Berkatalah Yang Maha Pengasih:
1. Ilmu pengetahuan
yang tak dapat habis ini Kusabdakan pada Vivasvan; Vivasvan
menyabdakannya kepada Manu; dan Manu menyabdakannya kepada Ikshvaku.
2. Begitulah
pada masa yang silam para guru (resi) agung mengenal ilmu pengetahuan
ini, dari satu ke yang lainnya, tetapi dalam kurun waktu yang lama
kemudian, ilmu pengetahuan ini hilang (dilupakan) dari dunia, oh Arjuna.
Sri Kreshna menyatakan di sini, bahwa Beliaulah Adiguru yang Pertama
yang mengajarkan ilmu pengetahuan sejati ini kepada mereka-mereka yang
pantas menerimanya di masa-masa yang lampau. Yang pantas menerima
disebut adhikari, dan adhikari yang pertama adalah Vivasvan (Batara
Surya), Dewa Cahaya. Dari Vivasvan ajaran ini turun ke Manu (manusia
yang pertama) yang dianggap menjadi cikal-bakal bangsa Aryan. Manu
kemudian menurunkan ajaran ini kepada Ikshvaku, seorang raja Hindu di
India pada masa yang amat silam. Ajaran sejati ini amat kuno sifatnya,
tetapi amat relevan sampai masa kini, dan hanya diajarkan kepada para
adhikari yang terpilih. Itu sudah suatu ketentuan spiritual Ilahi. Para
guru atau resi-resi yang agung dan suci, para pemikir atau filsuf dan
raja-raja di masa silam menjadikan ajaran ini sebagai pegangan hidup
mereka, sampai suatu saat dimana manusia melupakan ajaran ini.
3. Dan
yoga (ilmu pengetahuan) yang sama ini Kubukakan kepadamu hari ini,
karena dikau adalah pemujaKu dan sahabatKu. Inilah rahasia yang amat
agung sifatnya.
Berkatalah Arjuna:
4. Kelahiran
Dikau berlangsung kemudian, sedangkan Vivasvan terlahir lebih awal.
Lalu bagaimana mungkin daku dapat memahami bahwa Dikaulah yang pertama
kali menyabdakan yoga ini pada masa awal dunia ini dibentuk?
Tentu
saja Arjuna kebingungan, karena menurut pengetahuan duniawinya Sang
Kreshna yang sebenarnya adalah pamannya sendiri berasal atau lahir pada
kurun waktu yang sama dengannya, sedangkan Vivasvan atau Batara Surya
lahir berjuta-juta tahun yang silam. Lalu bagaimana mungkin Sang Kreshna
mengajarkan ilmu pengetahuan sejati ini kepada Vivasvan pada awal mula
terbentuknya sistim tata-surya itu. Sebagai balasan atas pertanyaan ini,
Sang Kreshna pun mengajarkan mengenai inkarnasi (avatarvad) dalam
ajaranNya yang agung di bawah ini.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
5. Banyak
kelahiran yang telah Kualami dan juga olehmu, oh Arjuna! Aku mengetahui
semua itu, tetapi engkau tak pernah tahu akan kelahiran-kelahiran itu.
Kelahiran
Sang Kreshna tidak seperti kelahiran manusia biasa, kelahiranNya bebas
dari segala nafsu dan keinginan duniawi, dari segala karma dan selalu
dimaksudkan untuk suatu tujuan yang agung dan suci, yaitu penyelamatan
makhluk-makhluk dan dunia ciptaanNya. Sebaliknya jiwa manusia selalu
dibatasi oleh hadirnya ketiga guna (sifat prakriti), dan akibatnya tak
pernah bisa ingat akan masa atau kehidupannya yang lampau. Dilain sisi,
raga kita ini harus menjalani karmanya. Tetapi bagi Yang Maha Esa, tak
ada masa lampau, masa sekarang atau masa yang akan datang. Baginya semua
adalah sekarang, karena Ia hadir sepanjang waktu, dan kelahiranNya
sebagai manusia atau makhluk di bumi ini selalu karena terdorong faktor
KasihNya pada makhluk-makhluk yang harus dilindungiNya.
6. Walaupun
Aku tak pernah dilahirkan dan DiriKu tak terbinasakan, dan walaupun
Akulah Pencipta (Penguasa) semua makhluk; menghadirkan DiriKu kedalam
SifatKu, Aku lahir melalui kekuatanKu.
Ia tak
pernah lahir dan tak dapat dibinasakan. la juga Pencipta semua makhluk
dan alam semesta ini, dan la juga yang mengendalikan Sang Maya dan
bereinkarnasi sesuai dengan kehendakNya yang bebas, dengan kekuatanNya
semata. Yang Maha Pencipta ini sempurna dalam segala hal, tetapi mau
juga Ia bereinkarnasi sebagai manusia yang sifat-sifatnya tidak sempurna
dan penuh dengan keinginan-keinginan duniawi. Sebenarnya tidak pantas
ditinjau dari sudut duniawi untukNya menjadi manusia tetapi Ia
melakukannya juga demi makhluk-makhluk dan manusia yang dikasihNya.
Inilah kebesaranNya.
Di dalam salah satu pustaka kuno Hindu yang
disebut Bhagavatta dapat kita baca kelahiran Sang Kreshna sebagai
manusia itu ibarat terbitnya bulan purnama di ufuk timur. Jadi seperti
sesuatu episode yang sudah direncanakan secara khusus dan indah, dan
bukan karena suatu efek karma.
7. Pada saat-saat
dharma (kebenaran) turun ke titik yang rendah, dan kezaliman (tindakan
adharma) menanjak mencapai puncaknya, maka Kuproyeksikanlah DiriKu.
Dikala
adharma mengalahkan dharma, dan suatu saat manusia mencapai puncak dari
kejahatannya, dan dunia penuh dengan kezaliman dan rasa
keangkara-murkaan, maka Yang Maha Pengasih pun lalu memanifestasikan
DiriNya, dalam bentuk manusia atau makhluk lainnya untuk kemudian
meluruskan lagi jalannya Sang Dharma dengan ajaran-ajaran atau
tindakan-tindakannya. Contoh-contoh ini banyak terdapat dalam
pustaka-pustaka Hindu Kuno, seperti Sang Rama yang menghancurkan
keangkara-murkaan sang Rahwana, dan lain sebagainya. Semua ini dilakukan
oleh Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran moral
secara total.
