Berkatalah Arjuna :
1. Sekiranya
Engkau berpikir, oh Krishna bahwa kesadaran (atau pengetahuan) itu
lebih baik daripada suatu tindakan (aksi), lalu mengapa pula Dikau
menyarankan aku untuk berperang?
Di
sini terlihat bahwa Arjuna telah salah menafsirkan ajaran Sri Krishna,
pertanyaan Arjuna ini mungkin tidak berbeda dengan pikiran yang ada di
benak kita sendiri karena setelah membaca dua bab permulaan ini biasanya
timbul pikiran mengapa ajaran Sri Krishna ini nampak berkontradiksi.
Arjuna berpikir bahwa kesadaran yang dicapai seseorang akan Sang Brahman
adalah lebih baik daripada suatu tindakan yang bersifat destruktif
seperti peperangan. Arjuna lupa dan tidak sadar akan pesan-pesan Sri
Krishna akan dharma-bhakti setiap orang kepadaNya dan masyarakat pada
umumnya.
2. Dengan kata-kata yang saling bertentangan ini, Dikau
mengacaukan pengertianku. Beritahukanlah kepadaku akan suatu jalan yang
jelas, dengan apa aku dapat mencapai yang terbaik.
3. Di
dunia ini ada dua ajaran yang telah Kuajarkan semenjak masa yang amat
silam, oh Arjuna! Yang pertama adalah ajaran tentang ilmu pengetahuan
(gnana-yoga) yang disebut ajaran Sankhya, untuk mereka-mereka yang penuh
dengan ketekunan untuk mempelajarinya; dan yang kedua adalah ajaran
mengenai tindakan (aksi, perbuatan pekerjaan, atau karma-yoga), jalannya
para yogi, yaitu yang hidupnya harus bekerja dan selalu penuh dengan
aksi.Skripsi-skripsi kuno Hindu mengajarkan
tentang ajaran Sankhya dan ajaran Yoga. Sankhya adalah ilmu pengetahuan
tentang Ilahi, sedangkan Yoga adalah ajaran tentang perbuatan, pekerjaan
atau yang disebut aksi. Banyak orang membeda-bedakan kedua ajaran ini
seperti halnya Arjuna, tetapi sebenarnya intisari atau tujuan dari
keduanya adalah satu, yaitu Yang Maha Esa. Jadi sebenarnya sama saja,
tergantung pemakainya saja.
Ilmu pengetahuan (gnana) dan karma-yoga
sebenarnya selaras, tidak ada konflik atau perbedaannya. Yang ada
hanyalah masalah disiplin. Yang satu disiplinnya condong ke arah gnana
dan yang satu lagi condong ke arah karma. Mereka yang menganut gnana
disebut penganut Sankhya atau Sankhya Yogi dan mereka yang jalan di
nishkama-karma (tindakan bukan untuk diri pribadi) disebut Karma-yogi.
Gnana yoga disebut juga sanyasa yoga (yoga-disiplin), karena ilmu
pengetahuan yang sejati sebenarnya mengarah ke sanyasa. Sri Shankar
Acharya, seorang filsuf Hindu yang besar pernah berkata tentang Bhagavat
Gita sebagai berikut: "Seorang penganut ilmu pengetahuan yang sejati
(gnani) seharusnya juga adalah seorang sanyasi sekaligus," tetapi
menjadi seorang sanyasi tidak berarti lalu kita semua harus menanggalkan
kewajiban duniawi kita, kewajiban kita kepada masyarakat di sekeliling
kita dan mengembara atau bertapa di hutan seorang diri tanpa acuh lagi
kepada orang hidupnya sebagai seorang sanyasi dalam dirinya sendiri,
dalam tindak-tanduknya sehari-hari. Yang dimaksud adalah kendalikan
nafsu-nafsu indra kita, dan itu hanya bisa dilakukan sambil melakukan
kewajiban kita sesuai dengan pekerjaan dan status kita dalam masyarakat.
Seperti misalnya Raja Janaka, yang adalah seorang Maha-Raja yang amat
kaya-raya dan berkuasa, tetapi dalam hidupnya sehari-hari ia tak pernah
merasa memiliki apapun juga. la bertindak sebagai raja karena sudah
merupakan kewajibannya pada Yang Maha Esa dan masyarakatnya. Raja Janaka
di dalam epik Hindu dikenal sebagai seorang gnani yang mempraktekkan
sanyasa, yaitu tidak keterikatan pada hal-hal yang bersifat duniawi,
atau dengan kata lain menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi.
Dengan
kata lain, Gnana-yoga, Sanyasa-yoga dan Sankhya-yoga adalah sininimus,
atau sama saja artinya. Menurut para guru agama Hindu, gnana tidak
berarti ilmu pengetahuan yang didapatkan dari buku-buku. Seorang gnani
bukanlah seorang kutu-buku, karena seseorang boleh saja membaca banyak
buku bahkan mengutip dari buku-buku suci, tetapi belum tentu ia
menghayati isi buku-buku ini dan berubah langsung menjadi seorang gnani.
Gnana atau ilmu pengetahuan yang sejati didapatkan secara langsung,
bukan dari buku-buku. Seorang gnani sejati adalah seorang pertapa,
seorang yang dapat melihat kebenaran. la bukan seorang penyair atau
pengarang yang berbicara atau menulis dari apa yang ia dengar atau
lihat. la berbicara atau menulis karena ia merasakan dan melihat
kebenaran itu secara langsung dan sendiri. la memiliki sakshatkara,
yaitu persepsi atau intuisi langsung.
Tidak ada kebijaksanaan yang
dapat kita ambil dari buku-buku begitu saja, tetapi harus melalui proses
di dalam hidup kita ini. Gnana berarti menyadari diri kita sendiri.
Hargailah ketenangan dan keheningan, karena kesadaran atau kebijaksanaan
biasanya datang pada waktu-waktu yang hening. Makin banyak ketenangan
dan keheningan di dalam diri kita, makin banyak timbul kesadaran dan
kebijaksanaan.
4. Seseorang tidak akan mendapatkan
kebebasan dengan menelantarkan pekerjaannya, juga seseorang tidak akan
mendapatkan kesempurnaan dengan hanya berpasrah diri.
Idealnya
seorang yang berjalan di jalannya karma-yoga adalah bekerja sesuai
dengan tugasnya tanpa terpengaruh oleh tugas itu secara duniawi. Dan
kondisi semacam ini tidak dapat dicapai dengan tidak mengacuhkan atau
menelantarkan pekerjaan itu sendiri. Aktiflah, sabda Bhagavat Gita,
tetapi tanpa pamrih atau mengharapkan suatu imbalan sekecil apapun juga.
Yang penting bukan tidak acuh pada pekerjaan, tetapi tidak acuh pada
nafsu-nafsu indra kita yang serakah dan tidak terkendali. Bekerjalah,
berproduktiflah dalam setiap hal, tetapi janganlah kita menciptakan
kekacauan atau hal-hal yang buruk atau negatif. Ciptakanlah sesuatu yang
indah, yang positif untuk dirimu dan semua di sekitarmu dan semua
perbuatanmu selama tidak dilakukan dengan nafsu egois, dan selama tidak
bermotifkan pamrih akan indah dan berguna untuk semuanya.
