Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
1. Seseorang yang
mengerjakan kewajiban yang harus dilakukannya, tetapi tanpa menuntut
keuntungan, tanpa pamrih, maka orang itu adalah seorang sanyasi dan
seorang yogi; bukan ia yang tak mau menyalakan api pengorbanan dan tak
mau melakukan upacara apapun.
Sang
Kreshna mengulang lagi sebuah fakta kebenaran bahwa seorang sanyasi
yang sejati adalah seorang yogi sekaligus karena telah mempersembahkan
(mengorbankan) semua pekerjaan dan hasil-hasil dari pekerjaannya kepada
Yang Maha Esa. Sanyasa sendiri juga berarti tidak terikat atau tidak
berkeinginan. Seseorang yang hidupnya selalu berkeinginan tanpa
habis-habisnya dan selalu terikat pada obyek-obyek duniawi dianggap
tidak pernah berkorban untuk Yang Maha Esa (tidak menyalakan api
pengorbanan) atau berbuat suatu apapun demi Yang Maha Esa.
2. Sebenarnya, Sanyasa yang sejati (penyerahan total) itu
adalah Yoga, oh Arjuna! Dan seseorang bukanlah yogi yang sejati kalau
belum mengesampingkan sankalpa-sankalpanya (keinginan-keinginannya yang
bermotifkan sesuatu atau suatu tekad untuk mendapatkan sesuatu yang
bersifat duniawi di masa depan).
Segi-segi penting
dari sanyasa juga terdapat di dalam karma-yoga. Seorang sanyasi yang
sejati sama halnya dengan seorang yogi yang sejati tidak akan terganggu
oleh nafsu. Seorang karma-yogi yang sejati tak akan terusik oleh imbalan
apapun untuk setiap perbuatan atau tindakannya.
Sankalpa harus
dikesampingkan. Semua rencana yang bermotifkan keserakahan pribadi,
rencana yang penuh dengan nafsu-nafsu egoisme harus dikesampingkan,
karena rencana-rencana semacam ini timbul dari avidya
(kekurang-pengetahuan), lahir dari suatu perasaan bahwa "akulah"
pelakunya. Seorang karma-yogi yang sejati akan melenyapkan rasa "akunya"
(egoisme dan ahankara) dari dirinya Yang dimaksudkan Sang Kreshna di
atas bukannya mengesampingkan pekerjaan seseorang, tetapi sebaliknya
bekerja dengan mengesampingkan tekad-tekad atau rencana dan itikad yang
punya motif atau tujuan yang tertentu untuk kepentingan diri atau
egonya; biasanya setiap pekerjaan kita selalu disertai dengan
pengharapan akan suatu hasil dan imbalan, bukan saja dari Yang Maha Esa,
dari dewa-dewa tetapi dari orang-orang lain, maupun dari pekerjaan itu
sendiri. Seyogyanyalah semua pekerjaan dilakukan dengan tekad untuk Yang
Maha Esa semata, itu berarti kesatuan dengan Sang Atman dalam segala
tindak-tanduk kita sehari-hari dan dalam hidup kita ini. Seorang yogi
yang sejati tidak akan berjalan seirama dengan sankalpa-sankalpanya
tetapi selalu bekerja tanpa pamrih selama hidupnya dan meditasi (atau
dhyana) baginya adalah suatu faktor penunjang yang amat membantunya.
3. Untuk
seorang suci yang ingin mencapai yoga, maka jalannya adalah dengan
bertindak, untuk orang suci yang sama ini sekali ia telah mencapai yoga,
maka ketenangan adalah jalannya.
Untuk mencapai
yoga, maka seseorang yogi yang sejati harus bekerja selalu tanpa pamrih,
dan setelah ia berhasil menyatu denganNya, maka tindakan sudah tidak
penting baginya karena yang bertindak kemudian adalah kehendak Ilahi,
dan ia hanyalah alatNya saja. Orang semacam ini akan bekerja dengan dan
dalam segala ketenangan dan bagi kesejahteraan semua makhluk. la tak
akan mempunyai sankalpa atau rencana-rencana formatif untuk dirinya.
Semua pekerjaan atau tindakannya akan selalu sinkron atau sesuai dengan
dhyana (meditasiNya), dengan kehendak Sang Atman yang bersemayam di
dalam dirinya, dan ini bukan suatu hal yang fiktif atau penuh dengan
imajinasi, tetapi betul-betul akan terjadi pada seorang yogi semacam ini
dalam kehidupan ini sebenarnya. Om Tat Sat.
4. Seseorang
yang sudah lepas dari obyek-obyek sensualnya atau dari
tindakan-tindakan dan telah mengesampingkan semua sankalpa-sankalpanya,
maka orang ini dianggap telah bersemayam dalam yoga (yogarudha).
Sankalpa
adalah dasar dari semua aktivitas yang penuh dengan rencana-rencana
egoistik, dalam bab IV/10 Sang Kreshna bersabda: "Seseorang yang
pekerjaannya bebas dari nafsu dan sankalpa disebut seorang suci." Maka
seyogyanyalah seorang yogi yang baik mengesampingkan semua sankalpanya
dan tetap bekerja demi kewajibannya yang benar, tanpa nafsu, tanpa rasa
egoisme, dan tanpa rasa keterikatan pada dua rasa atau sifat yang
berlawanan. Bekerjalah dan terimalah apa saja yang dihasilkan oleh
pekerjaan itu sebagai pemberian dari Yang Maha Kuasa. Rantailah ego
pribadi dengan memasrahkan diri kepada kehendak Sang Ilahi. Dalam
Mahabarata tertulis sebagai berikut: "Oh nafsu, aku tahu akar-akarmu.
Engkau lahir dari Sankalpa atau pikiran-pikiran egoistik. Aku tak akan
memikirkan engkau, dan kau akan mati karenanya."
5. Sebaiknya
seseorang mengangkat dirinya sendiri dengan Dirinya (Sang Atman), dan
jangan sampai ia menjatuhkan dirinya. Karena sebenarnya, Dirinya adalah
temannya sendiri, dan Dirinya juga adalah musuhnya sendiri.
Angkatlah
dirimu sendiri oleh Diri Mu (Sang Atman), bagaimana caranya? Dengan
mengejar atau menjalani ajaran-ajaran spiritual seperti karma-yoga atau
gnana-yoga atau bhakti-yoga. Jangan kau jatuhkan dirimu ke dalam
nafsu-nafsu duniawi yang gelap. Sekali anda mau memperbaiki dan
mengangkat diri sendiri, maka jalan ke arahNya akan terbuka lebar. Sang
Atman yang bersemayam dalam diri kita ini dapat menjadi musuh atau pun
teman dari ego kita sendiri. Sang Atman jadi sahabat kalau kita menjalin
hubungan denganNya dan mengesampingkan semua nafsu-nafsu duniawi kita.
Sang Atman yang universal sifatNya ini lalu menjadi sahabat, penuntun,
penunjuk jalan dan guru kita (Adhi Guru). Tetapi kalau kita jauh
dariNya, maka Sang Atman pun jadi "musuh" dan jauh dari kita. Tanpa
tuntunan dan jauh dari kasih-sayangNya, kasih-sayang Sang Atman ini,
maka apalah arti kehidupan ini.
6. Diri (Sang Atman),
adalah teman bagi seseorang yang dirinya (yang rendah) telah dikalahkan
oleh Dirinya (yang Tinggi). Tetapi bagi diri yang belum terkendali,
maka Sang Diri (Sang Atman) akan bertindak tidak ramah, ibarat seorang
musuh.
Yang disebut diri yang rendah adalah
indra-indra dan pikiran kita. Seseorang yang berhasil menaklukkan semua
ini telah mencapai tahap kesadaran-diri. Kalau diri kita sudah
terkendali dengan baik dan menyatu dan bekerja sebagai alatnya Sang
Atman, maka Sang Atman pun menjadi sahabat baik kita, menjadi sumber
ilham, inspirasi, intuisi, dan guru kita secara spiritual (guru
spiritual) dalam segala hal. Tetapi kalau diri kita tetap saja bersifat
egois, sombong dan bertahan pada keinginan-keinginan duniawi, maka Sang
Atman tidak akan menjadi sumber inspirasi atau penerangan hidup kita
melainkan menimbulkan ketidak-harmonisan dalam diri kita, karena hati
nurani akan selalu bertentangan dengan tindak-tanduk yang tidak baik dan
tidak mengikuti dharma atau kewajiban-kewajiban kita di dunia ini.
7. Seseorang
yang telah menguasai dirinya (yang rendah) dan telah mencapai
ketenangan dalam mengendalikan dirinya, maka Sang Dia Yang Agung yang
bersemayam di dalam dirinya akan bersemayam dengan penuh keseimbangan.
la (orang ini) akan selalu merasa damai baik dalam panas maupun dingin,
dalam kesenangan dan penderitaan, dan baik dihormati atau tidak
dihormati.
