Berkatalah Arjuna:
1. Dikau memuji karma-sanyasa
(penyerahan total sesuatu aksi kepada Yang Maha Esa) oh Kreshna, dan
juga Dikau menganjurkan bekerja secara benar (karma-yoga). Di antara
keduanya ini yang manakah yang lebih baik? Beritahukanlah daku akan
kepastiannya.
Arjuna mulai ragu-ragu lagi akan
ucapan-ucapan Sang Kreshna dan dengan jujur ia mengemukakan
keragu-raguannya ini kepada Sang Kreshna. Di bab-bab yang telah lalu,
Sang Kreshna berbicara tentang gnana dan karma, yaitu tentang ilmu
pengetahuan sejati dan tentang cara bekerja yang baik dan benar. Bagi
Arjuna kedua hal ini nampak saling bertentangan sifatnya, karena baginya
doktrin atau ajaran tentang ilmu pengetahuan yang sejati dianggapnya
menganjurkan pekerjaan atau dharma yang benar. Bagi Arjuna ini nampaknya
dua jalan yang berbeda, bagi Sang Kreshna kedua-duanya adalah sama.
Tetapi bagi Arjuna rupanya semua keterangan Sang Kreshna terasa masih
belum memuaskan batinnya, dan ia masih memerlukan pengarahan yang lebih
pasti.
Kembali ke Sang Kreshna, maka kedua ajaran ini kalau dilakukan dengan
benar dan tulus maka akan mengangkat si pemuja ke strata spiritual yang
lebih tinggi, tetapi bagi Arjuna yang masih kurang pengetahuannya ini
malahan merupakan tanda-tanya. Dan ini wajar sekali! Arjuna menanyakan
apakah ia harus melepaskan karmanya sebagai seorang kshatria dan
mengabdi seterusnya ke jalan sanyasa (ajaran Sankhya) atau ia harus
bekerja sesuai dengan karmanya sebagai seorang kshatria dan berperang
sampai tuntas (seperti ajaran yoga!). Yang mana yang harus dipilihnya?
la menjadi ragu-ragu sendiri. Banyak orang-orang Hindu beranggapan bahwa
kehidupan sanyasa (lepas dari segala aksi) dapat menghasilkan
kebebasan. Dan dalam hal ini Arjuna berpikir kalau ia tetap jadi seorang
kshatria maka ia akan terhambat dalam perjalanan spiritualnya, dan ia
bersiap-siap untuk berubah haluan menjadi seorang sanyasin (pertapa),
tetapi sebelumnya ia ingin minta kepastian dulu dari Sang Kreshna, Sang
Adhi Guru.
Berkatalah Sang Maha Pengasih:
2. Sanyasa
(lepas dari segala aksi) dan karma-yoga (bekerja tanpa pamrih),
kedua-duanya menuju ke Yang Maha Esa. Tetapi diantara keduanya,
karma-yogalah yang lebih baik daripada sanyasa.
Sebenarnya
inti kedua ajaran ini tidak berbeda, dan menurut Sang Kreshna
karma-yoga lebih baik. Seorang karma-yogi sebenarnya di dalam batinnya
adalah seorang sanyasi, karena secara mental ia telah dan selalu
memasrahkan (mempersembahkan) setiap aksi atau pekerjaan dan
perbuatannya kepada Yang Maha Esa semata, walaupun ia sibuk bekerja
seaktif apapun juga. Dan dengan jalan ini ia lepas dari segala ikatan
mati dan hidup, dan lebih cepat mencapai yang Maha Esa. Sedangkan jalan
sanyasa atau gnana-marga (jalan ilmu pengetahuan) itu sifatnya sulit dan
berbelit-belit, jadi menurut Sang Kreshna lebih baik untuk berjalan
menganut ajaran karma-yoga yang lebih mudah.
3. Seseorang
yang tidak membenci atau bernafsu (menginginkan segala sesuatu) adalah
seorang sanyasi yang konstan. Karena seorang yang telah lepas dari
dvandas (dua rasa yang saling berlawanan), akan cepat lepas dari
keterikatan duniawi, oh Arjuna!