Siddhi
adalah kesempurnaan, dan kesempurnaan biasanya tercapai dari suatu
ketenangan atau keheningan. Dan ciri-ciri khas seorang yang penuh dengan
siddhi ini adalah:
a. la memiliki disiplin yang kuat sekali dalam
mengendalikan keinginan indra-indranya, bahkan sampai ke hal-hal yang
terkecil sekali pun.
b. la telah belajar dan sadar bahwa "egonya harus dibunuh, apapun bentuk ego itu." Ada dua jalan ke arah siddhi ini:
i. tidak mengikuti jalan pikiran yang duniawi, dan
ii. tidak mementingkan hal-hal yang bersifat duniawi.
Agar
pikiran kita selalu tenang dan tak tergoyahkan, maka perlu sekali untuk
mengesampingkan semua unsur-unsur duniawi yang ada di sekitar kita.
Seseorang yang tekun bermeditasi harus selalu mengatakan pada dirinya:
uang, rumah, keluarga, istri, anak, harta milik, kekuasaan, rasa hormat
dan lain sebagainya adalah milik Sang Maya, dan bersifat tidak abadi,
hanya Sang Atman yang abadi. Dan pikiran semacam ini harus betul-betul
dihayati dan tertanam di dalam benak kita sehari-hari.
Seseorang yang
stabil meditasinya tak akan terganggu oleh berbagai pikiran yang keluar
masuk dalam kepalanya. Semua itu dipikirkannya secara santai dan tenang
dan tidak secara serius. Meditasi yang benar akan menghasilkan
seseorang yang selalu gembira, bercahaya roman-mukanya, penuh dengan
enersi dan dinamik tindak tanduknya. Pikiran-pikiran yang negatif tak
akan membantunya sama sekali, tetapi positif dan mengesampingkan
kepentingan pribadi dan tak terpengaruh duniawi akan menghasilkan energi
yang positif bagi seorang yang gemar bermeditasi.
Bagi seorang yang
ingin mencapai ketenangan, maka dianjurkan untuk belajar bermeditasi
pada seorang guru yang telah mencapai suatu kesempurnaan, karena dari
sang guru ini akan terpancar keluar getaran yang amat positif bagi sang
murid. Tanda-tanda seorang spiritual yang telah mencapai ketenangan jiwa
ini adalah selain jiwanya betul-betul telah tenang tak tergoyahkan,
juga ia tak akan pernah berpengaruh oleh semua kejadian-kejadian di
dunia ini.
5. Tak seoranq pun dapat lepas dari
suatu aksi, walaupun hanya sejenak; karena setiap orang tanpa
dikuasainya harus bertindak sesuai dengan guna-guna (sifat-sifat alami
pembawaannya) yang lahir dari prakriti (alam).
6. Seseoranq
yang nampak tenang, tidak bertindak apapun dengan organ-organ
sensualnya (indra-indranya), tetapi di dalam benaknya yang terpikir
justru obyek-obyek sensual, orang yang kacau dan dalam kegelapan ini
disebut orang yang munafik.
Aksi perbuatan atau
karma adalah suatu hal yang tak terelakkan lagi bagi manusia yang hidup;
manusia bahkan tak bisa hidup dengan baik kalau tidak bertindak atau
bekerja. Hidup berarti bekerja, bertindak atau berbuat atau berpikir.
Tidak-bekerja yang sejati adalah dengan tidak berpikir tentang hal-hal
yang negatif mengendalikan indra-indra kita dan mematikan ego kita
pribadi yang selalu menghubungkan setiap tindakan kita dengan "aku" dan
"punyaku." Menyerahkan secara total semua bentuk ego, cinta, dan segala
keterikatan kita kepadaNya adalah bekerja dalam tidak bekerja. Mengelak
dari pekerjaan adalah suatu hal yang tidak mungkin. Mata kita tak dapat
bekerja selain melihat, kuping tak dapat bekerja lain selain mendengar,
dan badan kita tak dapat bekerja selain merasakan, dan otak kita tak
dapat bekerja selain berpikir. Jadi mau tak mau seseorang harus bekerja
atau bertindak sesuai dengan karmanya. Seandainya kita tidak mau bekerja
dan ingin duduk diam saja sebagai patung, maka bukankah kita juga telah
bertindak sebagai patung? Dengan mengelak dari tindakan/aksi, kita tak
akan pergi ke jalan penerangan/kesempurnaan, tetapi kembali ke "alam"
(prakriti) dan tindakan alami.
Dalam "alam" ini ada tiga chakra atau
tiga pusat energi. Dari ketiga pusat ini datanglah pekerjaan-pekerjaan
untuk badan kita secara otomatis tanpa kita sadari. Ketiga chakra ini
dengan kata lain disebut sifat sattva, raja dan tama yang merupakan
pusat-pusat dari aksi kita masing-masing. Dan sekiranya diluar badan
kita, kita dapat mengendalikan semua unsur-unsur indra kita, tetapi
dalam benak kita justru tak dapat lepas dari selera-selera duniawi ini,
maka orang semacam ini disebut oleh Sri Krishna sebagai manusia yang
munafik. Contoh: seorang yang dianggap suci seperti pendeta, misalnya,
yang sehari-hari nampak bertindak suci, tetapi sekali melihat gadis
cantik langsung terangsang gairah seksualnya. Walaupun mungkin ia tidak
bertindak lebih lanjut, tetapi itu sudah menunjukkan betapa
tindak-tanduknya sudah tidak sesuai dengan hati dan pikirannya, dan
inilah yang disebut munafik, karena tidak jujur pada diri dan masyarakat
sekelilingnya, apalagi kepada Yang Maha Esa. Organ-organ sensual kita
(indra-indra) adalah sebagian dari prakriti, begitu pun pikiran-pikiran
kita; untuk menjalani hidup yang sejati ini kita harus dapat menaklukkan
bukan saja indra-indra kita, tetapi juga pikiran kita, dan itu berarti
menaklukkan prakriti itu sendiri secara tidak langsung.
Salah satu
contoh yang baik untuk mengalahkan avykta ini adalah dengan tinggal
bersama-sama dengan seorang suci. Juga sebaiknya setiap orang tidur
dikamarnya masing-masing yang dilengkapi dengan gambar-gambar
orang-orang suci, dewa-dewi, dan ayat-ayat suci. Mengoleksi buku-buku
suci dan membakar wewangian untuk pujaan. Sebelum tidur bermeditasilah,
dan memfokuskan diri pada hal-hal yang positif dan suci seperti
mantra-mantra suci, atau pada suatu dewa tertentu, atau pada sang guru,
dan lebih baik lagi kalau dapat memfokuskan diri pada Sang Atman, Sri
Krishna atau Sang Brahman secara langsung (Yang Maha Esa).
7. Tetapi
barangsiapa yang mengendalikan indra-indranya dengan pikirannya, oh
Arjuna, dan tanpa keterikatan mempekerjakan organ-organnya demi
karma-yoganya (aksi atau pekerjaannya), maka ia disebut berhasil.
Dalam
karma-yoga (pekerjaan kita), lakukanlah karma atau pekerjaan kita
sesuai dengan kewajiban kita tetapi tanpa keterikatan secara duniawi.
Kita bekerja sebenarnya karena demi dan untukNya dan tanpa pamrih, tanpa
rasa memiliki, atau ego atau imbalan, dan sadar bahwa apapun yang
dikerjakan adalah manifestasi dari Yang Satu itu, Yang Abadi
selama-lamanya.
8. Lakukan pekerjaan yang telah menjadi kewajibanmu,
karena bekerja adalah lebih baik daripada tidak bekerja, bahkan ragamu
saja tak mungkin stabil tanpa suatu aktifitas.