Orang yang telah dapat mengendalikan
dirinya adalah orang yang tenang dan damai jiwanya dalam arti yang
sesungguh-sungguhnya. la adalah orang yang sadar bahwa ia hanyalah alat
bagiNya dan sebuah alat fungsinya adalah sama saja baik sewaktu dipakai
maupun sedang tidak dipergunakan. Bagi suatu atau sebuah alat, panas dan
dingin, dihormati atau tidak adalah sama saja, tidak lebih dan tidak
kurang karena ia hanya sebuah alat.
8. Seorang
yogi, yang jiwanya telah puas dengan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan
(gnana dan vignana) dan tidak terombang-ambing, yang indra-indranya
telah dikalahkan (terkendali), yang merasa bahwa segumpalan tanah-liat,
sebuah batu dan sebongkah emas adalah sama saja nilainya, maka orang ini
disebut yukta (seorang yang harmonis pengendalian yoganya).
Gnana
adalah pengetahuan tentang Nirguna, yaitu Yang Tak Terlihat, sedangkan
vignana adalah pengetahuan tentang Saguna, yaitu Yang Terlihat.
Seseorang yang telah sadar dan penuh dengan kedua ilmu pengetahuan ini
(gnana dan vignana), merasa puas dengan kebenaran Sang Brahman sesuai
dengan pengalamannya selama ini, sehingga ia tergoyahkan atau
terombang-ambing oleh pengalaman-pengalaman duniawi yang nampak dan
terasa sehari-hari. Baginya tanah-liat, batu ataupun emas itu sama saja
nilainya. la sudah mencapai keharmonisan dalam hidupnya. Orang semacam
ini disebut yukta.
9. Seseorang yang memandang
sama terhadap teman-temannya, sahabat-sahabatnya dan terhadap
musuh-musuhnya, terhadap orang-orang yang tak dikenalnya dan terhadap
pihak-pihak yang netral, terhadap orang-orang asing dan
sanak-saudaranya, terhadap orang-orang suci dan terhadap orang-orang
yang berdosa - orang ini telah mencapai kesempurnaan (kebaikan).
Orang
yang telah mencapai kesempurnaan melihat Satu Pencipta (Tuhan) di dalam
setiap benda, makhluk dan manusia. Ia bebas secara total dari rasa
diskriminasi karena ia sadar bahwa semua ciptaan Yang Maha Esa
sebenarnya adalah alat-alatNya belaka.
10. Sebaiknya
seorang yogi duduk di suatu tempat yang tenang dan tersendiri, dan
secara konstan mengkonsentrasikan pikirannya pada (Jati Dirinya Yang
Agung), dan dengan mengendalikan dirinya, lepas dari segala nafsu dan
rasa memiliki.
Sang Kreshna menerangkan sebagian
teknik meditasi kepada Arjuna. Sebenarnya seluruh proses teknik
meditasi tak dapat diterangkan dalam bentuk tulisan. Prosesnya berbeda
dari satu orang ke orang lain dan sebaiknya dipelajari dari seorang guru
yang bijaksana. Ibarat belajar melukis yang tidak dapat dipelajari
begitu saja, maka yoga pun tak dapat dipelajari dari buku-buku meditasi
saja. Garis besar atau yang terpenting dalam metode meditasi haruslah
disertai dengan kendali atas pikiran kita, sehingga setiap saat pikiran
kita dapat diperintahkan untuk diam sesuai kehendak atau tekad kita.
Sangat baik kalau seseorang yang ingin belajar meditasi dapat
melakukannya di tempat yang tersendiri dan lepas dari gangguan-gangguan
suara dan sebagainya. la harus lepas dari pikiran-pikiran egois dan rasa
memiliki harta-benda, keluarga dan hal-hal duniawi lainnya, juga ia
harus lepas dari keinginan-keinginan indra-indranya. la harus secara
konstan setiap harinya menyisihkan sejumlah waktu tertentu dan berusaha
dengan tekad yang tulus untuk mengkosentrasikan diri dan pikirannya
kepada Sang Atman, dan sebaiknya waktu yang disediakan untuk meditasi
ini tidak terganggu oleh kesibukan-kesibukan lainnya, agar meditasi
berjalan tanpa gangguan secara mental maupun secara psikis, juga tempat
bermeditasi haruslah bersih dan tidak terganggu oleh suara, bau busuk
dan gangguan nyamuk dan sebagainya.
11. Di tempat yang bersih sebaiknya ia duduk secara tetap,
tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah, tertutup oleh
rumput-rumput kusha, kulit menjangan dan kain, yang satu melapisi yang
lainnya.
12. Di situ, duduk secara
tegak di tempatnya, mengarahkan pikirannya pada suatu titik dan
mengekang pikiran dan indra-indranya, sebaiknya ia berlatih yoga demi
pembersihan jiwanya.
Sang Kreshna secara langsung mengajarkan teknik-teknik bermeditasi:
1)
Carilah suatu tempat bermeditasi yang baik dan bersih dari segala
kotoran, dan juga hal-hal yang kurang baik. Suatu tempat dekat sungai,
di gunung, di pura, di taman bahkan di dalam kamar pribadi yang resik
dan tenang suasananya akan amat bermanfaat untuk bermeditasi, karena
memberikan suasana yang tenteram dan nyaman dalam hati sanubari kita.
2)
Tempat duduk untuk bermeditasi ini boleh dibuat atau terdiri dari batu
yang rata, atau sepotong papan yang rata, atau bantal dan apa saja yang
cukup nyaman sebagai alas duduk. Tetapi harus diusahakan letaknya tidak
terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, karena kalau terlalu tinggi
bisa saja ia terjatuh kalau meditasinya memasuki trans atau tertidur
sewaktu melakukan meditasi ini, dan kalau jatuh bisa-bisa melukai
dirinya secara serius. Juga diusahakan tidak terlalu rendah agar tidak
diganggu oleh serangga yang berbisa, atau nyamuk dan semut. Ini tentu
saja berlaku untuk tempat di alam bebas atau di tempat-tempat yang
banyak serangganya. Di dalam kamar pribadi yang tenang, sebenamya
semuanya dapat diatur dengan baik.
3) Kusha adalah sejenis rumput.
Kusha, kulit menjangan dan kain diperlukan pada zaman dahulu. Kusha
diletakkan terbawah, kemudian di atas dilapisi dengan kulit menjangan,
dan kemudian kain diletakkan teratas. Kalau menggunakan kulit harus
diperhatikan bahwa kulit ini berasal dari seekor binatang yang meninggal
dunia atau mati secara alami dan bukan terbunuh oleh manusia. Semua
ini untuk memberikan rasa nyaman di masa-masa yang lalu. Sekarang ini
dapat disesuaikan dengan keadaan; yang penting sederhana dan jauh dari
keperluan duniawi yang serba luks, dan cukup kalau sudah terasa nyaman
dan baik. (Contoh: kain yang tebal dan hanya selembar pun sebenarnya
sudah cukup.)
4) Pikiran harus tenang dan lepas dari nafsu, ego, dan
keserakahan. Bermeditasi sebenarnya berarti masuk ke dalam keheningan
diri kita sendiri.
13. Tegakkanlah tubuh, kepala, leher, dan pandangan dipusatkan pada ujung hidung, tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri.
14. Tenang
dan tanpa rasa takut, teguh dan jauh dari perasaan seksual
(brahmacharya), dengan mengendalikan diri dan duduk secara harmonis,
pikirannya terpusat padaKu dan mencariKu terus.
Seseorang
yang ingin bermeditasi kepadaNya harus duduk tegak, tanpa bergerak dan
sebisa mungkin meluruskan kepala dan lehernya secara tegak dengan
badannya, dan memusatkan pikirannya seakan-akan memandang ujung
hidungnya. Tanpa menoleh ke manapun juga, tanpa rasa takut dan dengan
hati yang tenang dan stabil; lepas dari segala macam pikiran harus
memusatkan pikiran dan dirinya kepada Yang Maha Esa tanpa
henti-hentinya.la harus lepas dari pikiran seksual pada waktu
bermeditasi. Bahkan untuk seorang yang ingin menjadi bramacharya ada
kriteria-kriteria tertentu yang harus diikutinya, dan kriteria-kriteria
ini telah digariskan oleh Manu (manusia yang pertama di bumi) seperti
berikut ini:
Seorang bramachari (yang menganut ajaran tidak melakukan
hubungan seksual) harus mandi untuk membersihkan dirinya, dan ini harus
dilakukannya sccara konstan. Harus pantang memakai perhiasan dan tidak
ikut-ikutan dansa-dansi dan pertunjukan musik yang penuh dengan
hura-hura. Pantang berjudi dan harus belajar tidur di lantai dan tidak
memandang ke arah wanita. la harus sederhana cara makannya dan tidak
mengenakan baju-baju yang mewah seperti sutra atau kain-kain yang lembut
dan halus yang berkesan mahal, dan selalu harus memuja Yang Maha Esa
dan hormat kepada para resi dan berdedikasi kepada guru-gurunya. la
harus pantang berdebat dan berdiskusi dengan siapa saja atau mencampuri
urusan orang-orang lain. la juga harus selalu berbicara yang jujur dan
tidak menghina siapapun. la harus menganut ajaran ahimsa (tidak merusak
atau membunuh atau melukai siapa dan apapun dengan cara apapun juga). la
harus mengendalikan dirinya sampai lenyap semua rasa nafsu, amarah dan
egonya. la harus menjaga agar spermanya tidak terpancar keluar, dan
sebisa mungkin tidur seorang diri. Sperma yang terjaga baik di dalam
badan seseorang akan menimbulkan sejenis aliran yang misterius di dalam
tubuhnya dan cahaya dari aliran ini akan membuat prana dan pikiran orang
tersebut itu menjadi stabil, dan akibatnya pikiran pun secara otomatis
menjadi terarah dengan baik dan stabil ke arah Yang Maha Esa.