Dvandas seperti
yang sudah disebut dan diterangkan pada bab-bab yang lalu, adalah dua
sifat atau rasa yang berlawanan yang mengikat setiap manusia. Kedua rasa
atau sifat ini adalah musuh-musuh besar seorang manusia. Seorang
karma-yogi tidak akan mengacuhkan kedua-duanya lagi dan memasrahkan
semua yang dialaminya kepada KehendakNya semata, dan sekiranya ini
dilakukan penuh kesadaran dan dengan jiwa yang tulus maka ia pun
terlepaslah dari keterikatan karma-karmanya. Seorang sanyasi yang
konstan, adalah seorang yang tidak pernah menginginkan sesuatu ataupun
tidak bernafsu akan sesuatu, dan sifatnya ini konstan, jadi
terus-menerus ia akan berpikir dan bertindak demikian karena sudah
menjadi itikadnya yang tegas dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini
timbul dari kesadarannya yang tinggi. Hidupnya adalah suatu hal yang
netral, semua suka dan duka, untung dan rugi sama saja harkat atau
artinya, dan baginya semua ini selalu datang dan pergi tidak pernah
abadi, jadi ia selalu tidak acuh lagi kepada dua sifat yang berlawanan
ini. Dengan begitu lepaslah ia dari semua ilusi duniawi ini karena
memang ia secara sadar tidak mau terikat olehnya, walaupun sebenarnya ia
tinggal dan bekerja di dunia ini yang penuh dengan segala aktivitas
yang tak kunjung habis-habisnya.
4. Hanya
anak-anak, dan bukan orang-orang bijaksana, yang mengatakan bahwa ajaran
Sankhya dan ajaran yoga sebagai dua hal yang berbeda. Seseorang yang
telah mapan dalam salah satu ajaran ini mendapatkan imbalan dari
kedua-duanya.
5. Tingkat tertinggi yang dicapai
oleh para penganut Sankhya juga dicapai oleh penganut ajaran Yoga.
Barangsiapa melihat (menyadari) bahwa ajaran Sankhya dan Yoga adalah
satu benar-benar melihat dengan mata yang terang.
Ilmu pengetahuan
yang sejati dan aksi atau tindakan tanpa pamrih sebenarnya bagi Sang
Kreshna adalah dua hal yang sama saja arti dan maknanya, dan lebih dari
itu satu saja tujuannya, yaitu Yang Maha Esa. Ambillah salah satu jalan
yang berkenan di hati dan sesuai dengan keinginan pribadi kita yang
tulus, dan berjalanlah di jalan tersebut dengan tulus dan pada suatu
saat nanti kita akan mendapati bahwa ujung jalan ternyata berakhir pada
titik yang sama. Kedua penganut masing-masing jalan yang nampak berbeda
ini pada hakikatnya sama-sama bebas dari nafsu-nafsu duniawi ini dengan
segala ikatan-ikatan dan ilusi-ilusinya.
6. Tetapi tanpa Yoga, oh Arjuna, penyerahan diri (secara total) itu sukar dicapai
Seorang yang suci yang telah terbiasa dengan Yoga (jalan aksi), segera
mencapai Sang Brahman, Yang Maha Esa.
Penyerahan
diri secara total tidak begitu saja dapat dicapai seseorang. Tetapi
harus dengan kerja keras, dan proses ini berlangsung secara progresif
(maju terus) bagi orang-orang yang telah melepaskan egonya dan
berdedikasi kepada Yang Maha Esa. Ego pribadi adalah salah satu elemen
yang paling sukar dikendalikan dalam diri kita dan selalu hadir pada
setiap orang dalam bentuk yang berganti-ganti dan beraneka-ragam,
seakan-akan tidak ada habis-habisnya. Dan semua itu butuh kesabaran dan
dedikasi dan proses yang lama, baru dapat dikurangi tahap demi tahap dan
kemudian sama sekali dihilangkan. Dan tanpa karma-yoga, sabda Sang
Kreshna, jalan kearah Sanyasa atau gnana-marga ini akan jadi lebih sulit
karena bisa-bisa seseorang jatuh sebelum mencapainya. Jalan karma-yoga
menyucikan dan melicinkan langkah kita ke arah Yang maha Esa, semuanya
kemudian menjadi lebih cepat untuk mencapaiNya.