Aktifitas adalah lebih
baik daripada bermalas-malas tanpa suatu pekerjaan. kita duduk tanpa
bekerja, maka raga atau badan kita bisa sakit karenanya.
9. Pekerjaan
merupakan suatu keterikatan di dunia ini, kecuali kalau dilakukan demi
pengorbanan (demi Yang Maha Kuasa). Seyogyanyalah, oh Arjuna, dikau
aktif untuk pengorbanan ini, bebas dari segala keterikatan.
Setiap
manusia di dunia ini telah terkurung oleh pekerjaan, dan setiap orang
sibuk dan menjadi budak dari pekerjaan ini. Untuk penggantinya, maka
dianjurkan agar kita tidak menjadi budak dari pekerjaan-pekerjaan ini,
yaitu dengan bekerja demi Yang Maha Esa semata. Dengan kata lain secara
mental kita berpikir bahwa semua pekerjaan atau kewajiban sebenarnya
hanyalah untuk Dia semata. Dengan demikian kita bisa bekerja dan
merencanakan sesuatu secara tanpa keterikatan duniawi. Dengan ini akan
timbullah suatu rasa kebebasan dari hal-hal yang bersifat duniawi,
karena semua hasil akhir juga diserahkan kepadaNya untuk diolah dan
ditentukan akibat-akibatnya, atau hasil maupun buahnya.
Di sloka
diatas ada kata-kata, lakukan pekerjaanmu demi pengorbanan ini, yang
dimaksud dengan pengorbanan ini adalah yagna. Menurut Shankara, ahli dan
filsuf Hindu yang terkenal di masa silam, yagna dapat berarti Vishnu,
Sang Maha pengasih. Yagna dengan demikian disimpulkan sebagai Yang Maha
Esa dan juga pengorbanan untuk Yang Maha Esa. Kemudian mungkin timbul
pertanyaan, pekerjaan apakah yang dapat disebut sejati? Semua pekerjaan
yang bermotifkan dedikasi atau semata untuk Yang Maha Esa adalah
pekerjaan yang sejati. Pengorbanan selalu berarti "mengorbankan diri
sendiri untuk orang atau hal lain," dan berkorban berarti menemukan diri
sendiri yang sejati; tuluskah diri ini, atau masih tertutup oleh
hawa-hawa nafsu dan ego?
10. Pada masa yang lalu, Prajapati, Dewanya
para makhluk-makhluk, menciptakan" manusia dengan suatu itikad yang
penuh dengan pengorbanan dan berkatalah dewa ini: "Dengan pengorbanan
ini engkau akan sejahtera. Dan pengorbanan ini adalah ibarat Kamakhuk
(sapi kemakmuran yang beranak-pinak yang akan menghasilkan
kemauan-kemauanmu).
Dewanya para makhluk yang dalam epik-epik Hindu
kuno disebut Prajapati, yang menciptakan para makhluk di dunia ini;
sewaktu menciptakan makhluk-makhluk ini ia mendasarkan pekerjaan ini
pada suatu sifat pengorbanan yang tulus demi Yang Mata Esa karena Sang
Dewa ini sadar bahwa semua tugas atau pekerjaan sebenarnya adalah
kehendak dan demi Yang Maha Esa semata. la mengibaratkan pengorbanan ini
sebagai Kamadhuk, yaitu seekor sapi yang dianggap suci dan terkenal
sekali karena selalu beranak-pinak tanpa hentinya. Sang Dewa ini selalu
menganjurkan manusia agar dalam segala tindak-tanduk manusia apakah itu
suatu pekerjaan sehari-hari atau pekerjaan yang lain, agar selalu
mendasarkan setiap tindakan manusia itu dengan rasa pengorbanan yang
tulus. Jadi tidak bekerja demi diri semata tetapi demi suatu kehendak
yang tersembunyi, demi suatu rahasia yang ada di belakang setiap
tindakan kita, dan rahasia atau kehendak ini tidak lain dan tidak bukan
adalah la semata. Setiap pengorbanan yang tulus merupakan hal yang vital
untuk perkembangan hidup kita, karena akan membersihkan jiwa-raga kita,
dan hal ini betul-betul merupakan suatu tindakan spiritual yang tidak
disadari oleh pelakunya. Secara lambat laun pelaku yagna ini akan
dijauhkan dari segala mara-bahaya dan hal-hal yang bersifat negatif, dan
banyak hal-hal diluar dugaan dan pikirannya akan terjadi pada seseorang
yang aktif dan tulus beryagna ini. Tetapi ingat ini bukan untuk
digembar-gemborkan, tetapi harus dilakukan dengan tulus dan tanpa banyak
cerita!
Yagna sebenarnya bukan untuk mendapatkan harta-benda
duniawi, inilah kesalahan, sementara orang yang lebih aktif beryagna
secara duniawi, tetapi lebih bersifat untuk melajukan seseorang ke arah
Yang Maha Esa. Semakin banyak yagna kita yang spontan dan tulus
sehari-hari semakin dekat kita kepadaNya dan menyatu denganNya. Dan
pengorbanan ini bukan satu jenis saja, misalnya dalam gnana-yoga yang
dikorbankan adalah ketidak-tahuan kita. Dalam karma-yoga yang
dikorbankan adalah imbalan atau hasil kerja dan aktivitas kita. Dalam
bhakti-yoga yang dikorbankan adalah keterikatan atas dua rasa atau sifat
yang saling berlawanan seperti senang-susah, suka-duka, benci-cinta,
panas-dingin, dsb.
11. Dengan yagna, atau pengorbanan, berikanlah kepada para dewa, dan
para dewa akan memberikannya kembali kepadamu yang kau pinta. Dengan
saling memberikan kepada mereka ini dikau akan mencapai Kebaikan Yang
Utama.
12. Dengan mendapatkan pengorbanan, para dewa akan
memberkahimu dengan yang kau pinta. Dan barangsiapa yang menerima berkah
dari para dewa tanpa berkorban kembali kepada mereka adalah
betul-betul seorang pencuri.
Di salah satu kitab suci Hindu Kuno yang
disebut Vishnu Purana, dapat kita baca suatu kisah di mana para dewa
menurunkan hujan kepada manusia yang melakukan upacara korban kepada
dewa-dewa ini. Hal yang sama masih kita lakukan juga pada waktu-waktu
tertentu dewasa ini di mana ada kepercayaan agama Hindu. Para dewa ini
sebenarnya diciptakan Yang Maha Esa untuk menjadi pelindung atau partner
dari manusia, dan sebaliknya manusia yang memuja dewa-dewa ini dengan
tujuan tertentu diharuskan untuk berkorban kepada dewa-dewa ini. Dengan
ini akan tercapai kerja-sama yang baik antara dewa-dewa dan manusia demi
langgengnya kehidupan dunia ini dengan segala kesibukannya. Para dewa
tidak saja dapat memberikan harta-benda duniawi, tetapi juga dapat
dipanggil melalui mantra-mantra tertentu baik untuk penyembuhan atau
untuk meminta melawan perbuatan jahat. Tetapi ingat dari dewa untuk
dewa, dari Yang Maha Esa untuk Yang Maha Esa, dan setiap tindakan untuk
Yang Maha Esa berarti lebih dekat lagi denganNya. Juga terdapat makna
lain dari pengorbanan ini yaitu, agar apa yang kita lakukan itu hasilnya
dapat kita bagi juga untuk yang lainnya dan tidak hanya untuk diri
sendiri. Di Manava Dharma Shastra tertulis: "Seseorang hanya memakan
dosa, sekiranya la memasak untuk dirinya sendiri!"