Obyek
dan meditasi (dhyana-yoga) adalah meditasi kepadaNya (Yang Maha
Pengasih) dan bertujuan mencapai kesatuan denganNya. Dalam melakukan
meditasi seseorang harus secara teguh beraspirasi kepadaNya atau
bisa-bisa (sering sekali ini terjadi) pikiran kita terbawa oleh ilusi
yang aneh-aneh dan menyesatkan. Yang penting adalah menyatukan atau
memfokuskan diri pada Sang Atman, "melihat Sang Atman melalui Sang
Atman." Pikiran harus terang, tetapi itu saja tidak cukup. Pikiran juga
harus selalu dipusatkan kepadaNya. Dan pemusatan pikiran ini harus tulus
dan bersih.
15. Sang Yogi ini akan selalu harmonis jiwanya, bersatu
dengan Sang Atman, dengan pikiran yang terkendali, menuju ke Damai - ke
Nirvana atau Berkah Yang Agung yang ada di dalam DiriKu.
Yang disebut
Nirvana, atau Kedamaian, atau Berkah (Kebebasan) ini adalah pemberian
atau karunia dari Yang Maha Esa untuk seorang yogi yang penuh dedikasi
kepadaNya. Tidak ada kesatuan yang dapat dicapai dengan Yang Maha Esa
tanpa ada tekad yang kuat dari sang jiwa itu sendiri, dan Yang Maha
Kuasa akan datang menolong mereka yang mencariNya dan membawa mereka ke
arah Nirvana ini (kedamaian yang suci). Maka seyogyanyalah seseorang
terus menerus berusaha dengan kepasrahan total kepadaNya dan dengan
penuh disiplin dan dedikasi ke arahNya. Dan berkahNya akan turun dan
menyatukan diri kita dengan DiriNya, dan kesatuan atau persatuan inilah
yang disebut moksha (pembebasan).
16. Yoga ini
sebenarnya bukan untuk seseorang yang makan terlalu banyak, dan juga
bukan untuk seseorang yang terlalu menghindari makanan. Yoga ini pun
bukan untuk seseorang yang tidur terlalu banyak atau yang tidak terlalu
banyak tidur, oh Arjuna!
17. Yoga
ini menghapuskan semua penderitaan seseorang yang berimbang (temperamen)
dalam cara ia makan dan berekreasi, yang terkendali
tindakan-tindakannya dan teratur bangun-tidurnya.
Seseorang
yang mempunyai kebiasaan bermeditasi harus ingat bahwa ia harus hidup
secara teratur dan seimbang dalam segala tindak-tanduknya sehari-hari.
Adalah salah kalau ia makan terlalu banyak, karena bukannya ia akan
makin kuat karenanya tetapi malahan fungsi pernafasannya dalam meditasi
akan menjadi kacau, dan bagi seorang bramacharya kelebihan gizi malahan
akan merusak semua usahanya untuk mengekang hasrat-hasrat seksualnya.
Terlalu banyak makan dan (atau) kekurangan makan selalu akan
menghasilkan kekacauan dalam fungsi-fungsi tubuh kita dan hilanglah
keharmonisan dalam raga dan usaha spiritual kita. Semua yang kita
lakukan sebaiknya tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit,
cukup-cukup sajalah, yang wajar-wajar dan tidak melebihi porsi maupun
menguranginya secara drastis. Ini namanya harmonis dalam segala-galanya.
Makanan
yang dimakan pun sebaiknya yang sesuai dengan kebutuhan tubuh kita dan
cocok dengan pencernaan setiap individu secara masing-masing, tidak ada
yang boleh dipaksakan ataupun memakan makanan yang sebenarnya tidak
perlu untuk tubuh kita. Juga secara mental dan spiritual harus
diperhatikan dengan amat sangat agar tidak memakan sesuatu hasil dari
perbuatan tidak baik atau negatif, seperti hasil dari korupsi atau uang
haram lainnya, tetapi betul-betul harus hasil keringat yang halal dan
suci.
Puasa yang amat berkepanjangan harus dicegah, puasa itu perlu
tetapi harus teratur dan tidak merusak tubuh kita, puasa yang teratur
akan meningkatkan vitalitas dan tingkat spiritual jiwa dan raga kita.
Begitupun dengan rekreasi, ini pun penting untuk kita asal yang sehat
dan teratur, untuk pikiran, mental dan raga kita agar segar dan penuh
dengan dinamika yang sehat. Rekreasi dalam bentuk olah-raga, perjalanan
ke alam bebas seperti ke hutan, gunung, ke sungai dan lain sebagainya
ini amat menyehatkan dan sangat menyegarkan tubuh dan pikiran kita,
tetapi semua ini harus dilakukan secara teratur dan konstan, sehingga
tidak merugikan diri kita maupun lingkungan kita dalam arti yang
seluas-luasnya.
Cara-cara kehidupan lainnya seperti berdagang,
bekerja, berdoa, memuja Yang Maha Esa, berbuat amal, menolong yang harus
ditolong, menghormati orang-tua dan yang pantas dihormati, dan lain
sebagainya harus dilakukan dalam batas-batas kewajaran dan tidak
berlebih-lebihan. Bangun-tidur pun harus diatur yang seimbang, tidur
sebaiknya cukup enam jam saja, tetapi dapat disesuaikan dengan kebutuhan
dan usia seseorang. Seorang yang ingin tekun bermeditasi harus selalu
jalan ditengah-tengah, maksudnya penuh disiplin dan seimbang dalam
segala perbuatannya. Setiap aksi atau perbuatannya sebaiknya tidak
berlebihan, terkendali dan wajar-wajar saja. Tidak usah terburu tetapi
juga tidak lambat. la selalu stabil dan berimbang baik dalam
bertutur-kata maupun dalam setiap pekerjaannya. la dengan demikian
secara lambat laun akan bebas dari segala penderitaan yang diakibatkan
oleh perbuatannya sendiri yang terlalu banyak atau yang terlalu sedikit,
dan juga oleh akibat-akibat dari perbuatan itu sendiri seperti rasa
kurang puas, marah, kesukaran, ketakutan, keresahan dan banyak lainnya.
18. Sewaktu
pikiran yang penuh disiplin dipusatkan pada Jati DiriNya (Sang Atman)
sendiri (dan tidak pada hal-hal yang lainnya), bebas dari semua nafsu,
maka disebutlah orang ini harmonis dalam yoganya.
Inilah intisari
dari meditasi, seseorang yang menyerahkan dirinya secara total atau
penuh kepada Sang Atman, maka ia akan mengenal Sang Atman secara lebih
jelas, dan seperti yang kita ketahui dari Bhagavat Gita maka Sang Atman
yang bersemayam di dalam diri kita ini merupakan saksi dari setiap
tindakan kita, bahkan dari pikiran dan pancaindera kita sendiri. la
mengetahui semua kejujuran, kepalsuan dan kemunafikan kita, tidak ada
yang terhindar dari penglihatanNya, maka dikatakan kalau kita bebas dari
segala nafsu-nafsu kita, rnaka Sang Atman akan nampak lebih jelas dan
terasa semua instruksi dan nasehat-nasehatnya untuk kita. Maka disebut,
seseorang yang disiplin dengan meditasinya, dan puas dengan dirinya
sendiri, dan pikirannya tidak menerawang pada obyek-obyek indranya yang
terdapat di luar dirinya sendiri, maka sekali ia mencapai kestabilan
harmonislah meditasi atau yoganya.
19. Seperti pelita yang terletak
di suatu tempat yang tak berangin, tidak berkedip, begitulah juga
seorang yogi yang telah mengendalikan pikirannya, bersatu dengan Sang
Atman, Sang Jati Dirinya Sendiri.