Dalam sloka ini Sang Kreshna mengucapkan kata,
"Kuproyeksikan DiriKu . . . ," ini berarti Sang Kreshna atau Yang Maha
Esa turun ke bumi ini, yang lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan
tempat la bersemayam. Karena kasihNya kepada kita agar dapat bangkit
lagi ke jalan yang benar, jalan dharma yang lurus dan suci. la turun
sebagai titisan dari Sang Hyang Vishnu dari masa ke masa. Inilah
Kasih-Ilahi yang selalu tulus untuk manusia dan segala
makhluk-makhlukNya di alam semesta ciptaanNya ini. Om Tat Sat.
8. Demi membela kebaikan, demi hancurnya yang zalim, dan demi teguhnya kebenaran, Aku selalu lahir dari masa ke masa.
Ia
selalu menghukum yang jahat dan yang zalim dari masa ke masa, tetapi
hukumanNya ini pun penuh dengan hikmah, penuh dengan kasih-sayangNya,
karena sebenarnya dengan menghukum ini Ia menginginkan agar
mereka-mereka yang tersesat ini kembali ke jalan dharma yang lurus dan
suci. Hukuman dariNya sebenarnya dapat disiratkan sebagai suatu karunia
yang terselubung bagi yang berdosa. Karena seyogyanyalah setelah selesai
menjalani masa-hukumannya maka seseorang seharusnya sadar dan kembali
ke jalan yang benar. Bayangkan kalau seseorang tidak dihukum untuk
mempertanggung-jawabkan kesalahan-kesalahannya, atau dihukum secara
abadi tanpa ampun, maka habislah harapan orang tersebut untuk bertobat
atau kembali ke jalan yang benar.
Berbeda mungkin dengan
ajaran-ajaran yang lain, maka dalam agama Hindu, Yang Maha Esa selalu
hadir dari masa ke masa untuk menyelamatkan evolusi manusia ini dan
mengarahkan lagi umat manusia ke jalan yang benar, baik itu dalam skala
kecil maupun dalam skala besar. Bhagavat Gita sebenarnya kalau ditelaah
dengan baik adalah suatu ajaran yang penuh dengan harapan untuk
mereka-mereka yang salah jalan; penuh dengan pengampunan dan Kasih-Ilahi
yang tak terbatas. Om Tat Sat.
9. Barangsiapa
mengetahui hal ini (Maksud Sang Kreshna: Kelahiran dan PekerjaanNya yang
Suci ini) secara benar, maka ia tak akan lahir kembali setelah
meninggalkan raganya, tetapi ia datang kepadaKu, oh Arjuna!
10. Bebas
dari nafsu, ketakutkan dan kemarahan; penuh dengan DiriKu, berserah
total kepadaKu, bersih oleh kebijaksanaan yang penuh disiplin dan
dedikasi... maka banyak orang-orang semacam ini yang telah mendapat
DiriKu.
Setiap menitis (atau reinkarnasi) misiNya sudah jelas,
yaitu mengajak kita manusia untuk bersatu lagi dengan Yang Maha Esa,
agar lepas dari beban lahir dan mati di dunia ini. Seseorang yang sudah
lepas dari nafsu dan rasa amarah adalah yang jiwanya sudah penuh dengan
Kenikmatan Ilahi. Orang semacam ini kalau melepaskan raganya akan lepas
dari perputaran karma, dan langsung menyatu dengan PenciptaNya (madbhava
magatah).
Sang Kreshna tidak saja lahir sebagai manusia,
sering sekali Ia pun datang kepada kita pada saat-saat tertentu dalam
hidup setiap individu yang membutuhkanNya, yang memujaNya secara tulus
dan tanpa pamrih. Ia datang dan berbisik, menuntun ke arah yang benar,
sering sekali jalan dan cara menuntunNya ini terasa aneh, misterius dan
tak masuk akal, tetapi dibalik itu semua selalu tersembunyi hikmah dan
akhir yang baik untuk sang pemuja ini. Bagi yang menyayangiNya dan yang
disayangiNya maka bersihlah jiwa orang ini lambat laun dan akhirnya
bersatu dengan DiriNya.
11. Jalan apapun yang diambil seseorang untuk mencapaiKu, Kusambut
mereka sesuai dengan jalannya, karena jalan yang diambil setiap orang di
setiap sisi adalah jalanKu juga, oh Arjuna!
Jalan kepercayaan
atau agama apapun juga yang diambil seseorang untuk mencapai Yang Maha
Esa adalah jalanNya juga. Jadi setiap manusia menurut Bhagavat Gita
berhak untuk menentukan jalan apa saja yang diinginkannya untuk mencapai
Yang Maha Esa, dan di ujung jalan itu berdiri Yang Maha Esa
menyambutnya, karena bagiNya semua jalan itu akan berakhir pada suatu
ujung. Jadi tidak ada agama yang dibeda-bedakan oleh Sang Kreshna atau
Yang Maha Esa, karena tujuannya baik, yaitu ke arahNya semata, walaupun
dalam pengertiannya manusia sering salah mengartikannya.
Bagi seorang
Hindu yang sejati semua kepercayaan terhadap Yang Maha Esa dan agama
adalah sama, yaitu jalan ke Yang Maha Esa semata, dan tidak ada alasan
lain untuk merubah atau mempengaruhi orang yang beragama atau
berkepercayaan lain untuk masuk ke agama Hindu. Seorang Hindu yang baik
akan selalu tunduk dan hormat melihat tempat-tempat pemujaan agama lain,
karena baginya yang ia lihat adalah jalan dan tujuan yang Satu, yaitu
jalannya Yang Maha Esa.