Sekiranya sewaktu
kita makan, alangkah baiknya kalau dimulai dulu dengan doa dan kita
serahkan dulu yang kita makan kepadaNya dan kemudian kita bagi juga bagi
sesama makhluk lain, misalnya dengan membuang sedikit nasi yang kita
makan untuk semut-semut di halaman rumah, atau untuk anjing dan kucing
piaraan di rumah, dan lebih dari itu kalau ada kelebihan dibagi kepada
fakir-miskin atau orang lain yang membutuhkannya. Memberikan sesuatu
yang berlebihan di rumah kita adalah pekerjaan sosial yang dianjurkan
setiap agama, karena merupakan titipan dariNya juga untuk orang-orang
lain yang membutuhkannya. Dan ingatlah setiap orang yang kikir selalu
kehilangan sebagian dari harta-bendanya atau kebahagiannya karena hukum
alam akan berlaku atas orang yang berlebih-lebihan miliknya baik itu
dalam bentuk materi atau yang bersifat abstrak seperti pikiran atau
rasa.
13. Mereka yang baik, adalah yang memakan sisa-sisa dari yang
telah dikorbankannya, dan mereka-mereka ini akan lepas dari dosa-dosa.
Tetapi yang tak beriman hanya memikirkan diri mereka sendiri yang mereka
makan hanyalah dosa!
Dengan membagi makan atau kelebihan harta-benda
kita kepada sesamanya yang membutuhkannya dan menyerahkan setiap
tindakan dan posesi kita kepadaNya, maka lambat laun akan terjadi proses
pembersihan dan pemurnian diri kita pribadi.
14. Dari makanan
terbentuklah makhluk-makhluk, dari hujan terbentuklah makanan; hujan
terbentuk dari yagna atau pengorbanan; dan pengorbanan lahir dari aksi
(karma).
Di sini terlihat bahwa roda kosmik berputar secara
sistimatis berdasarkan yagna atau pengorbanan. Dengan ini kita
seharusnya sadar bahwa betapa besarnya sebenarnya nilai dari suatu yagna
atau amal yang tulus, yang demi Ia semata-mata tanpa mengharapkan
pahala atau pamrih.
15. Ketahuilah oleh dikau bahwa karma (aksi)
timbul dari Sang Brahma, dan Sang Brahma datang dari Yang Maha Esa (Yang
Tak Terbinasakan). Jadi Sang Brahma yang selalu ada selalu hadir pada
setiap pengorbanan.
Dunia diciptakan oleh Sang Purusha Tunggal (Sang
Brahma) dengan penuh pengorbanan besar yaitu dirinya sendiri.
Tangan-tangan dan kaki-kakinya tersebar ke seluruh dunia (di alam
semesta). Berkat pengorbanan inilah dunia diciptakan dan berkat
pengorbanan-pengorbanan dari berbagai dewa-dewa, para pahlawan-pahlawan,
manusia-manusia suci sepanjang masa, maka dunia ini sampai sekarang
masih bisa bertahan. Lihatlah di sekitar kita, kalau ada yang berbuat
jahat maka pasti ada individu lain yang berbuat baik untuk menetralisir
keadaan ini. Ini berarti sebenarnya tanpa kita sadari setiap pengorbanan
yang mengorbankan dirinya sendiri sedang atau sudah berusaha
menstabilkan alam dan unsur-unsur yang ada di alam ini sendiri.
16. Seseorang
yang hidup di dunia ini tanpa mau menggerakkan roda-roda pengorbanan,
adalah seorang yang penuh dengan dosa dan nafsu-nafsu duniawi. Orang
semacam ini, oh Arjuna, hidup secara sia-sia.
Seorang yang hidupnya
adalah untuk diri-pribadinya sendiri, sebenarnya kehilangan nilai-nilai
kehidupan yang berarti. Yang rugi sebenarnya adalah dirinya sendiri.
17. Tetapi
seseorang yang bahagia di dalam Sang Atmannya sendiri, yang merasa
cukup dengan Dirinya, dan selalu puas oleh Dirinya untuk orang semacam
ini sebenarnya tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Seseorang
yang telah menemukan kebahagian dan kedamaian di dalam Sang Atman (Jati
Dirinya sendiri), yang bersemayam di dalam dirinya sendiri, tidak perlu
menyelesaikan pekerjaannya, ujar Sri Krishna penuh makna. Maksudnya di
sini bukan lain orang semacam ini lalu bermalas-malasan tanpa kerja.
Tetapi semua aktivitias baginya bahkan merupakan pekerjaan yang
membahagiakan dan menimbulkan rasa damai baginya, karena ia berpikir
sebagai alat ia dipakai oleh Yang Maha Kuasa, dan setiap pekerjaan atau
problema bukanlah jadi beban lagi tetapi kewajiban yang ditunggu-tunggu
olehnya. Secara mental ini berarti sama saja tidak ada pekerjaan
untuknya semata. Bukankah Yang Maha Esa sendiri mengorbankan DiriNya
sendiri untuk menjadi seorang manusia, yaitu Sri Krishna agar dapat
secara langsung dan pribadi mengajarkan Bhagavat Gita kepada kita
semuanya. Tidak ada suatu bentuk pekerjaan yang kotor bagi yang telah
menemukan Jati Dirinya, karena Ia selalu akan dituntun oleh Sang Atman
sesuai dengan kehendakNya.
18. la tidak punya kepentingan pribadi di
dunia ini baik ia melakukan sesuatu maupun ia tidak melakukan sesuatu.
la tidak bersandar kepada siapapun untuk mencapai (atau mendapatkan)
sesuatu dalam hidupnya.
Orang yang telah mencapai taraf kejiwaan ini
benar-benar adalah seorang manusia yang amat bebas hidupnya. Baik ia
melakukan sesuatu maupun tidak, ia tidak pernah merasa rugi atau untung
karena tindakan itu, benar-benar alat sifat dan statusnya, karena semua
tindakan tidak disangkut-pautkan dengan pribadinya. la bebas dari segala
beban duniawi dan tidak bersandar pada siapapun maupun pada suatu
keadaan atau benda-benda dan sekelilingnya, ia hanya bersandar pada Yang
Maha Esa semata. Baginya sehari-hari apa saja yang dimakan atau
disandangnya walau hanya sedikit sudah terasa amat cukup. Hidupnya sudah
menyatu dengan Yang Maha Kuasa, dan segala kejadian-kejadian duniawi
seperti huru-hara, peperangan, musibah dan lain sebagainya, walaupun di
perhatikannya secara manusiawi sekali sebenarya tidak lagi berpengaruh
terhadapnya. Tanpa disadarinya maupun disadarinya lepas sudah
kewajiban-kewajiban duniawi dari dirinya, yang ada hanya kewajibannya
terhadap Yang Maha Kuasa. Bekerja atau tidak sama saja baginya, tetapi
ia akan selalu bekerja terus tanpa henti dan tanpa pamrih, karena
setelah mengenal Sang Atman, ia akan sadar bahwa semua adalah satu, dan
apapun yang dilakukannya atau dikorbankannya adalah dari Dia, oleh Dia
dan untuk Dia semata.
19. Seyogyanyalah dikau selalu mengerjakan
kewajibanmu tanpa rasa keterikatan, karena dengan bekerja tanpa pamrih
seseorang akan mencapai Parama Yang Tertinggi.