Lampu pelita tidak mungkin dapat
bertahan dari terjangan angin kalau diletakkan di tempat yang bertiup
banyak angin (atau tempat yang terbuka), begitupun pikiran dan hati kita
tak akan mungkin stabil kalau setiap saat selalu diterjang oleh
angin-angin nafsu dan pikiran kita. Maka sebaiknya pelita ini diletakkan
jauh dari nafsu-nafsu ini agar tidak terganggu pancaran cahayanya.
Seseorang yang ingin mantap dan stabil meditasinya harus menjauhi
obyek-obyek nafsunya, dan mengendalikan dirinya sesuai dengan
keburuhan-kebutuhannya yang cukup saja, tidak lebih dan tidak kurang;
jangan mengumbar-umbar nafsu tanpa kendali dan hilang ditelan oleh
gelombang-gelombang nafsu ini, yang sifatnya amat dahsyat dan
menyesatkan, dan menggelapkan pikiran dan jiwa kita. Bangkitlah ke
tingkat intelektual (buddhi) kita dan tinggalkan tingkat yang rendah di
mana ego dan nafsu kita meraja-lela tanpa kendali. Dan sekali kita
bekeija dengan intelektual kita yang penuh dengan 'rasio,' maka meditasi
kita akan stabil dan tercapailah persatuan dengan Sang Atman.
20. Sewaktu
pikiran yang terkendali oleh upaya-upaya konsentrasi menjadi stabil,
sewaktu seseorang melihat (sadar akan) Dirinya oleh dirinya dan merasa
bahagia dengan Dirinya;
21. Sewaktu ia menemukan kebahagiaan Nan Agung (tak ada
taranya)----kebahagiaan yang dapat terjangkau oleh buddhi (intelektual)
tetapi jauh dari indra-indra sekali tercapai tahap ini, maka seseorang
tak akan pergi jauh dari kebenaran ini.
22. Dan setelah mendapatkan
sesuatu yang begitu besar labanya itu, ia berpikir tak ada hal-hal lain
yang lebih menguntungkan dari hal tersebut, dan sekali ia merasa mantap,
ia tak tergoyahkan oleh kepedihan yang amat sangat sekalipun.
23. Dan
hal itu disebut yoga, yang memutuskan hubungan dengan kedukaan
(penderitaan). Yoga ini harus ditekuni sepenuh hati dan tanpa
henti-hentinya (dengan hati yang tak tergoyahkan).
Melalui meditasi
yang berkesinambungan, pikiran akhirnya akan dapat dikendalikan dan
teguh tertanam dalam hadirat Yang Maha Esa semata. Sang yogi yang sudah
mencapai tahap seperti ini kemudian tinggal di dunia ini tanpa
terpengaruh oleh hal-hal duniawi untuk selama-lamanya. Yang dimilikinya
hanyalah satu, yaitu kebahagiaan yang sadar akan ke Maha EsaanNya. Ia
tak memerlukan bentuk-bentuk kebahagiaan duniawi lainnya, baginya Yang
Maha Esa adalah semuanya. Kebahagian semacam ini sukar dan tak dapat
diterangkan atau berada di luar jangkauan indra-indra kita, karena hanya
dapat dihubungkan oleh buddhi kita yang telah bersih dan jernih, dan
sifatnya ini amat abadi, suci, nyata, dan agung.
Seorang yogi yang
telah mencapai kebahagiaan ini akan berpikir bahwa tidak ada keuntungan
atau laba yang lebih tinggi nilainya daripada kebahagiaan ini di dunia.
Baginya semua bentuk kekayaan duniawi seperti harta, kedudukan,
kekuasaan, kehormatan, kebanggaan atau keterkenalan dan lain sebagainya
adalah bersifat hanya sementara saja, jauh, tak menentu dan sia-sia saja
untuk dipertahankan atau dianggap milik pribadi. Bahkan kebahagiaan di
svarga-loka pun dianggapnya tidak ada gunanya sama sekali. Dalam keadaan
menderita sekalipun ia tegar seakan batu-karang. Badannya boleh hancur
tetapi jiwanya tak tergoyahkan. Halilintar, panas, hujan dan dingin
boleh menyentuh dan merusak raganya, tetapi jiwanya tak akan tersentuh
sedikitpun. Kehinaan dan penderitaan bisa saja menyerang dirinya tetapi
jiwanya tak akan terganggu atau terusik, rasa damai di dalam jiwanya
akan berjalan terus, karena yogi ini telah bangkit jauh dari tubuhnya,
dari raga duniawinya. Di dunia ini ia dianggap memiliki raga, tetapi
sebenamya bagi ia sendiri raga itu telah mati dan bersifat spiritual
karena digunakannya untuk tujuan-tujuan bersatu denganNya. Tak ada
seorangpun atau kekuatan apapun yang dapat mendominasinya, karena ia
telah tegar di dalam Yang Maha Esa dan bekerja di dunia ini dalam
kehidupan yang bersifat abadi, yaitu semata-mata untuk Yang Maha Esa.
Keadaan
semacam ini --- yang disebut kebebasan dari semua penderitaan adalah
yoga yang sejati, yang merupakan kesadaran akan Yang Maha Kuasa secara
nyata. Tetapi kondisi yoga semacam ini tidak mudah dicapai, harus
dilalui dengan praktek-praktek nyata yang tegar dan tanpa mudah putus
asa, atau dengan kata lain tanpa henti-hentinya. Seorang pemula biasanya
selalu patah-semangat kalau tidak langsung melihat hasil meditasinya,
dan setelah beberapa hari, beberapa minggu, atau pun beberapa bulan yang
penuh meditasi dan disiplin yang ketat ia tak melihat sesuatu hasil,
maka ia akan ragu-ragu dan mulai berpikir: "Derita disiplin ini sudah
terlalu banyak bagiku, tak kulihat suatu akhir (hasil) dari
usaha-usahaku ini. Aku jadi ragu apakah disiplin ini akan menghasilkan
sesuatu?" Dan bisa saja pemula itu patah semangat di tengah jalan. Maka
sebaiknyalah meditasi dan disiplin yang ketat dihayati, diyakini dan
dicintai, dan jangan sekali-kali ada perasaan kalah untuk seorang
pemula, sebab jalannya memang panjang dan harus selalu yakin akan
petuah-petuah gurunya bahwa akhir jalan memang menghasilkan sesuatu yang
menakjubkan. Untuk itu buktinya adalah sang guru atau orang-orang suci
lainnya. Suatu hari lambat atau cepat ia pasti akan mencapai tujuannya,
yaitu Yang Maha Esa.
24. Menanggalkan semua nafsu
(keinginan-keinginan) yang lahir dari sankalpa (tekad atau imajinasi
yang penuh dengan keserakahan), mengendalikan semua indra-indranya dari
semua segi dengan pikirannya;
25. Sedikit demi sedikit, ia mencapai
ketenangan dengan bantuan buddhinya yang dikendalikan oleh ketegarannya
dan memusatkan pikirannya pada Jati Dirinya, janganlah ia berpikiran
hal-hal yang lainnya.
Dalam dua sloka di atas terlihat intisari ajaran Sang Kreshna mengenai Sadhana (disiplin) untuk yoga ini:
a.
Menanggalkan semua bentuk nafsu dan keinginan, karena semua ini lahir
dari sankalpa dan membuat atau pikiran tidak tenang. Dengan menanggalkan
nafsu-nafsu ini, kita diajak untuk bertenang-diri.
b. Pengendalian
atau penghentian keinginan-keinginan indra adalah tahap yang berikutnya.
Dengan tekad kita, maka pikiran kita harus dicoba untuk menguasai
indra-indra kita dari setiap sisi dan sudut.
c. Dan setelah
gelombang-gelombang nafsu atau keinginan kita sudah mereda, maka dengan
bantuan buddhi kendalikan lagi gelombang-gelombang ini dengan ketegaran
intelektual kita. Dengan kata lain belajar untuk menghilangkan rasa
takut. Karena mereka yang telah berhasil mengendalikan indra-indra
mereka akan diserang oleh rasa takut seperti "pikiranku terkendali,
dapatkah aku berpikir dengan baik sekarang?"; "indra-indraku terkendali,
dapat kah aku bekerja atau berfungsi dengan baik?"; dan lain
sebagainya. Semua rasa takut itu akan hilang kalau seorang guru yang
baik dan bijaksana ada di sisi anda dan selalu memberikan semangat,
wejangan dan berkahnya tanpa bosan-bosannya. Dan di atas semua guru-guru
di dunia ini siapa lagi yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui kalau
bukan Sang Atman, Sang Adhi Guru sendiri yang bersemayam dalam diri kita
ini.
d. Pikiran kita (mana) harus selalu bersandar pada Sang Atman.