12. Mereka yang mengingini sukses di
muka bumi ini memberikan pengorbanan kepada para dewa (dan merekapun
mendapatkan imbalan dari para dewa), karena di dunia ini sesuatu
tindakan itu cepat mendapatkan tanggapan (hasil).
Tidak semua
orang mau maju ke arah Yang Maha Esa, banyak yang memuja para dewa agar
dipenuhi keinginan duniawi mereka, dan para dewa ini pun segera
memberikan tanggapan atau respons kepada para pemuja-pemuja mereka ini
dan memenuhi permintaan mereka. Sebenarnya para pemuja ini secara tidak
langsung dan tidak sadar memujaNya juga melalui proses yang panjang.
Suatu waktu kemudian di dalam hati mereka nanti akan timbul suatu
kesadaran akan perlunya Yang Maha Esa dan mereka pun mencari dan
memujaNya secara tulus dan penuh kesadaran. Yang Maha Esa dalam Bhagavat
Gita tidak melarang seseorang untuk memuja para dewa, karena para dewa
juga datang dan berasal dariNya. Semua ini hanya merupakan suatu proses
panjang dalam tahap-tahap evolusi kehidupan manusia itu sendiri, bermula
pada pemujaan kepada para dewa untuk maksud-maksud tertentu dan setelah
itu berakhir dengan kesadaran penuh dan tulus bahwa seharusnya yang
dipuja adalah Yang Maha Esa itu sendiri tanpa perlu melalui jalan yang
panjang. Seharusnyalah Bhagavat Gita menyadarkan kita semua agar tidak
lagi melalui dedikasi yang tulus, sesuai dengan ajaran-ajaran Sang
Kreshna ini kita bisa langsung menuju ke arahNya.
13. Kuciptakan
keempat sistim kehidupan (chaturvarnyam), sesuai dengan pembagian guna
(sifat-sifat prakriti) dan karma (aksi dan kerja). Walaupun Aku yang
mencipta keempat sistim kehidupan ini, tetapi ketahuilah bahwa Aku tidak
bekerja dan tak pernah berganti-ganti (sifat).
Keempat varna adalah
empat tipe kehidupan, masing-masing merupakan produk asli dari pikiran
dan tindakan manusia itu sendiri yang sudah ada semenjak ia dilahirkan.
Ada manusia yang ingin menjadi seorang brahmin, ada yang ingin menjadi
tentara (keshatria), dan ada yang ingin menjadi pedagang dan ada yang
memilih menjadi seorang buruh. Semua ini sebenarnya adalah manifestasi
dari karma, pikiran dan bakat masing-masing sesuai dengan keinginan
sejatinya. Harus dicamkan secara serius oleh kita semua bahwa di dalam
masing-masing individu ini bersemayam Satu Tuhan dan adalah bebas bila
seseorang memilih menjadi brahmin, kshatria, vaishya atau sudra, dan
semua ini bukanlah seperti anggapan atau tradisi yang salah yang berlaku
selama ini, yaitu seorang ditentukan kastanya karena status atau garis
keturunnya, tetapi kastanya ditentukan kemudian setelah ia menentukan
dengan sadar garis dan tujuan hidupnya dan sebagai apa ia akan bekerja
sesuai dengan bakat dan kemauannya yang sejati.
Sistim varna atau
kasta ini sebenarnya adalah pembagian kerja dengan konsep yang modern
yang disebut kelas di negara-negara Barat. Tetapi banyak masyarakat
Hindu malahan menyalah-gunakan ini demi kepentingan pribadi yang
akibatnya menimbulkan diskriminasi sosial yang serius yang mengacaukan
agama Hindu itu sendiri, dan menjadi bahan tertawaan orang-orang luar.
Di satu pihak orang-orang Hindu menjunjung tinggi nilai-nilai Sang Atman
dan yakin terdapat satu Atman yang sama di dalam semua makhluk, di lain
sisi banyak orang Hindu yang memutar-balikkan fakta-fakta tentang kasta
ini dan menimbulkan diskriminasi sosial yang rawan. Sistim yang
sebenarnya diciptakan untuk fungsi-fungsi sosial masyarakat ini
seharusnya dijalankan secara sejati dengan membiarkan seseorang untuk
memilih profesi kesukaannya secara sama derajatnya dengan
profesi-profesi lainnya. Konsep Sang Kreshna bukanlah meninggi atau
merendahkan derajat seseorang tetapi secara demokratis membiarkan setiap
individu berkehendak masing-masing. Karena bisa saja seseorang yang
lahir dengan kasta Brahmana secara duniawi ini mempunyai jiwa patriotik
dan ingin mengabdi sebagai seorang keshatria dan begitu pun sebaliknya.
Semua manusia didasarkan pada karma, sifat-sifat prakriti dan jalan
hidupnya, bukan berdasarkan pada sistim kasta yang diskriminatif, atau
jenis kelamin yang berbeda. Yang Maha Esa sendiri di sloka ini
menegaskan bahwa la sendiri walaupun sebagai pencipta sistim kasta ini
tidak terlibat pada sistim ini maupun pada sifat-sifat prakriti.
14. Tidak
ada tindakan yang dapat mengotoriKu; dan tidak pula Aku mengingini
suatu imbalan dari suatu tindakan. Barangsiapa yang mengenalKu seperti
itu tak akan terikat oleh karma (aksi).
Sri Krishna menerangkan
sebuah paradox di sloka ini, yaitu tanpa bekerja pun Ia tetap saja mampu
menciptakan karma dan guna. Tetapi setiap tindakanNya tidak seperti
tindakan manusia yang selalu mengharapkan sesuatu pamrih untuk setiap
tindakannya. Bagi Sang Kreshna setiap tindakan adalah cetusan dari rasa
Kasih-SayangNya terhadap manusia atau makhluk-makhluk lainnya. Dan tidak
ada satu pun dari tindakanNya ini yang dapat mengikatnya ke jalur karma
karena Ia memang tidak terikat oleh karma yang diperuntukkan untuk
manusia dan makhluk-makhluk di dunia ini. Dan barangsiapa menyadari akan
status Sang Kreshna yang unik ini, maka orang yang sadar ini akan lepas
juga dari lingkaran karma (hidup dan mati) ini. Sebenarnya Yang Maha
Kuasa adalah dasar dari setiap tindakan kita, tetapi di mata manusia Ia
tak pernah terlihat bahkan sukar untuk disadari kehadiranNya di dalam
diri kita karena kegelapan yang menyelubungi diri dan jiwa kita.