Bekerjalah selalu
tanpa pamrih, inilah pesan inti dari Bhagavat Gita yang tidak
bosan-bosannya diulang-ulang oleh Sri Krishna bagi kita semua. Dengan
dedikasi yang berkesinambungan, yang secara konstan dilakukan oleh
seseorang terhadapNya, maka suatu saat pasti orang atau pemuja ini akan
mencapai kebenaran Yang Sejati, Yang Tertinggi sifatnya. Janganlah ragu
dan bimbang akan hasil pekerjaan itu, mereka yang bekerja secara murni
untuk Yang Maha Kuasa tidak akan gentar dengan segala hasil yang
diperolehnya. Orang semacam ini tidak akan memaksakan suatu pekerjaan
tertentu, tetapi selalu akan bekerja sesuai dengan kehendakNya, dan
bekerja tanpa keterikatan akan sukses atau tidaknya pekerjaan itu,
bahkan tanpa pamrih. Dan bekerja tanpa pamrih ini akan melepaskan kita
dari ikatan-ikatan duniawi ini, dan bebaslah kita sesungguh-sungguhnya
bebas.
20. Janaka dan juga yang lain-lainnya benar-benar mencapai
kesempurnaan dengan bekerja. Dan dikau pun seharusnya bekerja dengan
dasar kesejahteraan dunia ini.
Raja Janaka Dari Mithila, adalah
seorang raja yang amat kaya-raya dan agung sifatnya. la juga adalah
seorang karma-yogi yang ideal, karena ia memerintah kerajaannya demi
Yang Maha Kuasa tanpa sedikit pun ambisi pribadi atau merasa semua itu
miliknya pribadi. la berhasil menguasai egonya dan pernah berkata,
"Seandainya kerajaan Mithila ini terbakar tidak ada sesuatu pun punyaku
yang hilang." Raja Janaka berkuasa dikerajaannya sampai akhir hayatnya
karena ia merasa bekerja demi yang lainnya dan menjadi contoh atau model
untuk raja-raja yang lainya agar bekerja demi Yang Maha Kuasa semata.
Suatu saat kemudian Sang Raja ini mencapai kesempurnaannya dengan
bekerja terus-menurus, tanpa pamrih demi Yang Maha Kuasa. Boethius
seorang filsuf Barat pernah berkata: "Seseorang tak akan pernah pergi ke
sorga kalau hanya ia sendiri yang ingin ke sana."
21.Apapun yang dilakukan oleh seorang pemimpin, maka masyarakat akan
mengikutinya. Masyarakat akan meniru sama kaidah-kaidah yang
dilaksanakan oleh pimpinan itu.
Masyarakat selalu cenderung untuk
meniru tingkah-laku dan kehidupan seorang pemimpin bangsa. Seandainya
seorang pemimpin atau pemuka masyarakat bertindak religius, bijaksana,
rendah-hati, hidup sederhana dan tidak serakah pada kekuasaannya, maka
masyarakat akan menghormatinya dan bertindak sama dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Tetapi seandainya seorang pemimpin mulai bertindak
serakah, menyalah-gunakan kekuasaannya, memerintah dengan angkara-murka,
dan korupsi, maka jajaran menteri-menteri dan para bawahan-bawahan
menteri sampai ke pamong-praja dan masyarakat akhirnya, akan bertindak
sama. Karena itulah pola atau kaidah-kaidah yang telah diterapkan oleh
sang pemimpin, yang lambat laun menjalar ke semuanya dan terasa biasa
oleh para pelaku-pelakunya.
22. Tidak ada sesuatu apapun di ketiga
loka ini yang Kukerjakan, oh Arjuna, atau pun ingin mencapai sesuatu
yang belum tercapai, tetapi Aku selalu aktif bekerja.
Yang Maha Kuasa
sebenarnya tidak perlu bekerja untuk menunjang alam semesta ini beserta
seluruh isinya, tetapi la memberikan contoh yang baik dengan menitis
menjadi Sri Krishna dan mengajarkan Bhagavat Gita kepada manusia agar
jalan lurus ke arahNya.
23. Karena, kalau Aku tidak aktif, maka mereka-mereka yang aktif dan penuh pengorbanan tidak akan mencontoh Diriku, oh Arjuna!
Sekali
lagi Yang Maha Kuasa memberikan keteladanan yang amat agung, agar
mereka-mereka yang bekerja demi dan untukNya semata makin aktif saja
untuk bekerja demi sesamanya dan demi Yang Maha Kuasa. Di sini terlihat
bahwa Bhagavat Gita tidak menganjurkan siapa saja untuk berdiam diri
tanpa berbuat sesuatu karena merasa semua sudah diatur Yang Maha Kuasa.
Tetapi sebaliknya setiap insan dianjurkan untuk selalu bekerja, tetapi
harus tanpa pamrih.
24. Seandainya Aku berhenti bekerja, maka dunia
ini akan runtuh, dan Aku jadi penyebab kekacauan, dan semua
manusia-manusia ini akan binasa.
25. Ibarat seorang bodoh yang
bekerja demi hasilnya, oh Arjuna, maka seyogyanyalah seorang yang
bijaksana juga bekerja, tetapi tanpa pamrih, dan dengan tujuan untuk
kelangsungan hidup di dunia ini.
Kontradiksi antara yang bodoh
(jurang pengetahuannya) dan yang bijaksana jelas sekali di sloka atas
ini. Yang pertama bekerja demi suatu motif dan untuk kepentingan dirinya
sendiri, sedangkan yang bijaksana bekerja tanpa pamrih dan untuk
sesamanya. Pekerjaannya sama, motif dan tujuannya lain.
26. Janganlah
seorang vidvan (bijaksana) mencegah pikiran mereka-mereka yang terikat
kepada pekerjaan mereka. Tetapi bertindaklah berdasarkan ilmu
pengetahuan ini sesuai dengan kehendakKu dengan begitu memberikan
inspirasi (atau mengajarkan) mereka untuk bertindak yang betul.
Jangan
mengusik atau mengkritik mereka-mereka yang terikat pada kehidupan dan
pekerjaan mereka, karena kesadaran yang sejati harus datang dari
hati-nurani mereka sendiri. Kewajiban seorang yang bijaksana adalah
memberikan contoh-contoh kepada orang-orang semacam ini, dengan begitu
menimbulkan kesadaran atau inspirasi kepada mereka, bahwa bekerja atau
hidup ini sebenarnya untuk Yang Maha Esa semata dan bukan untuk
kepentingan diri pribadi sendiri. Dengan bertindak begitu seorang yang
bijaksana akan bertindak sesuai dengan kemauan atau kehendak Yang Maha
Kuasa yang tak pernah memaksakan kehendak atau keinginanNya untuk
diikuti seseorang. Setiap orang bebas untuk memuja atau tidak memujaNya,
untuk berperi-laku baik atau buruk.
Jangan sekali-kali kita
meremehkan kepercayaan orang-orang lain, apapun kepercayaan dan
keyakinan mereka, bahkan seharusnya kita harus menghormatinya dan
kemudian membantunya untuk lebih mengenal Yang Maha Esa dan bertugas
demi Yang Maha Esa. Setiap simbol yang dipuja atau tindakan atau
kepercayaan seseorang sebenarnya merupakan suatu proses atau tindakan
atau anak-tangga dari setiap individu untuk ke Yang Maha Esa juga,
tetapi karena "kebodohan" seseorang maka ia berjalan atas konsep atau
pengertian yang salah, pada hal yang ditujunya adalah kekuatan Yang
Abadi juga. Dan setiap individu ini suatu saat secara perlahan tetapi
pasti akan menuju ke Yang Maha Esa juga. Jadi sebaiknya seorang yang
bijaksana memperbaiki dan membantu mengarahkan orang-orang ini ke jalan
yang benar, dan tidak sekali-kali memaksa atau menertawakan kepercayaan
orang lain.