Jangan lupa bahwa obyek meditasi adalah Yang Maha Esa, dan sekali duduk
bermeditasi kendalikan pikiran-pikiran yang selalu terbang ke
obyek-obyek yang lain. Tariklah pikiran yang lari ini ke obyek utama
yang semula, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Caranya jadikanlah pikiran itu
bersifat menerima dengan sadar kehadiran Yang Maha Esa dalam segala
aspek kehidupan kita, dan disiplin ini penting sekali untuk tujuan
spiritual. Sekalipun telah tercapai stabilitas dalam pikiran kita bisa
saja, pikiran ini melayang lagi ke arah yang lainnya, jadi selalulah
berlatih tanpa bosan dan henti, dan dedikasi dan iman yang kuat.
Kuasailah sang pikiran ini dan bawalah ia kembali ke jalan Yang Maha
Esa, inilah seninya meditasi.
e. Seorang yogi harus bertindak seperti
seorang polisi, dan sang pikiran diibaratkan seperti seorang pelarian.
Maka, pekerjaan seorang polisi haruslah selalu mengejar para pelarian
ini dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar, dan sudah tugas
seorang polisi untuk dengan tanpa bosan-bosannya bekerja seumur hidup
menangkap para pelarian ini. Ketekunan semacam ini disebut abhyasa dan
merupakan suatu tindakan yang amat positif dalam meditasi. Tangkaplah
selalu pikiran-pikiranmu dan giringlah mereka ini ke jalan yang satu
itu, yaitu jalan ke Jati Diri kita sendiri (Sang Atman). Dengan kata
lain abhyasa berarti, "giringlah kembali pikiran itu dari
pengembaraannya dan tunjukkanlah jalan ke Sang Atman."
Abhyasa ini
seharusnya dilakukan setiap hari, dan bukan soal satu atau dua jam
meditasi yang penting saja, tetapi kesadaran dan pengendalian diri yang
dicapai dalam meditasi ini seharusnya terlaksana juga sepanjang hari
dalam segala tindak-tanduk kita seharian itu, bahkan pada waktu tidur
sekalipun. Jagalah baik-baik dan kendalikan diri dan pikiran kita,
sehari-hari sama seperti waktu kita mengendalikan pikiran kita sewaktu
bermeditasi. Jangan sampai kontrol diri kita lepas, karena lima menit
saja kita marah atau kehilangan kesabaran karena sesuatu hal, maka
sia-sialah satu atau dua jam meditasi kita. Jadi siaga dan siaplah
selalu; dengan penuh ketekunan dan dedikasi sadarlah bahwa meditasi itu
ibarat sebuah gunung yang tinggi dan penuh dengan tanjakan dan
halangan-halangan yang berat dan ibarat sebuah pendakian maka jalan itu
masih jauh dan puncaknya sukar untuk ditaklukkan. Tetapi seseorang yang
penuh dengan dedikasi dan iman pasti akan mencapainya, karena hukum alam
(kosmos) akan berlaku di dalam dunia spiritual ini, yang selalu
mendorong usaha seseorang ke tujuanNya, sekali hal itu telah ditetapkan
oleh yang bersangkutan. Tak ada usaha yang sia-sia kalau dilakukan demi
Yang Maha Kuasa, percayalah dan yakinlah akan hal ini! Yang diperlukan
adalah kesabaran yang penuh dengan iman dan dedikasi!
26. Semakin
sering pikiran yang tidak stabil dan gemar mengembara ini lari jauh,
semakin sering jugalah seseorang seharusnya menahan dan menariknya
kembali ke arah Jati Dirinya (Sang Atman).
Tentu saja usaha menarik
kembali pikiran kita yang gemar lari kesana-kemari mencari obyek-obyek
indranya adalah usaha yang amat sulit dan memerlukan tekad yang amat
kuat. Sering sekali seseorang merasa amat letih dan sia-sia saja dan
febih baik menyerah saja. Dan sedikit saja kita lengah dan kalah sang
pikiran ini sudah mengatur siasat baru dan bingunglah orang yang sedang
berusaha ini. Dan pada saat itulah kita harus berteriak minta tolong
pada Sang Adhi Guru, Sang Atman agar dikaruniakan rahmat dan karuniaNya,
dan dengan jalan ini seseorang ini akan kembali lagi ke arah
dhyana-yoga.
27. Kebahagiaan yang tertinggi (suci dan agung) datang
pada seorang yogi yang pikirannya damai, yang nafsu-nafsunya tenang, dan
yang telah lepas dari dosa dan telah bersatu dengan Yang Maha Esa.
28. Yogi
semacam ini, yang selalu harmonis dengan dirinya, telah menjauhi dosa,
dengan mudah ia merasakan Rahmat dan Karunia abadi yang dihasilkan oleh
hubungannya dengan llahi (Yang Maha Abadi).
Berbahagialah seorang
yogi yang telah mencapai tahap ini, setelah bergulat dengan hidup ini
selama bertahun-tahun, bahkan mungkin melalui berbagai kehidupan di
masa-masa yang silam, kemudian ia menyatu dengan Yang Maha Esa pada
suatu hari; dan Bhagavat Gita menyebut hal ini dengan nama
brahma-samsparsham, yaitu kontak dengan llahi. Baginya Tuhan itu bukan
suatu hal yang tak nampak dan abstrak, tetapi baginya tuhan itu adalah
suatu kontak yang nyata dan itu berarti sang yogi telah sampai ke suatu
titik di mana waktu sudah tidak berarti lagi. Sinar llahi telah mekar di
dalam dirinya, dan jiwanya telah menyatu dengan kenikmatan llahi yang
tiada taranya. Di dalam agama Islam salah satu nama Yang Maha Kuasa
adalah Azh Zhaahir (Yang Maha Nyata), di dalam keterangan di bawah nama
tersebut kami temukan catatan seperti berikut: "Allah SWT Nyata
Kebenaran, Perbuatan dan Ada-Nya bagi orang-orang yang berakal yang mau
merenungkan ciptaan-ciptaanNya."
29. Dirinya telah harmonis dalam
yoga, ia melihat satu Jati Diri bersemayam dalam semua makhluk dan semua
makhluk dalam satu Jati Diri, di mana pun ia melihat yang sama (Satu
Jati Diri yang ada dan hadir semenjak masa silam).
Ada tiga faktor utama dalam evolusi manusia yang sedang menuju ke arah jalan spiritual:
a.
Sewaktu seseorang mulai berhasrat memasuki hal-hal kebatinan dan mulai
menyelami dirinya sendiri. Dan setelah beberapa waktu kemudian ia sadar
akan hadirnya Sang Atman yang berdiri dan abadi sifatnya.
b. Dalam
tahap kedua ini orang tersebut sadar bahwa Sang Atman tidak saja hadir
dalam dirinya sendiri, tetapi juga bersemayam secara sama rata pada
makhluk-makhluk lainnya sama halnya seperti dalam dirinya sendiri.
Dengan kata lain ia sadar bahwa Sang Atman (Yang Maha Esa atau Sang
Kreshna) hadir di mana saja dan kapan saja.
c. Seperti disebut di
sloka 29 di atas, maka orang ini sadar bahwa Yang Maha Esa itu adalah
Inti dari setiap makhluk dan benda di alam semesta ini. Dengan kata lain
Yang Maha Esa (Sang Atman dalam hal ini) hadir dalam setiap jiwa dan
benda dan semua itu sebaliknya juga hadir dan ada di dalam Yang Maha
Esa.
Tahap kesadaran ini kalau dicapai seseorang secara benar dan
tulus, maka ibaratnya adalah seperti baru saja sadar dari suatu mimpi.
la tiba-tiba sadar bahwa matahari, rembulan, planet bumi,
bintang-bintang, siang dan malam, waktu, langit, udara, indra-indra,
buddhi, dan lain sebagainya, hanyalah hasil pekerjaan Yang Maha
Pencipta. Hanya ialah satu-satuNya Yang Menguasai dan Mengendalikan
semua ini sesuai kehendakNya, dariNya dan untukNya semata.
Seseorang
yang telah sadar ini akan selalu mendoakan kesejahteraan orang lain dan
ia selalu berhasrat untuk membahagiakan orang lain seperti kebahagiaan
yang ia dapatkan dari Yang Maha Kuasa untuk dirinya sendiri. Seorang
yang berorientasi pada hal-hal keduniawian selalu memuaskan
indra-indranya. Berbeda dengan ini, maka seseorang yang telah mencapai
samadhrishti (kesadaran) ini sadar bahwa kebahagiaannya tak mungkin
tercapai dengan penderitaan pada orang lain.
Tetapi mengapa ajaran
Bhagavat Gita yang sederhana ini sukar untuk diikuti atau dipraktekkan?
