergairah untuk bekerja: bukan malahan tidak
bekerja karena berpikir semua sudah jadi kehendakNya,
51. Mereka-mereka
yang bijaksana dan telah mendapatkan penerangan menyerahkan semua
imbalan dari setiap pekerjaan (tindakan) mereka; lepas dari siklus
kelahiran, mereka pergi ke alam yang tanpa derita.
Seandainya hati
dan pikiran kita telah bersih dari segala nafsu duniawi dan budhi (daya
intelektual) kita penuh dengan kesadaran atau penerangan, maka setiap
tindakan kita malahan akan merupakan ekspresi kebebasan jiwa kita. Dan
jiwa kita akan menanjak dalam perjalannya dari bhakti dan gnana
(kesadaran) ke arah Berkah Sang Ilahi, kemudian menyusul kepembebasan
jiwa kita dari siklus hidup dan mati di dunia ini (moksha). Di bawah ini
terdapat beberapa anak-anak tangga yang lebih terperinci sifatnya:
1.
Karma-yoga : menyerahkan semua imbalan/hasil dari setiap pekerjaan atau
perbuatan baik secara mental maupun secara fisik kepadaNya.
2. Bangkitnya kesadaran intelektual kita (buddhi), dan timbullah kebijaksanaan Ilahi.
3. Lepas dari ikatan lahir dan mati.
4. Mencapai berkah Ilahi, lalu terus ke moksha.
52. Sewaktu
kesadaranmu melewati putaran kegelapan (moha), maka dikau akan mencapai
suatu kesadaran tentang apa yang telah kau dengar dan apa lagi yang
akan kau dengar.
Sewaktu kesadaran kita telah mencapai suatu tahap di
mana segala nafsu telah berhenti berfungsi dan tidak penting lagi
artinya, maka di situ kita akan merasakan perbedaan-perbedaan atau arti
sebenarnya akan semua tradisi, upacara keagamaan, dan lain sebagainya
yang dianjurkan di weda-weda.
53. Sewaktu kesadaranmu, yang salah
mengerti tentang shruti (ayat-ayat Veda), mencapai suatu tahap yang
kukuh dan tak tergoyahkan dan jiwamu tenang dalam samadi, disitulah
dikau akan mencapai yoga (penerangan ke dalam).
Samadi adalah
konsentrasi jiwa kita ke Inti Jiwa (Sang Atman atau Sang Jati Diri) yang
berada di dalam jiwa kita sendiri. Samadi adalah dialog atau pertemuan
diantara kita dan Sang Atman. Pertemuan atau sentuhan ini dapat tercapai
bila seseorang lepas dari segala keterikatannya dalam melakukan setiap
tugas-tugas duniawinya, termasuk di dalamnya tugas-tugas keagamaannya.
Semua tugas-tugas ini harus dilakukan dengan pikiran yang sinkron atau
selaras dengan kehendakNya. Bagaimana mungkin kita tahu bahwa apa yang
kita kerjakan itu selaras dengan kehendakNya; dengan menyerahkan hasil
dari perbuatan ini kepadaNya secara total dan kemudian terserah Ia akan
efek-efeknya kemudian. Orang semacam ini yang menyerahkan hasil
pekerjaannya bulat-bulat kepada Yang Maha Esa akan tegak dan kokoh
merasakan semua hasil dari pekerjaan atau perbuatannya yang berefek baik
atau buruk, negatif atau positif baginya atau bagi yang lainnya sebagai
kehendakNya. Ia lebih bertindak sebagai alat atau petugas Yang Maha Esa
dan jauh dari hasil perbuatan-perbuatannya. Karena ia tidak
mengharapkan pamrih dari pekerjaan/perbuatannya, maka selalu ia berpikir
semua terserah kehendak Ilahi. Selamanya ia akan teguh menghadapi
apapun juga, dan kalau sudah mencapai tahap ini, komunikasi atau
samadinya dengan Sang Atman akan tercipta dan terjalan dengan amat baik.
Berkatalah Arjuna :
54. Apa
saja ciri-ciri seseorang yang telah mencapai kebijaksanaan yang stabil
ini, yang teguh dalam segala hal, dan telah bersatu dengan Sang Brahman,
oh Krishna? Bagaimanakah seseorang yang telah mendapatkan kesadaran
Ilahi ini berbicara? Bagaimanakah cara duduknya? Dan bagaimana cara ia
berjalan?