Seseorang boleh
saja berpikir bahwa ia sudah sadar, bahwa semua di dunia ini hanya ilusi
Sang Maya, dan ia sendiri sudah mencapai kesempurnaan dalam
kebijaksanaan. Tetapi kalau ia tidak mempraktekkan dan menghayati
karma-yoga dengan baik dan benar, maka ia akan jatuh karena egonya, atau
karena nafsu-nafsu dan kemarahannya. Dan Sang Maya kemudian menjadi
lebih kuat lagi baginya. Tetapi sekali ia tersucikan oleh karma-yoga,
maka cepat ia akan lepas-landas ke arah Yang Maha Esa. Jadi
seyogyanyalah seseorang selalu berjalan dijalannya karma-yoga dengan
teguh.
7. la yang penuh dedikasi dalam tindakannya dan suci jiwanya,
yang merupakan tuan bagi dirinya sendiri dan telah menguasai
indra-indranya, yang sadar bahwa Dirinya adalah Diri yang sama dalam
setiap makhluk - walaupun ia bekerja (bertindak), ia tak akan tersentuh
sedikit pun oleh pekerjaan atau tindakan itu.
Mengapa ia tak
tersentuh sedikitpun oleh tindakan-tindakannya? Karena ia tidak kerja
untuk diri pribadinya sendiri. Sang Atman, Sang Jati Diri -- Sang
Kreshna yang ada di dalam jiwalah yang melakukannya. Ia melihat,
mendengar, menyentuh, mencium., makan, bergerak, tidur, bernafas,
berbicara, tetapi Ia sadar semua itu hanya tindakan-tindakan alamiah ke
obyeknya masing-masing. Ia sadar sebenarnya ia tidak melakukan apa-apa,
ia hanya alatNya saja, dan dipakai olehNya sesuai dengan KehendakNya.
8. Seseorang
yang telah bersatu dengan Yang Maha Suci, yang sadar akan Kebenaran
akan selalu berpikir, "aku tak melakukan apa-apa." Karena dikala
melihat, mendengar, menyentuh, mencium, memakan, bergerak, tidur,
bernafas.
9. Dikala berbicara, memberi, mengambil, membuka dan
manutup-mata, ia sadar bahwa yang bergerak hanyalah indra-indranya dan
diantara obyek-obyek indra-indra itu sendiri.
10. Seseorang yang
bertindak (bekerja), sambil melepaskan keterikatannya, menyerahkan semua
tindakan-tindakannya kepada Yang Maha Esa, tidak akan tersentuh oleh
dosa, ibarat bunga teratai yang tak tersentuhkan oleh air.
Di sloka
delapan dan sembilan di atas diterangkan dengan baik mengenai disiplin
pribadi seseorang yang melakukan gnana-yoga. Orang semacam ini tidak
pernah merasa bahwa ialah "pelaku semua tindakan." Di sloka sepuluh di
atas, diterangkan sekali lagi bahwa seorang karma-yogi sejati akan
selalu bekerja tanpa pamrih, karena semua tindakannya adalah demi Yang
Maha Esa.
11. Para yogi, sambil melepaskan keterikatannya, bekerja mempergunakan
tubuh, pikiran, intelektual (buddhi), atau dengan indra-indra mereka
demi penyucian jiwa mereka.
Seorang karma-yogi yang sejati merasa
bahwa tindakan-tindakan raganya, pikirannya, intelektualnya dan
indra-indranya bukanlah tindakan atau perbuatan dirinya, melainkan
hanyalah ekspresi dari dirinya, yang sebenarnya adalah alat saja dari
yang Maha Esa. Kemudian ia sadar bahwa ia sebenarnya bukan raga, bukan
pikiran, bukan intelektual, bukan indra-indra tetapi dirinya sendiri
sebenarnya adalah Sang Atman, Sang Jati DiriNya Yang Sejati. Dengan
menyadari hal tersebut dan bekerja demi Yang Maha Esa tanpa pamrih, maka
ia selalu gembira dan dapat bekerja demi Yang Maha Esa tanpa merasa
bosan atau tanpa habis-habisnya.