Karena umumnya kita manusia selalu menganut prinsip bahwa "semua ini
milikku," dan tak mau menganut prinsip bahwa "semua ini bukan milikku"
dan bahwa "Satu adalah semua ini dan semua ini adalah Satu." Dengan
membeda-bedakan antara "milikku" dan "milik orang lain," maka Arjuna pun
masuk dan terhunjam ke . depresi yang maha dahsyat, begitupun kita
manusia ini dalam hidup kita sehari-hari. Dan selama hidup kita masih
terombang-arnbing tanpa kendali, selama itu pula manusia akan merupakan
sumber tragedi bagi dirinya sendiri dan juga lingkungannya. Dan untuk
menyembuhkan penyakit ini Bhagavat Gita mengajarkan "kekanglah
pikiranmu, kendalikanlah pikiranmu, stabilkanlah pikiranmu, pusatkanlah
pikiranmu pada Sang Atman! Sadarlah dan lihatlah Sang Atman yang hadir
pada setiap makhluk!" Obat dari penyakit manusia ini di mana saja adalah
sama, yaitu samadrishti (kesadaran).
30. Seseorang yang melihatKu di
mana pun juga dan melihat setiap hal dalam DiriKu, maka orang itu tak
pernah hilang dari DiriKu dan Aku tak pernah hilang darinya.
Bagi
seorang yang telah sadar, setiap makhluk baginya adalah baju atau
manifestasi yang beraneka-ragam dari Yang Maha Esa itu sendiri. Semuanya
di alam semesta ini tanpa kecuali adalah la dan kebesaranNya semata.
Sang yogi ini tak sekejappun akan kehilangan kontak dengan DiriNya, ia
selalu dituntun olehNya. Yang Maha Kuasa tak akan hilang sekejapun dari
pandangan, perasaan, pikiran Sang Yogi ini. la adalah selalu hadir di
dalam dirinya setiap saat, setiap detik. Begitulah besar kasih-sayang
Tuhan kepada diri kita ini sebenarnya, dan semua kebutuhan kita
dicukupiNya dengan caraNya sendiri, tanpa perlu kita memintanya lagi.
31. Seorang yogi yang telah tercipta kesatuannya, memujaKu sebagai yang
berada dalam setiap ciptaan, ia hidup di dalamKu, betapapun aktifnya ia
(bekerja).
Di manapun ia berada dan apapun jenis pekerjaannya, sang
yogi ini telah bersatu dengan Yang Maha Esa dalam segala
tindak-tanduknya. Apapun yang nampak dari luar tentang diri dan
pekerjaan maupun kesibukannya tidaklah penting, yang terutama adalah
kesatuan yang telah terjalin antara orang ini dengan Sang Penciptanya.
Di dalam dirinya telah tumbuh kasih sayang Ilahi yang tanpa batas. Musuh
boleh menghina dan menghujam dirinya, sahabat boleh menyanjung dan
tersenyum kepadanya, tetapi baginya semua itu adalah tidak lain dan
tidak bukan variasi-variasi dari Sang Pencipta yang bersemayam dalam
semua bentuk-bentuk ciptaanNya sendiri. la melihatNya di mana-mana tanpa
kecuali, dan tanpa diskriminasi. Bagi yogi semacam ini pemujaan kepada
Yang Maha Esa bukan dalam bentuk upacara-upacara atau mantra-mantra
suci, tetapi pengorbanan yang tulus dan suci demi dan untuk Yang Maha
Esa semata-mata adalah dengan bekerja tanpa pamrih.
32. Seorang yogi
yang sempurna adalah seseorang yang melihat dengan pandangan yang sama
semua benda dan makhluk, seperti terhadap dirinya sendiri, baik dalam
suka dan duka. (Contoh: suka dan dukanya makhluk lain juga terasa
olehnya sebagai suka dan dukanya).
Seorang yang telah mencapai
tingkat tertinggi selalu akan sedih dan senang setiap ia menjumpai
kesedihan atau kesenangan orang lain, bahkan makhluk lain sekalipun,
karena ia merasa sebagai satu kesatuan dengan alam semesta ini beserta
segala isinya. Dan bagaimana mungkin orang semacam ini melukai atau
membunuh tubuh makhluk lain, toh ia merasakan semua suka dan duka
makhluk lainnya; ia merasakan persaudaraan universal di antara sesama
makhluk ciptaan Yang Maha Esa.
Berkatalah Arjuna:
33. Yoga untuk
menenangkan pikiran yang telah Dikau terangkan ini, oh Kreshna, di
dalamnya tak terlihat fondasi yang stabil, karena pikiran itu penuh
dengan keresahan (dan tak menentu).
34. Karena pikiran itu sangat
mudah berubah-ubah, oh Kreshna! Pikiran itu liar, kuat dan
keras-kepala. Kukira pikiran itu sukar dikendalikan ibarat mengendalikan
angin.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
35. Tentu saja, oh Arjuna,
pikiran itu sukar untuk dikendalikan dan memang pikiran itu resah
sifatnya. Tetapi dengan usaha yang terus-menerus (abhyasa) dan dengan
menjauhi godaan-godaan (vairagya) maka pikiran itu dapat dikendalikan.
Abhyasa,
yaitu secara tekun dan terus-menerus berusaha mengendalikan pikiran ke
arah yang positif dan tidak ikut-ikutan dengan pikiran-pikiran negatif
yang selalu berusaha secara licik menjerumuskan kita ke arah yang lain.
Abhyasa juga berarti secara berulang-ulang menguatkan diri dengan
membaca mantra-mantra suci, mendengarkan dan bergaul dengan para
rohaniwan dan orang-orang suci seperti para guru, pendeta, resi dan
sebagainya. Juga berarti untuk selalu mempelajari buku-buku dan hal-hal
yang bersifat rohani, selalu berdoa dengan tulus dan memanggil namaNya
dengan hati yang bersih dan tanpa pamrih sehingga air-mata kita turun
tanpa terasa.
Vairagya, melepaskan ikatan-ikatan kita dengan nafsu,
indra dan sifat-sifat duniawi kita yang selalu berada dalam cengkeraman
sang prakriti dan guna. Dengan selalu melakukan abhyasa secara tekun,
maka secara tahap demi tahap segala godaan akan teratasi dan seseorang
akan sadar bahwa hal-hal duniawi ini hanya sementara saja sifatnya dan
merupakan pentas penderitaan yang tak kunjung habis-habisnya.
36. Yoga
ini sukar tercapai oleh ia yang tak dapat mengendalikan dirinya. Tetapi
seseorang yang berjuang dengan jalan yang benar dan penuh kendali diri
akan mencapainya. Itulah keputusan Ku.
Yang Maha Pengasih, Sang
Kreshna menegaskan di sini bahwa walaupun yoga ini sukar untuk dicapai
oleh mereka yang dirinya kurang disiplin, tetapi bagi yang mampu
mengendalikan dirinya dengan baik, maka jalan ini tidaklah sukar, dan
itu sudah menjadi keputusanNya yang tidak dapat diganggu-gugat lagi.
Ada
beberapa cara sadhana (metode-metode disiplin) lagi yang harus diikuti
oleh mereka yang telah belajar mengendalikan diri mereka, seperti
berikut ini:
a. Lepaskanlah atau jauhilah semua obyek-obyek kesenangan duniawi, lepaskan juga keinginan-keinginan untuk obyek-obyek ini.
b. Pusatkan pikiranmu selalu ke arah Yang Maha Esa.
c.
Yakinlah bahwa hanya Satu Tuhan yang memenuhi kita dan alam semesta ini
beserta seluruh isinya. Yakinilah bahwa jiwa kita, semua benda dan
makhluk di alam semesta ini tersambung dalam satu untaian kesatuan Ilahi
yang nyata.
d. Selalu menyadarkan diri bahwa setiap tindakan diri
kita, atau aktivitas pikiran dan indra-indra kita adalah bukan perbuatan
Diri kita, tetapi diri kita yang dilakukan oleh guna (sifat-sifat
alami), Diri kita sendiri bertindak sebagai saksi.
e. Tanamkanlah
pada diri kita bahwa semua tindakan pikiran dan obyek sifatnya hanya
sementara dan selalu tidak abadi. Yang Abadi hanya Yang Maha Esa dan la
bersemayam dalam diri kita sendiri. Yesus pernah berkata, "Kerajaan
Sorga itu ada di dalam dirimu."
f. Pilihlah salah satu manifestasi
Yang Maha Kuasa dan berkonsentrasilah dengan penuh kepadaNya secara
mental. Bagi seorang Hindu misalnya pada Sang Kreshna atau Sang Rama
atau pada Shiva, Vishnu, Ganesha dan sebagainya. Bagi yang beragama
Buddha pada Sang Buddha, dan bagi yang menganut agama lain masing-masing
pada obyek yang seharusnya diperbolehkan oleh agama-agama tersebut,
Kemudian selalulah berpikir bahwa Yang Maha Kuasa dalam manifestasi yang
dipilih ini, selalu hadir sifatNya. Hormatilah la dan pujalah la dengan
cara kita masing-masing sesuai dengan aturan dan hati nurani. Bagi
seorang Hindu misalnya memuja dengan mempersembahkan secara tulus
kasih-sayang kepada sesamanya, mempersembahkan sekuntum bunga atau
sehelai daun, atau apa saja yang tulus dan bermanfaat bagi sesamanya dan
Yang Maha Esa dalam tindak-tanduk setiap hari.
g. Adalah perlu
dihayati bahwa semua tindakan ini selalu harus bersifat tulus dan murni,
dan selalu menjadi kebiasaan dan kenyataan dafam kehidupan kita
sehari-hari, dan tanpa pamrih. Jangan sekali-kali melakukannya demi
kepentingan pribadi sekecil apapun kepentingan itu. Dalam setiap sukses
maupun kegagalan selalulah bersifat tenang tanpa terusik jiwanya, dan
selalulah berpedoman bahwa kita ini hanya alat belaka ditanganNya dan
setiap tindakan dan pengorbanan kepada semuanya adalah atas kehendakNya
sesuai dengan yang la kehendaki!