Arjuna seperti juga kita semuanya ingin sekali mengetahui
ciri-ciri khas seseorang yang telah bijaksana dan mencapai kesadaran
Ilahi ini.
Sri Krishna pun menjawabnya satu persatu dengan senang hati,
misalnya di sloka 55, 61 dan 64 yang mendatang ini diterangkan tentang
cara orang bijaksana ini duduk. Di sloka 56 diterangkan tentang caranya
berbicara dan di sloka 58 tentang caranya ia bergerak dalam hidupnya.
Berkatalah Sang Maha Pengasih :
55. Sewaktu
seseorang mengesampingkan semua nafsu-nafsu duniawi yang ada di dalam
pikirannya dan merasa puas dalam DiriNya oleh DiriNya, akan ia disebut
sthita-prajna, seorang yang melihat kebijaksanaan secara tegar.
Seseorang
yang merasa puas dengan DiriNya (Sang Atman) dan semua sentuhan Sang
Atman terhadap dirinya adalah seorang yang sudah mencapai suatu
penerangan Ilahi, dan telah berubah tegar dalam setiap hal yang
dihadapinya.
56. Ia yang bebas pikirannya dari rasa gelisah di kala
duka dan sakit, merasa tenang saja di kala senang, lepas dari nafsu
duniawi, dari rasa ketakutan dan marah, adalah seorang yang telah
mendapatkan penerangan.
57. Ia yang tak terikat dari sisi mana pun
juga, yang tidak pernah benci maupun cinta pada suatu obyek, yang
bertindak secara netral terhadap suatu yang adil maupun yang tidak adil,
orang semacam itu mempunyai pengertian yang tegar dalam
kebijaksanaannya.
Orang yang telah tegar dalam penerangan atau
kesadaran adalah seseorang yang menjadi saksi dalam kehidupannya dan
kehidupan di sekitarnya. la berdiri di atas semua faktor baik yang
negatif maupun positif. Baginya semua itu hanya ilusi saja dan merupakan
proses dalam kehidupan setiap orang. Bukannya lalu berarti ia sudah
lemah jalan pikiran atau tindak tanduknya, tetapi ini justru merupakan
ekspresi sejati dari kebebasannya yang tulus, kuat dan penuh dengan
semangat dedikasi kepadaNya. Ia puas dengan apapun yang diberikanNya,
dan setiap hal yang menimpanya dianggap biasa-biasa saja baik itu berupa
kesenangan maupun kedukaan.
58. Ia yang menarik seluruh organ-organ
nafsunya dari semua obyek-obyek nafsunya dari segala jurusan, ibarat
seekor kura-kura yang menarik semua kaki-kakinya ke dalam tempurungnya,
adalah seorang yang telah tegar rasa pengertiannya dan teguh dalam
kebijaksanaan.
Perumpamaan seekor kura-kura adalah suatu contoh yang
amat baik, karena sekali seekor kura-kura menarik semua kaki-kakinya ke
dalam tempurung, maka ia tenang-tenang saja menghadapi reaksi atau
ancaman dari luar, karena sudah merasa aman di dalam tempurungnya ini.
Dengan kata lain dapat diibaratkan sebagai "bersemedi di dalam
tempurungnya tanpa rasa keterikatan dengan apapun di luarnya."
59. Obyek-obyek
sensual akan menjauh dari seseorang yang tidak mau memberikan umpan
kepada mereka, tetapi akan menetap pada mereka yang menyenanginya.
Bahkan sisa-sisa keinginan pun akan pergi dari seseorang yang telah
melihatNya (Yang Maha Esa).
Penyerahan total kepada Yang Maha Kuasa
bukan saja berarti menjauhi semua unsur-unsur duniawi saja tetapi juga
berarti menghilangkan sisa-sisa selera yang masih ada dalam diri
seseorang. Bagi yang telah merasakan sentuhan Ilahi, tidak sedikit pun
selera duniawi yang dirasakannya. Baginya Yang Satu itulah
segala-galanya dan Yang Terindah.
60. Oh Arjuna! Organ-organ sensual
yang terangsang akan segera menggerakkan pikiran seseorang, walaupun ia
seorang yang bijaksana dan sedang jalan menuju ke arah sempurna.
Walaupun
seseorang telah bertahun-tahun berusaha menuju ke arah penerangan dan
mengabaikan semua kebutuhan sensualnya, tetapi selama ia masih menyimpan
selera untuk hal-hal yang bersifat duniawi, maka setiap waktu ia bisa
saja jatuh bangun oleh hal-hal yang bersifat duniawi ini. Maka janganlah
heran atau tertawa mengejek melihat seorang yang dianggap bijaksana
atau suci tersandung oleh hal-hal yang berbau duniawi, karena
organ-organ sensual dan pikiran kita memang sangat peka dan mudah
dipermainkan oleh Sang Maya.