Walaupun Ia bertindak melalui diri kita, Ia sendiri sebenarnya tidak
terlibat atau terpengaruh oleh tindakan-tindakan ini, yang merupakan
tindakanNya Sendiri.
15. Mengetahui akan hal ini maka orang-orang
dahulu kala telah bertindak sesuai dengan hal tersebut. Maka
seyogyayalah dikau pun bertindak seperti orang-orang di masa silam ini.
16. Apakah
aksi (tindakan) itu? Dan apakan tidak bertindak (akarma)? Kaum yang
bijaksana pun kalut memikirkannya. Dengan ini akan Kuberitahukan
kepadamu apakah aksi itu; dengan mengetahuinya engkau dapat terhindar
dari dosa (kesalahan).
17. Seseorang seharusnya tahu apakah aksi itu
(perbedaan antara satu aksi dengan yang lainnya), dan aksi apakah yang
salah sifatnya (vikarma) dan apakah non-aksi (akarma) yang sebenamya.
Ketiga
bentuk hal tersebut di atas harus diketahui secara benar agar tidak
terjadi penyalahgunaan tindakan oleh yang tidak mengerti atau yang tidak
mau mengerti dan memutar-balikkan ajaran-ajaran Sang Kreshna ini.
Pekerjaan atau aksi apa saja yang benar dan harus dilakukan seseorang
dalam hidupnya, dan apa saja yang harus dihindarkannya, dan bagaimanakah
seseorang harus bertindak agar mencapai suatu bentuk aksi dalam
non-aksi misalnya?
18. Seseorang yang melihat non-aksi di dalam aksi,
dan aksi di dalam non-aksi, maka diantara manusia orang ini disebut
bijaksana (buddhiman). Hidupnya penuh dengan keharmonisan (yutkah),
walaupun ia selalu penuh dengan berbagai aksi (atau perbuatan dan
tindakan).
Seseorang yang tenang ditengah-tengah aktivitasnya, dan
aktif dalam ketenangannya adalah seorang yang bijaksana. Dalam setiap
tindakannya ia selalu secara stabil dan tenang bersandar pada Sang Atman
yang bersemayam di dalam dirinya, dan untuk setiap pekerjaan atau
tindakannya ia tak pernah mengharapkan sesuatu pamrih, jadi walaupun
bekerja ia sebenarnya "tidak bekerja." Karena setiap tindakan atau
perbuatannya sekecil apapun juga selalu menjadi sembahan bagi Yang Maha
Esa, ia selalu melakukan pengorbanan atau pekerjaan demi dan untukNya
semata (ini disebut yagna atau aksi yang sebenarnya).
Acapkali kalau
kita naik kereta-api atau kendaraan lain, maka pepohonan di kiri dan
kanan kita seakan-akan bergerak padahal yang bergerak adalah kendaraan
yang kita tumpangi. Jadi yang nampak adalah ilusi. Sebaiknya kita pun
dalam setiap tindakan kita berprinsip bahwa pekerjaan yang kita lakukan
itu sebenarnya adalah ilusi, dan kita sendiri sebenarnya tidak bekerja.
Dalam
aksi marilah kita lihat non-aksi, dan dalam non-aksi kita praktekkan
aksi. Non-aksi (akarma) sejati tidak berarti tidak bekerja sama-sekali.
Misalnya kalau ada tetangga yang amat miskin sedang membutuhkan sesuatu
bantuan, dan walaupun ia tidak memintanya, seharusnya kita tidak
diam-diam saja tidak berbuat sesuatu kalau memang kita mampu melakukan
sesuatu untuknya; berdiam-diam saja tak mau tahu itu bukan non-aksi
tetapi adalah vikarma (aksi yang salah). Akarma atau non-aksi yang
sejati itu penuh dengan keharmonisan jiwa sang pelaku, orang semacam ini
selalu nampak tenang dan tidak tergesa-gesa dalam setiap tindakannya.
Akarma yang sejati selalu penuh dengan kepasrahan total yang tulus
kepadaNya, dan ciri-ciri khas dari tindakan akarma yang sejati ini
selalu merupakan tindakan yang positif bagi sesamanya, walaupun secara
duniawi bisa saja ia disalahkan. Tetapi secara moral tindakan manusia
semacam ini selalu bermotifkan kemanusiaan yang agung sifatnya.
Raja
Janaka dan Suka adalah contoh dari dua orang manusia agung di masa yang
silam, yang betul-betul mempraktekkan ajaran ini, dan selalu melihat
aksi dalam non-aksi dan non-aksi dalam aksi. Non-aksi yang sejati akan
melepaskan diri seseorang dari semua nafsu-nafsu dan cinta duniawinya,
juga dari rasa egoisme pribadi tanpa kehilangan tanggung-jawab untuk
setiap kewajiban dan pekerjaannya. Inilah yang disebut pasrah total
kepadaNya secara spiritual.
19. Seseorang yang bertindak bebas dari
segala bentuk nafsu (kama sankalpa), seseorang yang setiap tindakannya
terbakar bersih oleh api kebijaksanaan (gnana-agni) -- orang semacam
inilah oleh orang-orang yang bijaksana, disebut seorang pandita (seorang
yang suci, yang sadar akan pengetahuan yang sebenarnya).
Sankalpa
adalah rasa egoisme, dan merupakan dasar dari kama dan nafsu. Pandit
atau pandita adalah seorang yang bekerja demi dunia dan sesamanya
(loka-sangraho) di dunia ini, dan hanya merasa cukup dengan apa yang
didapatkannya untuk dirinya, sekedar untuk pakai dan makan saja, itu pun
sebagai kelangsungan hidupnya demi Yang Maha Esa.