Berkatalah Arjuna:
37. Seseorang
yang dirinya tak dapat dikendalikan, tetapi memiliki shraddha
(kepercayaan), yang pikirannya pergi jauh dari yoga dan tak dapat
mencapai kesempurnaan yoganya, ke arah manakah ia akan pergi, oh
Kreshna?
Pertanyaan Arjuna ini singkat tetapi sangat bermakna.
Bukankah itu sebenarnya masalah kita semua juga, yang sering penuh
dengan kepercayaan pada Yang Maha Kuasa, tetapi sering tindak-tanduk
kita tak sehat dan tidak terkendali, dan ini berlangsung sampai kita
mati suatu saat. Sering pikiran kita menerawang ke soal-soal duniawi
tanpa kendali padahal pada waktu yang bersamaan kita yakin akan
kekuasaan Yang Maha Esa. Lalu ke mana ia akan pergi, kalau ia mati dalam
perjalanan hidupnya, padahal keyakinanNya pada Yang Maha Esa belum
sempuma dan ia masih jauh dari kebijaksanaan spiritual? Bagaimana
nasibnya selanjutnya? Pertanyaan-pertanyaan ini amat menarik untuk
dipelajari!
38. Bukankah ia lalu binasa ibarat segumpalan awan yang
terpecah-pecah, oh Kreshna, kehilangan kedua-duanya, tidak tegar dan
kacau jalannya dari Yang Maha Esa.
39. Oh Kreshna, hilangkanlah
secara tuntas keragu-raguanku ini, karena tiada seorangpun yang dapat
kucari selain Dikau, yang dapat menghancurkan keragu-raguan ini.
"Kehilangan
kedua-duanya" --- yang dimaksud Arjuna, bukankah orang semacam itu akan
kehilangan dua kesempatan yang amat baik, yaitu kehidupan ini dan
kemudian juga kehidupan yang abadi, yaitu kesatuan dengan Yang Maha Esa.
Pertanyaan Arjuna amat wajar dan merupakan pertanyaan kita semua.
Bagaimana nasib seseorang yang sedang berusaha ke arahNya, dan belum
apa-apa sudah mati di tengah jalan, karena memang pendek umurnya atau
karena musibah-musibah tertentu. Bukan kah ia lalu ibarat segumpalan
awan yang terpecah-pecah tertiup angin, lalu bagaimana nasib selanjutnya
dari orang ini? Contoh lain seseorang selama ini ia merasa bekerja
tanpa pamrih demi Yang Maha Esa, tetapi pada saat-saat kematiannya
karena sesuatu dan lain hal maka ia menjadi lemah mentalnya dan terikat
pada ikatan-ikatan duniawinya, apakah yang akan terjadi padanya?
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
40. Oh
Arjuna, orang semacam itu tak akan hancur baik di dalam hidup ini
maupun di dalam kehidupan yang akan datang; karena seseorang yang
bekerja demi kebenaran tak akan mengarah ke jalan penderitaan.
Sang
Kreshna menegaskan bahwa seseorang yoga-bhrista (yang mengamalkan yoga
atau yang belajar yoga ini) tak akan pernah menuju ke arah yang salah
(jalan penderitaan) selama ia bekerja demi dharma (kebenaran demi Yang
Maha Esa). Jadi janganlah khawatir karena Yang Maha Esa itu bukanlah
seorang tiran, sebaliknya Ia adalah Maha Pengasih dan Penyayang, dan la
selalu tahu akan kelemahan-kelemahan manusia yang la ciptakan ini;
selamanya la akan selalu mengarahkan kita ke arah benar. Inilah salah
satu inti ajaran Bhagavat Gita yang amat penting bahwa Yang Maha Esa
tidak pernah membiarkan pemujaNya atau ciptaan-ciptaanNya terjerumus ke
lembah dosa secara terus-menerus dan selalu mendorong kita semua dan
para makhluk-makhluk lainnya ke arahNya Sendiri. Pesan-pesan Bhagavat
Gita adalah pesan-pesan yang penuh dengan harapan dan cinta-kasih antara
Yang Maha Esa dan kita semuanya. Langkah demi langkah, tetapi pasti
seseorang aka diangkatnya dari dosa dan dituntun ke arahNya, jadi selalu
berimanlah kepadaNya di kala suka dan duka, selalu bekerja demi Yang
Maha Esa dalam segala aspek kehidupan kita. Bergaullah selalu dengan
orang-orang yang dianggap suci agar selalu mendapatkan petunjuk-petunjuk
ke arahNya. Penting sekali untuk tidak melupakan kehadiranNya setiap
saat dalam kehidupan kita.
Apapun cobaan-cobaan yang kita hadapi,
kegagalan-kegagalan yang kita rasakan dan jatuh-bangun yang kita alami,
jangan sekali-kali kita lupa bahwa yang kita tuju adalah persatuan
dengan Yang Maha Esa. Sering sekali terjadi dalam segala kebenaran dan
kebaikan yang kita lakukan, bahkan sesudah memujaNya dengan sepenuh
hati, dan sudah bergaul dengan orang-orang yang suci, toh ada saja
dosa-dosa yang kita lakukan dengan atau tanpa sadar. Janganlah lalu
ragu-ragu akan dirimu pada saat-saat ini, tapi bangkitlah lagi dan
mohonlah kepadaNya untuk menuntun kita lagi. Ia pasti akan menuntun kita
ke arah yang benar. Langkah demi langkah kita akan menjadi bersih
sesuai dengan kehendakNya. Selama kita berusaha keras untuk
membersihkan diri, maka suatu saat kita pasti akan bersih dan kita akan
meningkat ke tahap evolusi spiritual yang berikutnya, yang lebih tinggi
sifatnya, sampai kita akan belajar untuk menjadi sadar dan pasrah
secara total dan tulus, dan hanya bekerja sesuai dengan bisikan-bisikan
Sang Atman yang Maha Pengasih dan Penyayang. Pada tahap ini kita akan
menyerahkan jiwa-raga kita secara utuh, dan sesudah itu hanya ada jalan
yang makin menanjak ke atas dan tak ada jalan turun lagi, dan jalan naik
yang disebut tangga evolusi ini banyak ragam dan coraknya, semuanya
sesuai kehendakNya semata yang mungkin bagi setiap individu terasa lain
pengalaman-pengalamannya, tetapi bagi Yang Maha Kuasa sama saja
sifatnya.
41. Setelah mencapai loka-loka di mana hidup orang-orang yang suci dan
setelah tinggal di tempat ini bertahun-tahun lamanya, maka sang
yoga-bhrista ini akan lahir kembali di sebuah keluarga (rumah) yang suci
dan makmur.
Seorang yoga-bhrista (yang meniti jalan ke Yang Maha
Esa) tidak pergi ke neraka sewaktu ia meninggal-dunia, tetapi pergi ke
punyakritamlokan, yaitu loka-loka di mana hidup orang-orang yang selama
ini hidupnya bekerja demi kebenaran. la pergi ke tempat yang lebih
tinggi "status" nya dibandingkan bumi ini. Dan kemudian setelah
menjalani kehidupan selama bertahun-tahun (sesuai dengan karmanya), ia
kembali lagi ke bumi ini sebagai manusia yang lahir di suatu tempat yang
suci dan makmur, di mana sang yogi ini mendapatkan kesempatan lagi
untuk meniti lebih mantap lagi ke arah Yang Maha Esa. (Orang-orang Hindu
percaya bahwa bumi ini sebenarnya tempat yang paling tepat untuk
mengenal Yang Maha Esa dengan baik, dan adalah tugas manusia untuk
mengenalNya di bumi ini. Hidup sebagai manusia dianggap sebagai hidup
yang paling sempurna, bahkan para dewa-dewa sangat menginginkannya).
Bumi ini menyediakan segala sarana untuk kita agar lebih cepat mencapai
moksha, seyogyanyalah manusia tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini
dan menyesatkan dirinya ke dalam ilusi sang Maya.
42. Atau ia akan
lahir di sebuah keluarga yang telah menerima kebijaksanaan. Tetapi
kelahiran semacam ini amatlah sukar untuk didapatkan di dunia ini.