27. Sebenarnya semua tindakan (aktifitas) dilakukan
berdasarkan sifat-sifat alam (ketiga guna), tetapi seseorang yang penuh
dengan rasa egois (ahankara) akan berpikir: Akulah yang melakukannya."
28. Tetapi
seseorang, oh Arjuna, yang sadar benar akan perbedaan antara Sang Jiwa
dan sifat-sifat alam serta cara kerja sifat-sifat alam ini, tak akan
terikat pada pekerjaannya, karena ia sadar bahwa yang bekerja sebenarnya
adalah sifat-sifat alam ini.
Seseorang yang bijaksana sadar bahwa
Sang Atman (yang bersemayam di dalam diri kita), tak akan tercemar oleh
pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan orang tersebut. Seperti juga halnya
Sang Atman ini tidak dapat dibakar, dibunuh atau dihancurkan. Orang
bijaksana ini pun sadar bahwa yang bertindak dengan aktif sebenarnya
bukan Sang Atman tetapi adalah ketiga sifat alam yang disebut guna, dari
Sang Prakriti. Sedangkan seseorang yang tidak bijaksana atau yang
kurang pengetahuannya merasa semua tindakan yang dilakukannya berasal
dari dirinya semata. Secara sadar seorang yang bijaksana mengorbankan
segala tindakannya kepada Yang Maha Esa, dan secara otomatis ia akan
selalu bekerja melawan segala dosa dan cobaan agar dirinya makin bersih
dan dapat lepas dari segala kegelapan, penderitaan dan kekotoran duniawi
ini. Jalan ini menuju ke jalan "tanpa-pamrih." Karena seseorang yang
bijaksana sadar bahwa yang bekerja sebenarnya bukan Sang Atman tetapi
sifat-sifat prakriti yang menimbulkan berbagai ragam aktivitas atau
tindakan. Sifat berinteraksi dengan sifat, dan benda berinteraksi dengan
benda, Sang Atman sendiri selalu teguh sebagai saksi.
29. Mereka-mereka
yang di dalam kegelapan akibat sifat-sifat alam ini terikat pada
pekerjaan-pekerjaan yang ditimbulkan oleh sifat-sifat ini. Seorang yang
sadar semuanya itu tak akan menggoyahkan pikiran seseorang lain yang
hanya mengerti sebagian kecil.
Seseorang yang bijaksana akan membantu
tanpa pamrih kepercayaan atau tindakan positif orang lain yang kurang
mengerti ini, dan tidak sekali-kali menimbulkan kekacauan dalam hati
orang yang ditolongnya ini. Dengan memberikan contoh-contoh yang baik
seseorang yang bijaksana akan membantu orang yang lain sesuai
pengabdiannya kepada Yang Maha Esa.
30. Serahkan semua
tindakan-tindakanmu kepadaKu, dengan pikiran-pikiranmu bersandar pada
Yang Maha Esa, lepas dari segala kemauan dan egoisme, sadarlah dari
penyakit (mental) mu, berperanglah dikau, oh Arjuna!
Dengan
menyerahkan semua imbalan atau pamrih dari segala tindakan-tindakan kita
kepada Yang Maha Esa, maka seyogyanyalah seseorang berdoa kepadaNya
agar Ia memberkahi alam semesta beserta segala isinya ini dengan segala
karuniaNya. Jangan mencari kebahagian pribadi, tetapi berkorbanlah
selalu demi sesamamu dan semuanya, demi Yang Maha Esa pada hakikatnya.
Serahkanlah semua milikmu kepadaNya, serahkan semua itu dengan jiwa yang
penuh dedikasi dan suatu waktu kelak kita pun dapat merasakan datangnya
karunia Ilahi Yang Sejati (Brahmananda). Serahkan semua yang menjadi
milikmu, apapun bentuknya, baik secara mental maupun harta duniawi dan
sadarlah bahwa Ia juga yang hadir di setiap benda dan makhluk di alam
semesta ini, dan Yang Maha Esa pun akan turun kepada diri kita dan
lengkaplah lalu diri kita ini. Dalam setiap tindakan selalulah berdoa,
"Terjadilah KehendakMu, Yang Maha Kuasa."
31. Barangsiapa menjalankan ajaran-ajaranKu ini penuh dengan kepercayaan
dan lepas dari mencari-cari kesalahan (ajaran ini) maka mereka juga
akan lepas dari keterikatan kerja.
32. Tetapi mereka yang
mencari-cari kesalahan dalam ajaranKu ini dan tidak bertindak
seharusnya; ketahuilah mereka-mereka ini buta tentang kebijaksanaan,
sesat dan tak berpikiran sehat.
Bhagavat Gita mengharuskan kita untuk
menjalankan ajaran-ajaran Sri Krishna ini dengan konsekuen dan penuh
kesadaran, bukan dengan mencari-cari kesalahan dalam ajaran ini. Bukan
juga dengan menyalah-gunakan ajaran ini untuk maksud-maksud duniawi
tertentu. Mengetahui saja ajaran-ajaran ini tidak cukup, tetapi harus
dihayati, dipraktekkan dan dipelajari secara tekun dan berulang-ulang
karena selalu merupakan sumber inspirasi yang tak ada habis-habisnya
bagi diri kita, dan kemudian selalu diamalkan untuk sesamanya. Tidak
berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran ini lambat laun malahan akan
menyesatkan seseorang yang menganut agama Hindu atau ajaran Sri Krishna
ini.
33. Seorang yang penuh dengan ilmu pun bertindak sesuai dengan
sifat-prakritinya. Setiap makhluk mengikuti sifat-sifatnya
masing-masing. Menentang sifat-sifat ini tidak akan berarti apa-apa!
34. Keterikatan
dan rasa-dualistik yang bertentangan pada obyek-obyek selalu hadir di
setiap hal. Janganlah seseorang terbius oleh kedua hal ini. Karena
kedua-duanya adalah musuh dan hambatan-hambatan dalam perjalanannya,
Adalah
kenyataan bahwa kita dilahirkan dengan sifat-sifat tertentu yang
dominan. Tetapi sifat-sifat ini menjadi amat kuat kalau selalu dikaitkan
dengan keterikatan duniawi dan rasa dualistik kita, sehingga sering
misalnya kita menyukai hal-hal yang terlarang dan tidak menyukai
kewajiban-kewajiban tertentu karena terasa tidak menyenangkan untuk
dikerjakan. Semua ini dapat di atasi secara lambat laun kalau mau kita
mendisiplinkan dan belajar secara bersama dengan orang-orang lain
tentang hal-hal yang spiritual dan dengan penuh dedikasi bertindak dan
melihat kedalam diri kita sendiri, Prakriti itu sendiri bukanlah sesuatu
kekuatan yang dinamik. Memang betul dalam kehidupan ini prakriti
memainkan peranan yang amat penting dan kuat pengaruhnya pada kita
semua, tetapi selama kita mau menceburkan diri di dalamnya dan mau
terseret oleh arusnya, maka selama itu juga kita akan terbenam di dalam
prakriti ini. Tetapi sekali kita menentangnya maka akan timbul kesadaran
untuk mengatasinya. Mengatasinya tidak dengan berperang dengan prakriti
ini, karena sukar untuk mengalahkannya, tetapi dengan merubah diri kita
yang terbenam ini menjadi ibarat sebuah perahu yang melayarinya. Jadi
masih dengan prakriti juga karena memang tidak bisa lepas darinya selama
kita masih hidup, tetapi sudah tidak terseret lagi tetapi malahan
berlayar dengannya sampai ketujuan. Sekali sudah menyeberang maka
selamatlah kita, beginilah orang-orang Hindu mengibaratkan prakriti,
sebagai sebuah sungai yang amat kuat arusnya, yang tak perlu ditentang
tetapi sebaliknya dilayari saja untuk sampai ke tujuan kita, yaitu Yang
Maha Esa.