Gnana-agni adalah
api ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan apakah itu ? Ilmu pengetahuan
yang mengatakan bahwa setiap tindakan sebaiknya dikerjakan tanpa suatu
nafsu atau keinginan pribadi dan berdasarkan pada penerangan Sang Atman
yang ada dalam diri kita sendiri. Api dari ilmu pengetahuan ini akan
membersihkan semua tindakan kita dan membunuh nafsu-nafsu duniawi kita
yang selalu butuh imbalan atau pamrih. Pandita semacam ini amat
bijaksana, karena ia melihat aksi dalam non-aksi. Raga dan pikirannya
selalu bekerja demi Yang Maha Esa dan sesamanya, tetapi untuk dirinya
sendiri ia tak pernah bekerja.
20. Seseorang yang telah menanggalkan
rasa-keterikatannya pada setiap tindakannya, selalu merasa cukup dengan
apa adanya, tidak bersandar pada orang lain, orang semacam ini tidak
melakukan apa-apa walaupun ia selalu aktif bekerja.
21. Tidak mengharapkan apapun juga, hati dan dirinya terkendali,
menanggalkan semua keserakahannya, dan bekerja dengan raganya saja -
orang semacam ini tidak bertindak dosa.
22. Selalu merasa cukup
dengan yang didapatkannya, bebas dari rasa dualisme yang bertentangan
(dvandas), tanpa rasa iri atau cemburu, bersikap sama (balans) untuk
setiap sukses atau kegagalan - walaupun ia bekerja ia tak terikat.
Orang
semacam ini menerima apa saja dalam hidupnya dengan rasa tentram,
tenang, damai dan selalu merasa cukup dengan apa adanya. Suka dan duka,
sukses dan kegagalan, rugi dan untung, lahir dan mati, dianggap sama
saja olehnya. Tak pernah ia merasa iri, dengki atau cemburu melihat
kesuksesan atau kekayaan atau pun kejayaan orang lain. Baginya apa saja
yang diberikan oleh Yang Maha Esa terasa cukup dan selalu ia haturkan
terima-kasih kepadaNya untuk segala-galanya baik suka maupun duka. Semua
tindakan orang semacam ini tak akan mengikatnya lagi ke dunia yang fana
ini, karena orang semacam ini telah mendapatkan Karunia Ilahi yang tak
terhingga dalam bentuk ketentraman batin dan spiritual.
23. Seorang
yang keterikatannya telah mati, yang telah bebas dari duniawi (mukta),
pikirannya telah teguh berdiri dalam kebijaksanaan, yang mengerjakan
pekerjaannya sebagai persembahan -- maka mencairlah semua tindakan orang
semacam ini.
Sang Kreshna berulang-ulang menekankan di Bhagavat Gita
bagaimana seseorang dapat lepas dari kegelapan duniawi ini, yaitu
dengan melakukan suatu atau setiap tindakannya berdasarkan rasa tanpa
pamrih. Atau dengan kata lain semua pekerjaan yang kita lakukan haruslah
berbentuk persembahan bagiNya. Rasa ego kita selalu mengatakan ini
punyaku dan itu pekerjaan hasil kerjaku, sehingga yang tercipta selalu
adalah suatu keterikatan duniawi, dimana kita sendiri terikat dengan
ke-aku-an ciptaan kita sendiri. Padahal semua ini bukan milik kita,
karena dari mana kita datang dan kemana kita akan pergi pun sebenarnya
tidak ada manusia yang mengetahuinya secara pasti. Yang hadir hanyalah
ilusi, dan tanpa kehendakNya tak ada yang mungkin bisa terjadi. Jadi
sebaiknya secara sadar bekerjalah selalu secara aktif, tetapi jadikanlah
pekerjaan itu sebagai suatu yagna (persembahan atau ibadah pengorbanan)
baginya.
24. Seseorang yang terpikir bahwa tindakan pengorbanan itu
Tuhan adanya. Yang dikorbankannya juga Tuhan. Dan oleh Tuhan pengorbanan
itu dikorbankan ke Api Tuhan. Maka ke Tuhan jugalah pergi orang yang
sadar akan Ketuhanan dalam pekerjaannya.
Sloka di atas ini merupakan
suatu pesan yang amat dalam artinya. Secara amat sederhana dapat
diartikan bahwa apa yang kita kerjakan, yang kita lihat, yang kita
korbankan adalah Ia juga. Jadi semuanya di dunia ini berasal dari Ia,
untuk Ia, dan oleh Ia. Jadi dalam segala hal sebenarnya hadir Yang Maha
Esa, dan tanpa la tak ada apapun di dunia ini. Secara langsung menurut
Bhagavat Gita, semua itu Ia juga adanya. Seorang yang secara sejati
bekerja demi Yang Maha Esa akan dapat melihat fakta ini dalam setiap
tindakannya. (Biasanya sloka di atas ini dipakai oleh orang-orang Hindu
sebelum menyantap makanan mereka).
25. Sementara yogin (para pemuja)
mempersembahkan sesajen kepada para dewa, (tetapi) ada juga sementara
yogin yang mempersembahkan "diri" mereka ke Api nan Agung.
Ada
pemuja-pemuja yang membakar sesajen di bara-api, menaikkan puja-puji
bagi para dewa agar diberikan kepada mereka imbalan-imbalan tertentu.
Tetapi ada juga pemuja-pemuja yang mempersembahkan ego diri mereka
sendiri ke Api Abadi Sang Maha Kuasa (Sang Brahman). Para pemuja ini
mempersembahkan semua tindakan mereka kepada Yang Maha Esa dengan tulus
dan tanpa mengharapkan sesuatu imbalan. Mereka berkata terjadilah
kehendakNya sesuai dengan kehendakNya.
26. Ada pemuja yang
mempersembahkan pendengaran dan indra-indra lainnya ke api pengorbanan
(menjauhi kontak-kontak sensual indra-indra mereka dari obyek-obyek
indra-indra ini). Ada yang mempersembahkan suara dan obyek-obyek sensual
mereka ke api indra-indra mereka.