61. Dengan mengendalikan semua
organ-organ sensualnya, ia harus duduk secara harmonis dan menjadikan
Aku sebagai Tujuannya yang Terakhir. Seorang yang telah berhasil
mengatasi semua organ-organ sensualnya, akan segera mencapai kesadaran
yang tegar.
Duduk dan bermeditasi dengan teratur, mengendalikan semua
unsur-unsur duniawi kita (organ-organ sensual kita) baik lahir maupun
batin, dan selalu memfokuskan pikiran dan tindak-tanduk kita ke Yang
Maha Kuasa secara konstan akan menghasilkan suatu penerangan Ilahi atau
kesadaran Ilahi yang tegar. Semua ini memerlukan disiplin pribadi yang
kuat dan salah satu cara untuk membentuk disiplin ini adalah dengan
bermeditasi secara tekun.
62. Seandainya seseorang mengarahkan
pikirannya ke arah obyek-obyek sensual, maka ia akan menghasilkan
keterikatan pada obyek-obyek ini. Dari keterikatan ini timbullah
hawa-nafsu. Dari hawa nafsu timbullah rasa amarah.
Seseorang yang
berpikir senantiasa akan hal-hal yang duniawi akan terikat kepada
hal-hal ini, dan sekali terikat akan menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan
ini kalau sekali-kali tak didapatkannya akan menimbulkan rasa amarahnya,
rasa-kesal, dan memuncak menjadi angkara-murka. Jadi yang penting bukan
saja penyerahan total dari nafsu-nafsu atau berbagai keinginan kita
tetapi juga pikiran-pikiran kita, karena di dalam pikiranlah sebenamya
terdapat benih atau asal dosa.
63. Dari marah timbullah
angkara-murka, dan keangkara-murkaan akan menghilangkan akal-sehat, dan
dengan hilangnya akal-sehat ini hancurlah daya intelek dan kesadaran
(buddhi) kita, dan dengan hilangnya buddhi ini maka ia akan binasa.
Kalau
pikiran sudah kacau maka lupalah kita akan pengalaman-pengalaman pahit
kita yang lampau, karena hilang sudah akal-sehat kita dan rasio kita
porak-poranda jadinya. Lupalah kita akan hal yang baik dan buruk, dan
pada skala besar kalau kita jadi tersesat karenanya, maka lupalah kita
akan tujuan kita lahir ke dunia ini. Itu berarti binasalah kita secara
spiritual.
64. Tetapi seseorang yang penuh dengan disiplin, yang
bergerak di tengah-tengah obyek-obyek sensual tanpa suatu keterikatan
kepada obyek-obyek sensual ini dan dapat mengendalikan dirinya dengan
baik, akan pergi ke suatu kedamaian yang luhur.
Bhagavat Gita
menganjurkan kita semua untuk mengendalikan (bukan menghentikan) semua
organ-organ sensual (indra-indra) kita dengan mengendalikan jalan
pikiran kita melalui suatu proses disiplin. Ini berarti belajar
mengendalikan diri, pikiran dan indra-indra kita. Lari dari kenyataan
dunia ini (hal-hal yang bersifat duniawi) adalah percuma atau sia-sia
saja, jadi dianjurkan untuk hidup ditengah-tengah obyek-obyek duniawi
ini dengan mengendalikan diri kita sendiri, maka akan sampailah rasa
perdamaian atau ketenangan yang luhur. Rasa perdamaian ini akan timbul
dari suatu hati yang penuh dedikasi kepadaNya semata, hati yang
betul-betul luhur dan bersih.
65. Setelah mencapai kedamaian, maka
berakhirlah derita seseorang, dan seorang dengan kedamaian semacam ini
akan segera mencapai keseimbangan yang stabil.
Bagi yang tak mau atau
takut mengendalikan dirinya, maka jalan ke arah damai atau ketenangan
tidak akan pernah terbuka. Sedangkan bagi yang penuh disiplin,
daya-juang dan tekad, yang penuh dengan kendali, maka mereka ini akan
menuju ke arah Yang Maha Esa, dan karena konsentrasinya ini maka mereka
ini akan mencapai tahap berkah Ilahi dalam bentuk kedamaian yang abadi
dan tak tergoyahkan. Dalam suka dan duka mereka ibarat timbangan yang
stabil dan tidak condong menurun ke satu arah.