Keterikatan dan rasa dualistik adalah musuh-musuh kita yang
harus dikalahkan. Caranya adalah dengan karma-yoga, kuasailah rasa
dualistik seperti suka dan tak suka. Organ-organ sensual atau
indra-indra kita dapat dikalahkan oleh tekad yang kuat. Tetapi jangan
menelantarkan atau menjadikan indra-indra kita ini lapar. Tanpa
terganggu oleh rasa dualistik ini, yang hadir dalam berbagai bentuk
apapun juga, lakukanlah kewajiban-kewajibanmu. Kita bukanlah
boneka-boneka ditangan sang prakriti. Prakriti hanya bisa menghambat
kebebasan kita tetapi tidak mungkin bisa merampas kebebasan kita kecuali
itu mau kita sendiri. Setiap orang memang hanya bisa mengikuti
alur-alur sifat-sifatnya belaka, tetapi seyogyanyalah seseorang meneliti
dirinya sendiri, melihat sifat-sifat apa saja yang dimilikinya, karena
setiap manusia sebenarnya bersifat balans, ada segi negatif dan
positifnya. Kembangkanlah yang positif dan kurangilah yang negatif.
Sia-sia saja melawan semua itu, sebaiknya menyesuaikan diri dulu,
kemudian merubahnya secara perlahan tetapi pasti.
35. Lebih baik
mengerjakan kewajiban atau pekerjaan (svadbarma) seseorang, walaupun
mengerjakannya kurang sempurna, daripada melakukan kewajiban orang lain,
walaupun pelaksanaannya sempurna. Lebih baik mati dalam mengerjakan
kewajiban seseorang. Mengerjakan kewajiban orang lain itu penuh dengan
mara-bahaya.
Adalah lebih baik kalau kita mengerjakan pekerjaan yang
sudah jadi kewajiban kita walaupun dalam mengerjakannya mungkin saja
tidak sempurna, daripada melakukan kewajiban orang lain, walaupun dalam
pelaksanaannya mungkin sangat sempurna. Mati dalam melakukan kewajiban
kita adalah sesuatu hal yang agung dan sebaliknya dharma yang seharusnya
menjadi hak orang lain malahan akan menimbulkan bahaya spiritual bagi
kita, seandainya kita memaksakannya juga. Jadi seorang yang bersifat
brahmana tidak perlu melakukan pekerjaan seorang waishya, dan begitupun
sebaliknya.
Tidak ada masalah bagi Yang Maha Esa mengenai
tinggi-rendahnya nilai suatu pekerjaan atau kewajiban, semuanya bagi
Yang Maha Esa sama saja sifatnya. Tetapi mengerjakan kewajiban kita
masing-masing secara baik dan penuh dedikasi nilainya lebih baik untuk
kepuasan batin kita sendiri, dan secara spiritual berkatanya ditentukan
olehNya sesuai dengan kehendakNya juga. Seorang tukang sepatu membuat
sepatu yang baik, seorang pendeta mengarahkan umatnya dengan penuh
dedikasi dan iman, dan seorang raja memerintah dengan bijaksana. Jika
semua orang bekerja dengan baik sesuai dengan kewajiban dan sifatnya
yang asli tanpa menyerobot usaha atau pekerjaan orang lain dengan alasan
apapun juga, maka semuanya akan stabil dan harmonis dalam kehidupan
ini.
Berkatalah Arjuna:
36. Oleh sebab apakah seseorang tertarik
untuk berbuat dosa padahal itu bertentangan dengan pikirannya, oh
Krishna, seakan-akan dihela oleh daya yang amat kuat?
Arjuna bertanya
seperti juga yang sering kita tanyakan pada diri-sendiri maupun kepada
guru-guru kita, mengapa seseorang berbuat dosa padahal di dalam hatinya
mungkin sekali ia tidak ingin melakukan dosa tersebut? Apa yang ada
dibalik semua rahasia ini? Seakan-akan ada sesuatu kekuatan yang dahsyat
yang menarik manusia untuk terjerumus ke dalam dosa. Apakah manusianya
yang lemah, ataukah memang ada semacam musuh manusia yang tidak terlihat
oleh mata, dan apakah musuh ini dapat dihilangkan atau dikalahkan?
Dalam
jawabannya di sloka-sloka mendatang, Sri Krishna menunjuk bahwa
manusia ini sebenarnya bukan mesin-otomatis. Dharma atau kewajiban
seseorang telah digariskan berdasarkan kehidupan atau karmanya semasa
lampau. Seseorang bisa saja lahir untuk menjadi seorang guru, polisi,
pedagang, tukang-kayu, pendeta, pegawai negeri, atau mengabdi kepada
fakir-miskin, dan sebagainya. Kewajiban itu sudah digariskan, kita harus
menemukannya sendiri sesuai dengan bisikan hati nurani kita. Sedangkan
kesucian atau perbuatan dosa seseorang, kedua hal ini tidak digariskan,
jadi terserah kepada orang atau individu yang bersangkutan untuk
memilihnya sendiri, mau berbuat dosa atau hal yang baik-baik saja.
Memang karma dan kehidupan sebelumnya akan cenderung untuk menentukan
jalan yang kita pilih, tetapi Yang Maha Kuasa pun memberikan kita
kekuatan batin, tekad, dan ratio, dan semua ini dapat menentukan jalan
apa yang harus kita ambil. Kalau seseorang maunya tersandung terus, lama
kelamaan ia harus jatuh juga, tetapi kalau tekadnya kuat untuk berjalan
lurus, ia tak akan pernah jatuh, atau kalau jatuh ia akan lebih
berhati-hati selanjutnya.
Arjuna bertanya, "mengapa seseorang berbuat
dosa padahal belum tentu ia mau melakukannya," Sebenarnya hal
tersebut tidak benar, setiap orang yang berbuat dosa sebenarnya di dalam
hatinya sudah kalah lebih dahulu dengan cobaan-cobaan yang dihadapinya,
baru kemudian ia terjerumus ke dosa itu. Seseorang yang dasarnya memang
terikat-erat pada benda-benda dan nafsu-nafsu duniawi ini akan mudah
jatuh setiap ada cobaan. Sebaliknya jika ia penuh tekad untuk bertindak
suci dan jauh dari keterikatan duniawi, maka ia akan menang. Dengan kata
lain semuanya itu, sebenarnya kembali ke disiplin manusia itu sendiri.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
37. Keinginan
(kama), kemarahan (krodha), yang lahir dari rajoguna (berbagai ragam
nafsu dan keinginan), semua ini serba penuh dengan keserakahan dan penuh
dengan pencemaran. Inilah musuh kita di bumi ini.
Ada dua
musuh manusia yang utama di dunia ini, yaitu: kama atau nafsu dan
keinginan, dan yang kedua kemarahan (krodha).
Kedua-duanya ini adalah dua wajah dari sang rajoguna, dan kedua-duanya
adalah musuh yang mematikan bagi manusia. Berhati-hatilah terhadap
mereka!