Banyak pemuja yang mengorbankan
pendengaran mereka dan juga indra-indra lainnya dari kontak-kontak
sensual indra-indra ini dengan obyek-obyek kontaknya. Usaha ini sebagai
disiplin pribadi mereka dalam mengekang atau mengendalikan
kegiatan-kegiatan indra-indra mereka seperti mulut, hidung, kuping, dan
organ-organ seksual mereka. Disiplin ini dimaksud untuk pemujaan kepada
Sang Atman yang bersemayam di dalam diri mereka masing-masing.
27. Ada
juga pemuja yang mempersembahkan semua tindakan-tindakan indra-indra
mereka dan semua fungsi tenaga vital (prana) mereka ke api yoga
pengendalian yang diterangi oleh ilmu pengetahuan (gnana).
28. Tetapi
ada juga yang mepersembahkan harta-benda mereka atau, dengan menyakiti
diri mereka sendiri, atau dengan disiplin yoga; sedangkan mereka yang
mempunyai tekad (atau iman) yang kuat mempersembahkan pengetahuan dan
ajaran mereka sebagai pengorbanan mereka.
29. Ada lagi mereka yang
penuh dedikasi dalam pengendalian nafas (pranayama), yang mengendalikan
jalan prana (nafas) yang dikeluarkan dan jalan apana (nafas yang
dimasukkan), dan mengalirkan prana ke apana dan apana ke prana, sebagai
persembahan mereka.
30. Ada lagi yang sangat membatasi makanan mereka
dan mengalirkan nafas kehidupan (prana) mereka ke dalam prana mereka
sebagai persembahan. Mereka semua ini tahu apa arti dari pengorbanan,
dan dengan pengorbanan mereka menghapus dosa-dosa mereka.
31. Mereka-mereka yang memakan sisa-sisa makanan suci yang tersisa dari
suatu persembahan (atau pengorbanan) akan mencapai Sang Brahman Yang
Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersembahkan
suatu pengorbanan, apa lagi dunia yang lainnya, oh Arjuna.
32. Begitulah
banyak ragam cara pengorbanan yang dipersembahkan dihadapan Yang Maha
Abadi (cara-cara untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa). Dan ketahuilah
dikau bahwa semua itu lahir dari tindakan (atau perbuatan). Dengan
mengetahui hal ini dikau akan bebas.
33. Lebih baik dari pengorbanan
materi adalah gnana-yagna, yaitu pengorbanan dalam bentuk kebijaksanaan,
oh Arjuna! Karena semua tindakan, tanpa kecuali memuncak dalam
kebijaksanaan (pengetahuan).
Sri Krishna menyebut berbagai cara
persembahan atau pengorbanan yang dilakukan manusia kepadaNya. Semua
yagna ini timbul berdasarkan tingkat kesadaran manusia-manusia itu
sendiri berdasarkan evolusi manusia itu sendiri dalam hidup ini. Setiap
manusia berdasarkan sifat-sifat prakritinya membentuk varna (tujuan
hidupnya sendiri) secara pribadi masing-masing dan kemudian
mempersembahkan pengorbanan kepada Yang Maha Esa sesuai dengan
kondisi-kondisi yang disandangnya ini.
Ada yang mengendalikan
pendengaran mereka dengan tapasya (displin diri berupa tapa atau
meditasi) yang ketat. Ada yang melepaskan semua selera-selera indra
mereka dan menjauhi obyek-obyek duniawi ini. Ada yang mempersembahkan
harta-benda mereka, ada juga yang mempersembahkan berbagai tindakan atau
kegiatan spiritual seperti meditasi, swadhaya (membaca secara hening),
ilmu, prananyama (pengendalian nafas), dan ada yang mengendalikan cara
makan mereka dengan berpuasa atau berpantang sesuatu seperti daging atau
benda hidup, dan lain sebagainya. Semua pengorbanan ini kalau
dilaksanakan secara tulus akan mengantar seseorang ke arah jalan yang
benar, dan semua pengorbanan ini merupakan tangga-tangga ke arah
kebebasan karma-karma kita. Semua tindakan pengorbanan ini lahir dari
karma (aksi) dan oleh orang-orang sadar banyak dilakukan untuk upaya
pembersihan diri guna mencapai Yang Maha Esa. Dan barangsiapa dengan
jujur, tulus dan tanpa pamrih bekerja demi Yang Esa maka lambat laun
seluruh upaya-upayanya akan terpusat kepadaNya semata. Seluruh
tindak-tanduk maupun perbuatannya kemudian akan dikerjakannya secara
otomatis dan tanpa sadar demi Yang Maha Esa, dan sesudah itu secara
sadar.
Tetapi pengorbanan dalam bentuk kebijaksanaan (gnana-yoga)
adalah dianggap sebagai pengorbanan yang suci untuk Yang Maha Esa, dan
pengorbanan ini nilainya lebih tinggi dan luhur dibandingkan dengan
pengorbanan-pengorbanan bentuk lainnya. Tetapi jangan menganggap remeh
atau rendah bentuk-bentuk pengorbanan yang lainnya, karena semua itu
hanya merupakan tangga-tangga dalam evolusi seorang pemuja ke arah
spiritual yang lebih tinggi sifatnya. Secara otomatis, bagi seorang
pemuja yang tulus semuanya akan diatur olehNya.
Lalu pasti ada yang
bertanya mengapa gnana lebih tinggi dari karma? Karena karma selalu
menghasilkan imbalan atau pamrih, sedangkan gnana (pengetahuan atau
kebijaksanaan) sekali tercapai akan menuju ke Yang Maha Esa, karena
gnana yang lulus itu berdasarkan tanpa pamrih. Dalam kebijaksanaan
terdapat kebaikan atau kebebasan dari duniawi ini untuk kita semuanya.
Orang-orang bijaksana tak akan mcnyimpan ilmu pengetahuannya untuk
dirinya saja, tetapi akan membagi-bagikannya kepada yang lain-lain agar
tercapai kesentosaan untuk semuanya, dan semua itu dilakukannya tanpa
pamrih. Karena sudah merupakan kewajiban orang-orang bijaksana ini untuk
membantu sesamanya untuk menyeberangi lautan luas duniawi ini ke ujung
pantainya Yang Maha Esa. Inilah gnana-yagna, yaitu pengorbanan agung dan
suci ilmu pengetahuan sejati mereka demi Yang Maha Esa.