12. Seseorang yang telah bersatu
denganNya, yang telah mengesampingkan semua imbalan dari
tindakan-tindakannya, mencapai ketenangan yang abadi. Tetapi seseorang
yang jiwanya tidak bersatu denganNya, didorong oleh nafsu-nafsunya dan
terikat pada pamrih-pamrihnya, maka terbelenggulah ia.
Sekali
mencapai persatuan dengan Yang Maha Esa, maka seseorang langsung
mendapatkan ketenangan yang abadi, karena lepas sudah ia dari
beban-beban imbalan kerjanya. Tetapi seseorang yang tidak dapat bersatu
denganNya, akan selalu terkurung atau terpenjara oleh aksi dan hasil
dari aksi ini, yang dilakukannya berdasarkan dorongan nafsu dan
keinginannya yang beraneka-ragawi. Hasilnya pun tentu beraneka-ragam.
13. Melepaskan
semua tindakan secara mental, jiwa yang memiliki raga ini bersemayam
secara tenang di kota yang memiliki sembilan pintu gerbang, tidak
bekerja maupun memerintahkan suatu pekerjaan.
Untuk mencapai status
"yang bersemayam di dalam tubuh kita tanpa kerja atau memerintahkan
suatu pekerjaan," adalah seseorang yang jiwanya telah mencapai suatu
tahap tertinggi dalam kebijaksanaannya. Ia tidak terlibat akan suatu
pekerjaan dan ia pun tak mau melibatkan orang lain -- ia hidup dan
bekerja tanpa suatu nafsu atau keinginan pribadi, dengan kata lain
semuanya dilakukannya tanpa pamrih - ia adalah seorang karma-yogi yang
sejati.
Kota yang berpintu gerbang sembilan adalah raga kita sendiri,
yaitu dengan dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, satu mulut, satu
lubang anus dan satu lubang kemaluan, semuanya berjumlah sembilan
lubang atau pintu gerbang raga kita.
14. Sang Maha Kuasa Pemilik
Seluruh Alam Semesta ini (Sang Prabhu) tidak menciptakan manusia sebagai
agen-agen DiriNya, tidak juga Ia bertindak. Tidak juga Ia mengaitkan
pekerjaan dengan imbalannya. Semua ini dilakukan oleh Svabhaba (alam).
Sang
Prabhu adalah Diri Yang Sejati dari setiap hal di dunia ini. Diri Yang
Sejati ini adalah Sinar yang bersemayam di raga setiap makhluk. Ia tidak
bekerja maupun mengakibatkan sesuatu pekerjaan manusia atau makhluk,
juga tidak tersentuh kebaikan maupun keburukan. Dan di dalam Sinar
inilah para pencari Kebenaran Sejati atau Kebenaran Hidup ini mencari
perlindungan demi melawan segala cobaan Sang Maya yang selalu hadir
menghadang. Di dalam sinar ini kemudian timbullah kesadaran seseorang
yang mencari kebenaran yang sejati bahwa hidup ini sebenarnya adalah
persembahan demi Yang Maha Kuasa oleh sekalian makhluk-makhluk
ciptaanNya.
15. Yang Maha Pengasih tidak mengambil baik maupun buruk
untuk DiriNya sendiri. kebijaksanaan itu terbungkus oleh
kekurangan-pengetahuan, dan para makhluk pun jadi kalut karenanya.