Seorang
yang lahir dalam keluarga yogi yang bijaksana mempunyai kesempatan yang
amat besar untuk meniti jalan evolusinya ke arah Yang Maha Kuasa,
karena kesempatan semacam ini tidak didapatkan di sorga maupun di
loka-loka lainnya. Seorang yang lahir di tengah-tengah keluarga yogi
akan belajar mengenai Yang Maha Esa secara langsung semenjak amat dini.
43. Di
situ ia mendapatkan penerangan akan (pengetahuan batin tentang
kesatuannya dengan Yang Maha Esa) yang telah dicapainya pada kelahiran
yang sebelumnya, oh Arjuna, dan ia pun berjuang sekali lagi untuk
mencapai kesempurnaan.
Kemajuan di jalan kesempurnaan seseorang
manusia itu bisa saja lambat jalannya. Seseorang mungkin saja harus
berjuang selama berkali-kali (lahir berulang-ulang) sebelum mencapai
kesempurnaan. Tetapi tidak ada usaha yang akan sia-sia sekali kita
berjalan menuju Yang Maha Esa. Apapun yang dicapai seseorang ini selama
hidupnya tak akan hilang sewaktu raganya binasa, tetapi malahan
sebaliknya akan bertambah frekwensi dan kekuatannya pada kelahiran yang
berikutnya, ia akan melaju lebih pesat lagi ke arah Yang Maha Esa.
Seseorang yang misalnya lahir diantara keluarga yogi ini, secara
otomatis akan terbuka penerangan batinnya semenjak ia masih kanak-kanak
karena suasana rumah-tangga dan kehidupan orang-tuanya yang penuh dengan
unsur-unsur kesucian dan pemujaan terhadap Yang Maha Esa; sehingga
tanpa disadarinya terdorong oleh karmanya yang lampau ia akan tambah
bersemangat melaju ke arah Yang Maha Esa-otomatis perjuangan dan
kemampuan spiritualnya akan berlipat-ganda; jalan ke Yang Maha Esa akan
dicapainya dengan lebih cepat dan mudah.
44. Karena usaha-usahanya
pada kehidupannya yang lalu, maka tanpa dikuasainya lagi ia terus
melaju. Seseorang yang mencari pengetahuan yoga bahkan (melaju)
melampaui Shabda-Brahman (tata-cara dan peraturan-peraturan Veda).
Shabda-Brahman
adalah tata-cara dan peraturan-peraturan keagamaan Hindu yang tertulis
di buku-buku suci Veda. Veda-Veda ini sebenarnya amat penting pada
permulaan pelajaran spiritual kita, tetapi setelah seorang yogi mencapai
penerangan dan kesatuan dengan Yang Maha Esa, maka Veda-Veda ini ibarat
sebuah perahu yang menyeberangkan sang Yogi ini ke sisi lain sebuah
sungai. Begitu selesai menyeberang dan mencapai penerangan maka perahu
tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi, karena tujuan itu, yaitu Yang Maha
Esa, telah tercapai.
45. Sang Yogi ini yang bekerja dengan tekun,
bersih dari dosa, dan telah menyempurnakan dirinya dengan melalui
berbagai kehidupan akan mencapai tujuannya yang suci.
Seseorang yang
berusaha dan berjuang keras, sambil menyucikan dirinya, secara perlahan
tapi pasti akan mencapai kesempurnaan setelah melalui berbagai kehidupan
dan pengalaman selama perjuangannya dalam hidup ini. Tujuan yang suci
adalah kesadaran dan kesatuan dengan Yang Maha Esa, pencapaian akan
Kedamaian yang Abadi. Kalau dipelajari dan dimengerti dengan baik, maka
bukankah sloka-sloka di atas ini menunjukkan betapa agungnya ajaran Sang
Kreshna dalam Bhagavat Gita, karena setiap makhluk dan manusia
betapapun besar dosanya, la secara perlahan tetapi pasti ditarik kembali
kepada Yang Maha Esa tanpa kecuali. Inilah sebenarnya evolusi dalam
kehidupan spiritual kita, dengan karuniaNya semua ciptaanNya ditarik
kembali kepadaNya.
Pesan suci dalam Bhagavat Gita adalah bahwa
walaupun seseorang jatuh 100 kali dalam hidup ini, ia akan dibangkitkan
lagi ke arah yang sudah tujuannya. Kegagalan-kegagalan adalah sementara
sifatnya. la akan jalan terus dalam hidup ini, karena yang dinamakan
hidup ini sebenarnya amat komplek dan penuh dengan lingkaran kehidupan
dan kematian yang berulang-ulang sifatnya, sampai suatu saat ia
ditentukan untuk menuju ke tujuannya yang sejati, yaitu Yang Maha Esa.
Raga atau sthula-sarira setiap makhluk dan insan lahir dan binasa,
begitupun dengan raganya yang halus yang tak nampak oleh mata, yaitu
sukhshama-sarira, tetapi karena sariranya (raga mumi yang menjadi
penyebab hidup ini) akan selalu menyertai setiap makhluk atau insan
sampai akhirnya tercapai moksha atau penyatuan dengan Yang Maha Esa. Di
dalam karana-sarira ini terkoleksi (terkumpul) semua usaha dan
perbuatan (sansakarci) manusia dan makhluk-makhluk ini. Karana-sarira
sifatnya tak akan pernah mati, tetapi ia selalu mengumpulkan dan
mengevaluasi semua yang baik dan buruk yang dilakukan oleh sthula-sarira
kita. Maka seyogyanyalah kita harus ingat pada karana-sarira ini;
setiap pikiran (vichara) dan perbuatan (achara) kita seharusnya bersih
dan suci, atau kita harus berjuang lagi dan lagi membersihkan
kotoran-kotoran ini dari karana-sarira kita pada kehidupan-kehidupan
yang mendatang.
Jadi jalan mudahnya, adalah pasrahkanlah secara
total kehidupan ini kepada Yang Maha Kuasa, usahakanlah semua ini dengan
penuh kesungguhan, ketulusan, kejujuran dan iman yang teguh, dan
bekerja demi dan untukNya semata tanpa pamrih. Jadilah saksi atau
alatNya semata dan jauhkanlah kekotoran-kekotoran dari karana-sarira
kita, yang akan selalu melaju lebih cepat ke Tujuan yang Abadi, kalau
saja kita tanpa noda-noda dalam kehidupan ini.
46. Seorang yogi itu
lebih agung daripada seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi ini
secara total; seorang yogi itu lebih agung daripada seorang ahli Veda,
dan seorang yogi itu lebih agung daripada seorang yang bekerja sesuai
dengan ritus-ritus. Maka seyogyanyalah dikau menjadi seorang yogi, oh
Arjuna!
47. Dan diantara semua yogi, ia yang memujaKu penuh dengan
keyakinan, dengan menyatukan Jati Dirinya dalam DiriKu -- ialah yang
kuanggap sebagai seorang yogi yang amat sempurna keharmonisannya.
Seorang
tapasvi (seorang yang mengasingkan dirinya untuk bertapa di hutan-hutan
atau di gunung-gunung dengan menyiksa dirinya dan melepaskan semua
nafsu-nafsu duniawinya masih dianggap kurang agung dedikasinya
dibandingkan dengan seorang yogi, begitupun halnya dengan seorang ahli
Veda; dan seorang yogi itu lebih agung juga dari seseorang yang bekerja
dan bertindak sesuai ritus-ritus agama. Inilah nilai yang diberikan
langsung oleh Sang Kreshna. Maka sebaiknya seseorang menjadi seorang
yogi yang tetap hidup di dalam masyarakat, bekerja sesuai dengan
kodratnya, dan dengan tanpa pamrih demi Yang Maha Esa semata. Seorang
yogi yang terkendali semua indra-indranya, yang tetap berfungsi sebagai
seorang manusia yang berguna untuk sesamanya, untuk lingkungannya, untuk
negara dan bangsanya itu lebih agung nilainya di mata Yang Maha Esa.
Inilah
ajaran Bhagavat Gita yang sesungguhnya, bekerja demi Yang Maha Esa
tanpa pamrih dan menyatu denganNya, dengan DiriNya sambil berjalan
mengarungi hidup ini ke tujuan yang abadi, yaitu Yang Maha Esa itu
sendiri. Dan semua itu tanpa harus menanggalkan kewajiban kita sebagai
manusia terhadap keluarga, masyarakat lingkungan dan Tuhan Yang Maha
Esa. Dan diantara semua yogi, yang terbaik menurut Sang Kreshna adalah
yang menyerahkan dirinya secara total kepadaNya, yang memujaNya penuh
kasih, dan keyakinan, bakti dan dedikasi yang tanpa henti-hentinya,
tanpa pamrih dan penuh kendali-diri.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita,
Ilmu pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Shri
Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab keenam, yang disebut: Dhyana Yoga atau jalan mengenai Meditasi