34. Pelajarilah
kebijaksanaan dengan merendahkan-diri, dengan bertanya (studi) dan
dengan bekerja demi seorang guru yang bijaksana). Orang-orang yang
bijaksana yang telah melihat Kebenaran - akan mengajarimu dengan penuh
kebijaksanaan.
Kebijaksanaan akan diajarkan oleh mereka-mereka yang
telah mencapai kebijaksanaan ini, yang penting bagi seorang yang ingin
mempelajarinya adalah dengan mengikuti tiga faktor berikut ini: pertama,
harus memiliki rasa rendah-diri (pranipaia) dalam segala hal, dan ia
akan dapat banyak belajar dari seorang guru yang bijaksana. Kedua
disebut pariprashna, yaitu dengan studi atau penyelidikan yang seksama.
la harus mencari sendiri kebijaksanaan ini dengan aktif dan dengan rajin
mempelajari ajaran-ajaran para gurunya. Untuk mengerti sendiri arti
dari kebijaksanaan ini haruslah menghayatinya secara pribadi. Ketiga,
Seva, yaitu bekerja demi sang guru spiritual ini, yaitu sifatnya
melayani segala kebutuhan hidup sang guru dengan bekerja untuknya tanpa
pamrih, dan menganggap sang guru ini sebagai orang-tuanya sendiri yang
harus diperhatikan segala bentuk kehidupannya. Seorang guru yang baik
dan tulus sebaliknya akan selalu menolak bakti dari muridnya secara
halus, tetapi sang murid harus sadar akan kewajibannya, karena inilah
salah satu tangga dari bakti kepada Yang Maha Esa dan sesamanya di dunia
ini.
Sebenarnya Guru yang sejati yang disebut Adhi Guru ada dan
bersemayam di dalam diri kita masing-masing, tetapi sebagai manusia kita
lebih condong kepada bentuk duniawi daripada mendengar suara hati
nurani kita sendiri, sehingga selalu diperlukan seorang guru spiritual
pada awalnya untuk kita semua agar kita dapat lebih memahami apa yang
sedang kita pelajari. Pada tahap lanjut nanti seorang guru spiritual
hanya berfungsi sebagai jembatan, dan mengantarkan kita ke Sang Adhi
Guru yang sebenarnya tidak jauh berada dari kita semua.
Sebenarnya
dalam kepercayaan agama Hindu, seorang yang tulus dan ingin menuju ke
jalan Yang Maha Esa, tidak perlu kesana-kemari secara mati-matian untuk
mencari seorang guru spiritual baginya. Yang penting adalah menyiapkan
diri dan batinnya secara tulus dan memohon kepada Yang Maha Esa agar
dituntun jalannya, maka pada bentuk seorang guru dan membimbingnya
kearah Yang Maha Esa. Percaya atau tidak, tetapi seorang guru spiritual
pasti akan datang atau bertemu sendiri dengan murid pilihannya sendiri
pada suatu waktu yang tepat. Seorang pemuja yang tulus dengan ini bukan
berarti lalu diam-diam saja; tidak, ia harus berusaha dengan tulus untuk
menemukan guru ini, tetapi semuanya akan terjadi pada saatnya yang
tepat. Kemudian kalau ini terjadi belajarlah sang murid dengan tulus dan
penuh dengan kerendahan hatinya, dan pada suatu waktu yang tepat sang
guru ini akan menurunkan kebijaksanaannya kepada sang murid ini. Ada
guru-guru yang begitu luar biasa kharismanya sehingga dalam sekejap
dapat membuka pintu hati sang murid dengan satu sentuhan spiritual saja.
Semua ini tentunya berdasarkan persiapan mental yang tulus dari sang
murid dan atas berkah Yang Maha Esa semata. Sebenarnya semuanya sudah
diatur olehNya juga, tidak lebih dan tidak kurang. Om Tat Sat.
35. Dan
setelah mengenal kebijaksanaan ini (gnana) dikau, oh Arjuna, tak akan
jatuh lagi kedalam kekalutan. Karena dalam kebijaksanaan ini, dikau akan
melihat semua makhluk, tanpa kecuali, berintikan pada Sang Atman, dan
lalu dalam DiriKu.
Kebijaksanaan ini sebenarnya adalah ilmu
pengetahuan spiritual, ilmu pengetahuan yang sejati yang membuka
kenyataan tentang kesatuan antara kita dengan Yang Maha Esa. Kesatuan
antara semua makhluk dengan Sang Atman, dengan jiwa kita, dengan Yang
Maha Esa. Dan kalau suatu waktu kita betul-betul sadar sendiri akan
kesatuan ini, maka tercapailah kesadaran-diri atau kesadaran akan
hadirNya dan kesatuanNya Yang Maha Esa dengan diri kita.
Kebijaksanaan
ini adalah melihat atau mengerti dalam arti yang sebenarnya, bahwa
semua di dunia ini jatuh dalam satu garis atau suatu kesatuan, yaitu
Yang Maha Esa. Kita tidak hanya harus percaya atau merasa atau mengerti,
tetapi setelah mencapai kebijaksanaan ini seseorang akan melihat bahwa
semua makhluk, benda, susunan kosmos atau alam semesta ini beserta
seluruh isinya berada dalam suatu kesatuan yang Esa, yaitu kesatuan Sang
Atman. Para ilmuwan mengatakan bahwa setiap benda ada dan bergerak di
alam semesta ini. Seseorang yang sadar melihat bahwa setiap benda ada
dan bergerak dalam suatu kesatuan Ilahi.
36. Walaupun dikau ini
adalah seorang yang paling berdosa di antara mereka-mereka yang berdosa,
tetapi dikau dapat menyeberangi semua dosa-dosa ini hanya dengan
berperahu kebijaksanaan saja.