Yang
Maha Esa itu hadir dimana saja dan selalu sempurna adaNya. Ia tak
pernah tersentuh oleh dosa-dosa dan perbuatan baik manusia, karena Ia
bersemayam jauh dari dosa dan kebaikan ini. Ia lah Sang Atman, Sinar
Ilahi. Ini terbungkus oleh kegelapan yang ditimbulkan oleh ilusi, dan
kalut atau bingunglah manusia karenanya. Dibawah pengaruh ilusi (bahwa
kita ini terpisah dari Yang Maha Esa), maka jiwa kita senantiasa
berpikir bahwa jiwa kita atau tubuh kitalah yang bertindak dalam segala
sesuatu hal. Dan kalau pengaruh ilusi ini dapat disingkapkan, maka para
pencari kebenaran hidup ini, akan masuk ke dalam ruang-dalam nurani kita
di mana bersinarlah kebijaksanaan ~ Kebijaksanaan Sang Atman. Disinilah
seorangjignasu (pencari kebenaran hidup ini) sadar bahwa ia sebenarnya
satu dengan semuanya, dan kepadanyalah akan terlihat Yang Maha Esa, Yang
Tanpa Nama dan Abadi (Tat), yang tidak pernah tersentuh oleh kebaikan
maupun keburukan yang diakibatkan oleh pekerjaan manusia.
16. Seseorang
yang kekurang-pengetahuannya (kegelapannya) telah dihancurkan oleh
kebijaksanaan Sang Atman, maka di dalam diri mereka, kebijaksanaan ini
bersinar laksana Sang Surya, mamancarkan keagungan Yang Maha Esa.
Berbahagialah
mereka yang telah mencapai tahap kebijaksanaan, yaitu ilmu pengetahuan
mengenai Sang Atman, Sang Jati Diri, Sang Kreshna sendiri yang
bersemayam di dalam diri mereka sendiri, karena kebijaksanaan ini
memancarkan cahaya Ilahi di dalam diri mereka laksana terangnya Sang
Surya, menyibak semua kegelapan duniawi, dan menerangi jiwa mereka.
17. Mereka
yang intelektual (buddhi) dan pikirannya sudah bersatu utuh denganNya,
yang selalu berada dalam naungan Yang Maha Esa, dan akhirnya menyatu
denganNya --- orang-orang semacam ini pergi ke tempat dimana mereka tak
kembali lagi, karena dosa-dosa mereka hapus oleh kebijaksanaan.
Para
yogi yang sejati ini selalu hidup dalam naungan Yang Maha Esa dan
mendasarkan setiap tindakan mereka sesuai dengan kehendak Ilahi -- hidup
mereka selalu dalam Ilahi, begitupun jalan pikiran dan tujuan mereka
tak pernah lepas dariNya. Sewaktu orang-orang semacam ini meninggalkan
raga mereka (meninggal-dunia) maka mereka pergi ke tempat dimana mereka
tak kembali lagi kedunia ini, lepas dari kehidupan dan kematian
selanjutya.
18. Orang-orang suci ini memandang secara sama pada
seorang Brahmin yang terpelajar dan yang penuh rasa rendah-diri, atau
pada seekor sapi, atau pada seekor gajah, bahkan pada seekor anjing dan
pada seorang pariah (kasta yang dianggap terendah diantara semua kasta).
Para
yogi yang sejati yang telah suci ini tidak mempunyai diskriminasi
sedikitpun; bagi mereka semua makhluk ciptaan Tuhan itu sama saja
derajatnya, karena dalam setiap makhluk sebenarnya bersemayam Sang Atman
yang Tunggal. Bagi mereka diskriminasi kasta adalah tidak wajar, bahkan
seekor anjing pun bagi mereka derajatnya sejajar.
19. Bahkan di sini
(di bumi ini) semua hal-hal duniawi dapat teratasi bagi mereka-mereka
yang jiwanya telah bersatu dalam suatu kesamaan. Yang Maha Esa adalah
nirdosha, yaitu tak tersentuh oleh dosa, dan Ia sama bagi semua makhluk.
Mereka yang sadar hal ini telah bersatu denganNya.
20. Dengan
inteleknya yang teguh dan tidak terombang-ombing, bersatu dengan Yang
Maha Esa, maka seseorang yang telah mengenal Sang Brahman tidak akan
gembira dikala senang dan tidak akan bersedih dikala dilanda kesusahan.