66. Untuk yang tak
pernah mengendalikan diri, tak akan ada buddhi, untuk yang tak pernah
mengendalikan diri tak akan ada konsentrasi. Dan kalau tak ada
konsentrasi maka tak akan ada kedamaian, dan kalau seseorang tak
memiliki kedamaian maka bagaimana mungkin ia akan memiliki kebahagiaan?
67. Sewaktu
pikiran mengejar obyek-obyek sensual, maka pergi jugalah prajna
(kebijaksanaan, kesadaran), ibarat arus yang menyeret sebuah perahu di
lautan.
68. Jadi, oh Arjuna, ia yang seluruh indra-indranya telah
terkendali dari obyek-obyek sensual, maka buddhinya telah mencapai
keteguhan.
69. Apa yang merupakan malam bagi semua insan, bagi
seorang yang penuh disiplin dirasakan sebagai pagi hari. Dan apa yang
merupakan pagi bagi semua insan merupakan malam untuk seorang muni
(seorang yang telah mencapai kesadaran penuh).
Semua manusia mungkin
atau sedang larut dalam tidurnya Sang Maya, tetapi seorang muni akan
tegar terbangun dan bernafas dalam kesadarannya. la acuh saja terhadap
ilusi Sang Maya. Sebaliknya ia akan tertidur untuk hal-hal yang
bersifat duniawi yang bagi manusia pada umunya akan merupakan kebutuhan
yang amat vital, karena mereka mengikuti indra-indra mereka tanpa
kendali. la terpejam untuk duniawi tetapi matanya terbuka selalu ke arah
Ilahi dan cinta-kasihNya Yang Agung, yang tak pernah kunjung habis.
70. Seseorang
yang kemauan-kemauan indranya, ibarat sungai-sungai mengalir ke lautan
yang selamanya tenang-tenang saja menerima aliran-aliran sungai ini.
Orang ini akan mencapai kedamaian, bukan ia yang memeluk erat-erat
nafsu-nafsunya.
Sungai-sungai mengalir dari berbagai arah ke lautan
yang lepas, tetapi sang lautan tak pernah mengeluh atau goncang
karenanya dan selalu dengan tenang dan tegar menerima semua
aliran-aliran air yang telah tercemar ini, bahkan dikembalikannya dalam
bentuk uap yang bersih untuk dijadikan hujan oleh alam itu sendiri.
Begitu pun pikiran seseorang yang telah tegar jiwa-raganya demi
dedikasinya kepada Yang Maha Esa. la akan selalu kuat menghadapi semua
cobaan dan kemauan-kemauan indra-indranya dalam kedamaian yang abadi.
71. Seseorang
yang melupakan semua keinginannya dan bertindak lepas dari segala
hasrat, tanpa rasa egoisme dan tanpa rasa memiliki apapun ia pergi ke
arah damai.
72. Inilah daerah suci (Brahmishiti), oh Arjuna! Setelah
mencapai daerah ini tak ada seorangpun yang kacau pikirannya.
Barangsiapa, bahkan pada detik-detik akhir hayatnya mencapai daerah
(kondisi) ini, maka ia akan pergi ke brahma-nirvana, di mana terdapat
Berkah Sang Ilahi.
Yang dimaksud dengan daerah ini sebenamya adalah
kondisi atau status seseorang. Dalam kondisi atau status yang dimaksud
ini seseorang pemuja dan Sang Brahman telah mencapai suatu kesatuan yang
tak dapat dipisahkan lagi. Seseorang yang telah mencapai kondisi ini
akan kehilangan semua ilusi duniawi dan Sang Atman akan bersinar di
dalam dirinya, dan sampailah manusia ini ke arah sempurna dan kesucian.
Bersatu dengan Yang Maha Esa (Sang Atman) berarti lepas sudah semua
kemauan duniawi kita, dan kalau seseorang dapat bertahan dalam status
semacam ini, atau bahkan baru saja mencapainya, dan langsung berakhir
hidupnya di dunia ini, maka ia langsung akan menuju ke Yang Maha Esa,
yang menjadi tujuan akhirnya, dan perlu kembali lagi ke dunia yang penuh
dengan penderitaan ini.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, llmu
Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sri Krishna
dan Arjuna, maka karya ini adalah bab kedua
yang disebut Sankya Yoga atau yoga mengenai ilmu pengetahuan.