Kata-kata atau sabda Sang Kreshna ini
penuh dengan pesan-pesan harapan bagi kita, manusia, coba bayangkan
bahkan seorang yang paling berdosapun dapat langsung mencapai Yang Maha
Kuasa dengan dedikasi yang tinggi. Kalau dipikir-pikir siapa di dunia
ini yang tak pernah berdosa atau pernah sesat dalam hidupnya, dan tak
seorangpun ini harus kehilangan harapannya, selama ia mau mengoreksi
kehidupannya dan berjalan penuh dedikasi dan kesadaran kepadaNya. Ia
akan mengangkat kita semua dari lembah dosa dan menuntun tangan kita
kearahNya selalu. Semua rasa keterikatan duniawi adalah dosa, dan bukan
saja keterikatan pada hal-hal yang tidak baik, tetapi keterikatan pada
hal-hal yang dianggap baik seperti dharma itu sendiri, atau pada rasa
egoisme yang dianggap positif. Seseorang yang merasa dirinya adalah
orang berdosa. Jadi sebelum meneliti seseorang lain, sebaiknya hilangkan
dulu rasa egoisme pribadi kita.
37. Ibarat api yang membara membakar
kayu-kayu menjadi abu, oh Arjuna, begitu pun api kebijaksanaan membakar
semua aksi (tindakan) menjadi abu.
Gnana (kebijaksanaan) membakar
semua karma kita yang telah terkumpul maupun yang akan datang menjadi
abu, maksudnya gnana itu begitu tinggi nilainya sehingga semua karma
kita termasuk yang akan datang dapat tumpas karenanya. Dan hanya karma
yang telah membuahkan hasil saja yang harus dilewati.
38. Sebenarnya
tidak ada yang lebih menyucikan diri selain kebijaksanaan. Seseorang
yang telah sempurna dalam yoga (ilmu pengetahuan)nya, akan menemukan
kebijaksanaan ini di dalam dirinya sendiri -- Sang Atmannya, sesuai
dengan waktunya.
39. Seseorang yang mempunyai iman dan telah bersatu
dalam kebijaksanaan dan telah menguasai indra-indranya - ia akan
mendapatkan kebijaksanaan ini. Dan setelah mencapai kebijaksanaan ini
maka segera ia menuju ke Kedamaian Yang Abadi (Ketenangan Ilahi, dimana
tidak ada kematian lagi.)
40. Tetapi barangsiapa yang tidak
tahu, tidak memiliki kepercayaan, yang selalu ragu-ragu sifatnya, akan
pergi ke kehancuran. Untuk seseorang yang ragu-ragu tak akan ada dunia
ini atau dunia yang lebih tinggi iagi, bahkan baginya tidak ada
kebahagiaan.
Kepercayaan yang sifatnya penuh dengan keragu-raguan
pada yang akan menyesalkan seseorang dalam perjalanannya mencari
kebenaran. Rasa ragu-ragu mengisi jiwa seseorang dengan keputus-asaan,
dan terhambatlah sinar yang menerangi orang ini.
41. Seseorang yang telah menyerahkan semua aksi atau
tindakan-tindakannya dalam yoga (bekerja tanpa pamrih), yang telah
menebas keragu-raguannya dengan kebijaksanaannya, dan selalu memiliki
Sang Atman (yang selalu dibawah raungan atau perintah Sang Atman) - maka
untuk orang semacam ini tidak ada aksi yang mengikatnya, o Arjuna!
Seseorang
yang sesuai dengan karma-yoga bekerja tanpa pamrih walau apapun
statusnya dalam masyarakat, dan telah bulat tekadnya ke arah Yang Maha
Esa, dan telah hilang sama sekali keragu-raguannya, maka orang semacam
ini hanya bekerja demi Yang Maha Esa sesuai dengan bisikan Sang Atman;
untuk yang telah mencapai status ini tak ada karma atau aksi yang
mengikatnya. Orang semacam ini dikatakan telah mempersembahkan karmanya
kepada Yang Maha Esa sebagai persembahan kasih-sayangnya pada Ilahi. Dan
ia pun akan memiliki Sang Atman dalam dirinya secara sadar. Ia akan
dituntun dalam segala aksinya, dijauhkan dari kegelapan duniawi. Secara
benar dan sadar ia akan merasakan semua bisikan dan tuntunan Sang Atman
di dalam dirinya, dan ini merupakan suatu tahap yang sangat tinggi dalam
kehidupan spiritual seseorang. Dan tidak ada lagi tahap yang lebih
tinggi dalam kehidupannya sebagai manusia, karena ia telah mencapai
status yang terpilih olehNya.
42. Dengan demikian, tebas dan buanglah
jauh-jauh keragu-raguan dalam hatimu, yang timbul dari
kekurang-pengetahuanmu, teguhkan dirimu dalam yoga (ilmu pengetahuan
sejati) dan berdirilah, oh Arjuna!
Seseorang yang penuh dengan
kebijaksanaan adalah seorang manusia yang bebas dan tak ada aksi atau
tindakan yang dapat mengikatnya lagi, karena setiap ia bertindak ia
selalu menyerahkannya kepada Yang Maha Esa secara sadar dan tulus; orang
semacam ini telah menebas habis keragu-raguannya dengan imannya yang
tebal terhadap Yang Maha Esa.
Pesan Sri Krishna untuk Arjuna di atas
ini sebenarnya berlaku untuk kita semua dan bermakna bangkitlah dan
maju berperang, dikau prajurit-prajurit Yang Maha Esa, bangkitlah dan
bekerja demi kewajibanmu sebagai seorang karma-yogi, bekerjalah tanpa
pamrih. Adalah kewajibanmu (dharma) untuk berperang melawan
angkara-murka, nafsu dan keinginan duniawi yang sebenarnya adalah
kegelapan yang melilitmu dari jalan kembali ke Yang Maha Pencipta.
Demikianlah
dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu pengetahuan yang abadi, Karya
Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini
adalah bab keempat yang disebut Gnana Yoga atau Ilmu Pengetahuan tentang
Kebijaksanaan.