21. Tidak terikat pada kontak-kontak eksternal (luar) dan mendapatkan
kebahagiaan di dalam DiriNya (Sang Atman), seorang yoga-yukta yang tak
bersatu dengan Yang Maha Esa, merasakan keberkahan tanpa habis-habisnya.
22. Kesenangan
yang lahir dari kontak-kontak (dengan obyek-obyeknya) sebenarnya
permulaan (asal) dari penderitaan. Kesenangan-kesenangan ini ada awalnya
dan juga ada akhirnya, oh Arjuna! Seorang yang bijaksana tak akan
bergembira dengan kesenangan-kesenangan ini.
Para yogi yang bijaksana
tak akan bergembira dengan hal-hal duniawi yang menyenangkan (priyam)
ataupun bersedih dengan hal-hal keduniawian yang penuh dengan
penderitaan atau kesedihan. Karena semua kebahagiaan mereka sudah
terpusat sepenuhnya pada Sang Atman, pada Sang Kreshna yang bersemayam
di dalam diri mereka. Mereka sadar kesenangan dan kesedihan duniawi
bersifat sementara saja semua itu datang dan pergi, sedangkan Yang Maha
Esa sifatnya abadi dan tak ada habis berkahNya.
Dan mereka ini pun
sadar bahwa semua kesenangan duniawi itu sebenarnya adalah awal atau
asal dari berbagai penderitaan yang beraneka-ragam sifatnya, seperti
kehilangan seseorang yang amat disayangi, sakit atau penderitaan ragawi,
masa tua, dan banyak hal lainnya, yang kalau ditelaah merupakan
kesenangan pada awalnya tetapi selalu berakhir dengan kesedihan atau
penderitaan. Dan semua penderitaan ini kemudian akan menimbulkan kama
(nafsu) dan krodha (kemarahan), dan masuklah seseorang kemudian ke dalam
lingkaran setan dari penderitaan ini, yang nampaknya tak ada
habis-habisnya.
23. Seseorang yang di dunia ini (di bumi ini),
sebelum meninggalkan raganya berhasil menahan gejolak nafsu dan
kemarahannya, maka ia telah bersatu dengan Yang Maha Esa. Orang ini
adalah orang yang bahagia.
Seorang yogi yang bahagia secara murni,
adalah orang yang penuh dengan kendali diri. Dan pengendalian diri ini
dipelajari di bumi ini, karena memang bumi-loka ini tempatnya setiap
manusia belajar berbagai aspek Ketuhanan dan mengenal dirinya sendiri
secara spiritual, bukan di tempat lain. Dan sekali pengendalian diri ini
tercapai secara utuh dan tulus, maka akan didapatkan berkahNya yang tak
kunjung habis-habisnya. Maka seyogyanyalah setiap manusia belajar untuk
mengendalikan nafsu dan keinginan-keinginannya, pertahankanlah tekad ke
arah ini dan bangkitlah lagi setiap tersandung jatuh, kemudian tegak
maju lagi secara lebih tegar. Di mana ada tekad di situ pasti ada jalan.
Perangilah nafsu dan kemarahan dan pada suatu saat yang tepat, dengan
tekad yang kuat, dikau pasti akan berhasil mandapatkan kebijaksanaan
ini.
24. Barangsiapa memiliki kebahagiaan di dalam dirinya,
barangsiapa memiliki kegembiraan di dalam dirinya, barangsiapa memiliki
sinar di dalam dirinya, maka yogi semacam ini berubah sifatnya menjadi
suci dan mencapai keindahan Yang Maha Esa (Brahmanirvana).
Seseorang
yogi yang sejati selalu mencari kebahagiaan di dalam diriNya (Sang
Atman) dan merasa bahagia dengan apa saja yang didapatkannya dari Sang
Atman. Yogi semacam ini sudah berdiri di atas ketiga guna (sifat-sifat
alami atau prakriti) dan telah mencapai suatu sifat yang suci yang
merupakan karunia Ilahi yang tak ternilai sifatnya. Ia langsung
berasimilasi dengan Yang Maha Esa. Brahma nirvana adalah suatu status
dimana meleburlah semua nafsu-nafsu pribadi seseorang dalam sinarNya
Yang Maha Esa, dan seorang yogi yang telah mencapai tahap ini menjadi
seorang resi (seorang yang dianggap suci), yang jiwanya sudah
dipasrahkan secara total kepadaNya, Yang Maha Abadi.