Kita sebaliknya tidak memusatkan pikiran kita pada hal-hal
yang duniawi yang kelihatannya menyenangkan. Sekiranya pikiran selalu
terpusat ke arah suatu obyek yang menyenangkan ini, maka akan timbul
suatu pengalaman atau kejadian yang akan membangkitkan nafsu atau
keinginan kita, kemudian timbul hasrat untuk mendapatkan obyek tersebut
dan, menguasainya secara total, dan jatuhlah kita ke dalam cengkraman
sang Maya. Dan seandainya sebaliknya keinginan tersebut tidak tercapai
atau kita tidak puas akan hasil yang tercapai, maka akan timbul rasa
amarah, dan rasa amarah ini kalau tidak terkendali dapat menghancurkan
segala-galanya. Cara yang terbaik untuk keluar dari cobaan kama ini
adalah dengan mengembangkan tekad kita ke jalan yang penuh disiplin dan
dedikasi kepada Yang Maha Esa. Bekerja aktif sesuai kewajiban kita
kepada Yang Maha Esa akan banyak menolong kita membentuk tekad itu
sendiri, dan tekad ini akan tumbuh terus dengan tegar di dalam diri
kita.
38. Seperti bara-api yang terbungkus oleh asap, seperti cermin
yang terlapis oleh debu dan ibarat embrio (janin bayi) yang terbungkus
oleh kulit perut--- begitu juga ini terbungkus oleh itu.
Asap selalu
melingkup bara-api, debu selalu menutupi permukaan kaca atau cermin, dan
sang jabang bayi selalu berbungkus oleh kulit perut ibunya semasa ia
masih belum dilahirkan, begitu pun nafsu ini membungkus Sang Atman kita
sehingga tak nampak cahayaNya dari luar.
39. Kebijaksanaan, oh
Arjuna, juga terbungkus oleh api nafsu yang tak terpuaskan ini yang jadi
musuh tetap orang-orang yang bijaksana.
Nafsu atau kama yang lapar
dapat menjadi musuh dari mereka-mereka yang bijaksana, karena sering
sekali nafsu ini dapat menutupi sinar Sang Atman yang bersemayam di hati
seseorang yang tidak kuat imannya. Salah satu ucapan Sang Manu (manusia
pertama) yang terkenal adalah: "Nafsu tidak pernah puas oleh
obyek-obyek sensual yang didapatkannya. Semakin banyak yang dicapainya
semakin besar ia tumbuh bagaikan bara-api yang tersiram minyak."
40. Indra-indra,
pikiran dan intelegensia (buddhi) adalah tempat-tempat nafsu itu
bersemayam. Mencegah kebijaksanaan dengan ini, nafsu menggelapkan sang
jiwa yang ada di dalam tubuh.
Apa saja yang dilakukan oleh kama? Kama
atau nafsu ini mencegat selalu di pintu-gerbang indra-indra kita,
kemudian kama ini meruntuhkan benteng pikiran kita dan kemudian masuk ke
daerah buddhi (intelegensia) dan menghancurkan kekuatan batin dan tekad
kita. Seorang yang bijaksana akan selalu menjaga baik-baik gerbang
indranya dari segala cobaan. Setiap kenikmatan indra kita baik itu dari
mulut, mata, sex dan sebagainya walaupun sedikit sebaiknya menjadi
lampu-merah dan peringatan akan bahaya, atau sang musuh yang akan
menyelip masuk di saat-saat kita lengah. Begitu kama menguasai segala
indra-indra kita, pikiran kita dan ratio kita, maka seseorang akan
menuju ke arah kehancuran dirinya. Itulah nafsu yang telah menghancurkan
banyak pahlawan-pahlawan besar, orang-orang bijaksana yang tercatat
dalam sejarah baik di Asia, Eropa maupun di mana saja di dunia ini.
41. Seyogyanyalah, oh Arjuna, kendalikan indra-indramu dan bantailah nafsu berdosa ini yang menghancurkan gnana dan vignana,
Gnana
dan vignana telah dijelaskan artinya dalam bab-bab yang lalu dengan
berbagai arti. Disini yang penting adalah bahwa jalan pikiran kita harus
bersih dan murni dalam setiap tindakan yang kita ambil. Jalan pikiran
atau buddhi kita harus dikendalikan dengan baik,atau sang nafsu
keinginan akan segera menghancurkan pengetahuan dan kebijaksanaan (gnana
dan vignana) yang telah kita bina sedikit demi sedikit.
42. Indra-indra
kita itu besar kadarnya. Tetapi pikiran itu lebih besar kadarnya
dibandingkan dengan indra-indra itu. Lebih besar lagi kadar buddhi.
Tetapi yang lebih besar lagi kadarnya adalah Ia (Sang Atman, Sang Inti
Jiwa kita).
Jadi bagaimana jalan keluar dari dosa? Serahkan saja yang
lebih ringan kadarnya kepada yang paling berat. Lepaskan semua itu dan
berpalinglah kepada yang paling Inti, dan jalanlah seperti yang selalu
dianjurkan Bhagavat Gita secara berulang-ulang yaitu: Jangan sekali-kali
jatuh pada keinginan atau rasa dualisme yang saling bertentangan
seperti suka-duka, senang-susah, dsb. Dan bertindaklah selalu dalam
setiap hal karena rasa kewajibanmu kepada Yang Maha Esa semata.
Bergeraklah dalam kesadaran mulai dari tangga yang pertama yaitu
indra-indra kita dulu, lalu ke pikiran kita, dan lambat laun dari buddhi
ke Sang Atman dan suatu saat kelak ke Yang Maha Esa. Sekali kita tak
terikat lagi pada nafsu-nafsu duniawi dan telah bersih dari segala
kekotoran duniawi, dan sekali kita berubah jernih maka akan terjadi
peleburan diri kita ke Sang Atman dan tahap selanjutnya diantar untuk
menyatu dengan Yang Maha Pencipta.
43. Dengan mengetahui Dirinya
(Sang Atman) lebih agung dari buddhi, maka kuasailah dirimu (strata yang
lebih rendah) dengan Dirimu (Sang Atman, yang lebih tinggi). dan
bunuhlah musuhmu yang bernama nafsu ini, musuh yang sukar untuk
dikalahkan.
Musuh dalam bentuk nafsu ini tidak harus dikalahkan saja,
tetapi juga harus dihancurkan. Kalau tidak ia akan kembali sewaktu ia
kuat lagi untuk menyerang kita. Maka jangan sekali-kali lengah begitu
anda mengira bahwa anda sudah kuat, karena musuh yang satu ini sukar
untuk dikalahkan. Pasrahkan dan serahkan dirimu kepadaNya dan
bertindaklah selalu tanpa pamrih; tanpa suatu usaha atau tindakan yang
positif maka hidup ini akan gagal. Yang harus diperhatikan dari
sabda-sabda Sri Krishna ini adalah bahwa sang musuh ini selalu hadir
sebagai musuh dalam selimut dan akan menyerang kita di saat kita lengah
atau merasa kuat. Bersatulah dengan Sang Atman, dan bertekadlah untuk
membantai musuh nomor wahid ini, dan Ia akan menuntunmu ke jalan yang
benar.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan yang Abadi,
Karya Sastra Yoga, dialog antara Sri Krishna dan Arjuna, maka karya ini
adalah bab ketiga yang disebut Karma yoga atau Ilmu Pengetahuan tentang
tindakan (atau pekerjaan).