25. Para Resi
(orang-orang suci) yang dosa-dosanya telah hapus, yang keragu-raguannya
(rasa dualismenya yang bertentangan) telah tertebas habis, yang
pikirannya penuh dengan disiplin, dan yang bahagia dalam kesejahteraan
semua makhluk, mencapai Brahma nirvana.
Para orang-orang suci
yang dosa-dosanya telah tertebas habis, begitupun dengan keragu-
raguannya mereka akan hal-hal yang menyenangkan maupun yang sebaliknya,
yang indra-indranya telah terkendali dengan baik; maka setiap tindakan
mereka adalah demi kesejahteraan semua makhluk di dunia ini. Mereka ini
bersatu dengan Yang Maha Esa (Sang Brahman) dan mereka ini mengenal yang
disebut nirvana, yaitu Kedamaian Yang Abadi (Keindahan Ilahi).
26. Keindahan
Ilahi terletak dekat dengan mereka yang suci, yang telah lepas dari
nafsu dan kemarahan, yang telah mengendalikan pikiran mereka dan telah
sadar akan DiriNya.
27. Menutup diri dari kontak-kontak eksternal
(luar), memusatkan pandangan pada sela kedua alis-mata, dan
menyelaraskan nafas yang masuk dan keluar dari lubang-lubang hidung.
28. Dengan
mengendalikan indra-indranya, pikirannya dan intelektualnya, seseorang
yang yang suci yang berkeinginan bebas dan telah berhasil menyingkirkan
nafsu, ketakutan dan kemarahan, akan benar-benar terbebas.
29. Dan
mengetahui Aku sebagai Yang Menikmati semua persembahan dan pengorbanan,
sebagai Yang Maha Memerintah seluruh isi alam, Yang Mencintai semua
yang hidup, maka orang suci semacam ini akan menuju ke kedamaian.
Setiap
insan yang mengenal Sang Jati Diri (Sang Atman), akan menemui Kedamaian
Yang Abadi (Brahma-nirvana). Pengetahuan tentang hal ini disebut
kebijaksanaan, yang mengusir semua nafsu dan keinginan-keinginan kita
dan membuat seorang berubah sifatnya menjadi sederhana dan stabil jalan
pikirannya (terkendali, atau dalam kendali). Proses ini menjadi lebih
mudah lagi kalau ditambah dengan latihan pranayama (yaitu pernafasan
yang terkendali atau meditasi). Dan yang ingin mencoba pranayama atau
meditasi ini harus:
1. Membebaskan atau mengeluarkan atau
menjauhkan semua bentuk pikiran-pikiran yang datang mengganggu. Jadi
tidak memikirkan apapun juga selain Sang Atman yang ada di dalam
dirinya. Dapat dimulai dengan membayangkan wajah seorang Dewa atau sang
guru yang dihormatinya. Ini yang dinamakan menjauhi kontak-kontak
eksternal.
2. Memusatkan pandangannya pada titik yang terletak di tengah-tengah kedua alis mata, dan
3.
Menyelaraskan masuk dan keluaraya nafas dari dan ke lubang hidung kita.
Baik irama, panjang dan lama nafas yang masuk dan keluar ini harus
seimbang mungkin, Sebaiknya perlahan-lahan saja, setelah lama berlatih,
maka masuk-keluar nafas ini membebaskan indra-indra, pikiran dan
intelektual kita dari kekuasaan nafsu dan berbagai keinginan, dari rasa
takut dan berbagai pikiran yang selalu silih-berganti. Lebih dari itu
seorang yang melakukan meditasi ini harus sadar bahwa Yang Maha Esa
adalah sebagai Asimilator atau Sang Penerima semua bentuk yagna dan
tapa, dan juga orang atau pemuja ini harus mengenal Yang Maha Esa
sebagai Yang Maha Memiliki alam semesta ini beserta seluruh isinya,
mengenalnya sebagai Yang Maha Pengasih semua makhluk-makhluk ciptaanNya,
mengenal Yang Maha Esa dalam bentuk manusiaNya sebagai Sang Kreshna.
Dan
barang siapa yang mengenal Dirinya yang tinggi (Sang Atman) dan melalui
Sang Atman mi dapat menguasai dirinya yang rendah yaitu indra-indra,
pikiran dan intelektualnya, maka orang semacam ini akan mendapatkan
suatu bentuk kedamaian yang abadi.
Dari ajaran-ajaran di atas
terulang lagi, bahwa yang paling penting bagi kita ini adalah
mengendalikan semua indra kita, pikiran kita dan juga buddhi kita.
Seseorang tanpa kendali tidak mungkin dapat menghayati ajaran Bhagavat
Gita atau pun mencapai Yang Maha Esa. Ia boleh saja bermeditasi dengan
aktif, boleh saja ia menguasai berbagai ajaran atau teori-teori dan
teknik-teknik spiritual, tetapi kalau belum berhasil mengendalikan
indra, keinginan, nafsu, pikiran dan buddhinya dengan baik maka sia-sia
saja upayanya, bahkan dapat merusak atau menyesatkan dirinya. Tanpa
penghayatan dan perbuatan nyata, maka sia-sia atau rusaklah orang
semacam ini. Teori saja tidak perlu dalam peningkatan spiritual, yang
paling penting adalah praktek atau usaha-usaha pengendalian hawa-nafsu
kita secara sejati dan total, karena semua pengetahuan spiritual ini
akan menjadi mentah sifatnya tanpa penghayatan yang tulus dan sejati,
tanpa dedikasi dan disiplin yang penuh dengan tekad yang kuat. Semua
ini butuh waktu dan tak dapat dicapai dalam sekejap mata, maka dari itu
dibutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Dan apakah yang akan terjadi
seandainya seseorang memaksakan dirinya ke jalan yoga, padahal dirinya
masih mentah atau belum siap untuk itu? Meditasinya yang prematur akan
membawanya ke jalan atau arah yang berbahaya. Membawanya ke situasi yang
neurotik, membawanya ke pemecahan jiwanya (personalitasnya) dan bahkan
kekacauan jiwanya yang dapat menghasilkan gangguan jiwa (menjadi gila
misalnya). Seyogyanyalah meditasi diajarkan dan dibimbing dan ditentukan
oleh seorang guru yang bijaksana, yang dapat menilai sudah sejauh
manakah kadar dari sang murid ini. Tanpa pembersihan ego pribadi,
pengendalian indra-indra dan pikirannya, maka jalan meditasi akan
berbahaya sekali.
Meditasi yang matang sifatnya, kemudian akan
menghasilkan suatu pertemuan antara sang pemuja dengan Sang Atman, Sang
Kreshna Yang Abadi Yang bersemayam di dalam jiwa sang pemuja ini, Yang
juga adalah Kuasa dari alam semesta ini, Yang juga adalah Pengasih semua
makhluk. Ia bukan saja jauh dari jangkauan kita tetapi juga merupakan
Teman kita yang benar-benar sejati dan dekat dengan kita dan bersifat
Maha Penolong kapan dan dimana saja. Teman yang membantu kita mengatasi
segala situasi yang kita hadapi. Seseorang yang pintu imannya telah
berbuka lebar, maka pintu kebijaksanaannya pun akan terbuka lebar-lebar
dan ia pun akan mencapai kedamaian yang abadi yang menjadi dambaan
setiap pencari kebenaran. Kedamaian Nan Abadi ini, yang penuh dengan
Sinar llahi, disebut Brahmanirvana.
Demikianlah dalam Upanishad
Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahltan yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog
antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab ke lima, yang
disebut Karma Sanyasa Yoga atau Yoga Tentang Penyerahan Tindakan (Aksi).