Bab 18 Moksha Sanyasa ( Kata Terakhir)

Berkatalah Arjuna:

  1. Aku berhasrat, oh Krishna, mengetahui kebenaran tentang sanyasa dan tentang tyaga. Arjuna sebenarnya bertanya dan ingin mengetahui apakah perbedaan antara sanyasa dan tyaga. Sanyasa adalah meninggalkan setiap tindakan, perbuatan dan aksi (kamya-karma), yaitu tindakan dan perbuatan yang diikuti oleh keinginan-keinginan tertentu. Tetapi dalam hidup ini ada saja perbuatan atau tindakan-tindakan tertentu yang tidak bermotif egois seperti makan, tidur, mandi, jalan dan lain sebagainya yang tak dapat ditinggalkan atau diserahkan kepada Yang Maha Esa dalam arti harfiah, baik oleh seorang yang teramat suci sekalipun. Sedangkan kalau seseorang sama sekali tak bekerja atau berbuat sesuatu, maka orang semacam ini pun tentunya tak dapat disebut seorang sanyasin. Sedangkan tyaga berarti penyerahan total hasil dari setiap tindakan, perbuatan dan aksi kita ini. Setiap buah atau hasil dari berbagai perbuatan kita dipasrahkan atau dikembalikan kepadaNya lagi. Semua pekerjaan orang semacam ini (sanyasin) adalah kewajibannya kepada Yang Maha Esa tanpa pamrih atau mengharapkan sesuatu. Pekerjaan dan perbuatannya penuh dengan dedikasi semata; dedikasi inilah sebenarnya motor penggerak dari individu-individu semacam ini, dedikasi yang tanpa pamrih dan demi Ia semata. Seorang tyagi (penganut tyaga) tidak akan menjauhi ketiga pekerjaan utamanya, yaitu: yagna, dana, dan tapa. Tindakan-tindakan ini baginya adalah kewajiban, disiplin bagi diri pribadinya dan untuk tujuan sosial bagi sesamanya, berdasarkan kewajiban dan dedikasinya kepada Yang Maha Esa. Perbuatan dan pekerjaan ini bukan merupakan ikatan-ikatan duniawi tetapi sebenarnya adalah jalan ke arah pembebasan atau penerangan baginya. Sanyasa atau tyaga tidak berarti menjauhi pekerjaan atau hal-hal yang bersifat duniawi dan segala efek atau aktivitasnya, tetapi berarti tetap bekerja tetapi tanpa suatu motivasi, imbalan atau pamrih yang penuh dengan ego, keserakahan dan harapan. Semuanya seharusnya dilakukan dan dipersembahkan kembali kepada Yang Maha Esa tanpa pamrih.

    Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
  2. Para Rsi sadar bahwa sanyasa itu adalah penyerahan dari bentuk-bentuk pekerjaan yang diikuti oleh nafsu dan keinginan-keinginan tertentu; sedangkan tyaga oleh mereka-mereka yang bijaksana diartikan sebagai penyerahan total seluruh hasil atau buah sesuatu perbuatan yang dilakukan seseorang.

  3. "Aksi harus dilepaskan karena ibarat iblis," kata sementara pemikir. "Aksi-aksi seperti dana dan disiplin spiritual tidak boleh dilepaskan," kata yang lainnya. Banyak pemikir atau orang-orang pintar, para penganut ajaran Kapila (yang disebut ajaran Sankhya), mengutuk semua bentuk aksi, tindakan dan perbuatan karena bagaimanapun juga kata mereka tak ada pekerjaan, aksi atau sesuatu perbuatan yang tanpa maksud dan motif, sekecil apapun tindakan tersebut. Jadi menurut mereka setiap pekerjaan ada motivasinya, dan itu berarti menyandang dosha, dan dosha (dosa) inilah penyebab keterikatan kita pada dunia ini. Jadi semua bentuk aksi atau tindakan harus dilepaskan. Tetapi para pemikir golongan lainnya, yang disebut Mimansaka, berpendapat tindakan atau perbuatan pengorbanan (yagna), tapa dan dana harus dilaksanakan karena tindakan-tindakan ini menyucikan diri dan membantu seseorang mendaki tahap-tahap evolusi spiritualnya. Apa yang dianjurkan oleh Bhagavat Gita sebenarnya adalah melepaskan semua keterikatan-keterikatan akan hasil atau buah dari semua yang kita lakukan dan perbuat. Dengan kata lain terjadilah kehendakNya adalah arti dari ajaran Bhagavat Gita. Semua pekerjaan atau kewajiban sehari-hari kita harus dilakukan demi kebenaran dan kebaikan (dharma) dan dedikasi kita kepadaNya. Seseorang benar-benar bertindak seandainya ia bertindak atau bekerja tanpa pamrih, tanpa mengharapkan sesuatu dari hasil perbuatannya.


  4. Dengarkanlah sekarang, oh Arjuna, kesimpulanKu mengenai penyerahan total akan buah atau hasil kerja seseorang. Penyerahan total dari hasil kerja ini terbagi tiga sifatnya.

  5. Perbuatan (tindakan) pengorbanan, dana (amal) dan disiplin-spiritual tidak boleh diabaikan, tetapi wajib dikerjakan, karena pengorbanan, dana dan disiplin spiritual adalah unsur-unsur yang menyucikan bagi mereka yang bijaksana. Yagna atau pemujaan atau pengorbanan/persembahan adalah kewajiban bagi setiap manusia terhadap Yang Maha Kuasa. Dana atau amal adalah kewajiban terhadap guru-guru spiritual dan terhadap masyarakat atau yang membutuhkannya. Tapa atau disiplin spiritual adalah kewajiban kita terhadap diri sendiri sebenarnya. Mengabaikan ketiga tindakan positif ini sama saja mengotori diri sendiri dengan unsur-unsur duniawi yang negatif. Lakukanlah semua tindakan ini secara sattvik dan bersihkanlah raga, hati dan jiwa kita dari noda-noda duniawi ini.

  6. Tetapi tindakan-tindakan ini pun harus dilakukan dengan mengesampingkan sesuatu pamrih. Inilah, oh Arjuna, keputusan dan pandanganKu yang final. Jadi walaupun ketiga faktor penting di atas harus dilakukan, tetapi tetap saja menurut keputusan akhir (keputusan final) Sang Kreshna, perbuatan-perbuatan itu harus dikerjakan tanpa mengharapkan sesuatu imbalan dalam bentuk apapun juga, baik secara spiritual maupun duniawi. Ini sudah merupakan keputusan Yang Tegas, dari Yang Maha Esa, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di pihak lain setiap tindakan sehari-hari apapun juga harus tetap dilaksanakan tanpa pamrih tetapi demi kewajiban kita kepada semuanya dan terhadap Yang Maha Esa dan lokasangraha (kesejahteraaan demi kemanusiaan). Yang penting adalah penyerahan total dari semua nafsu dan keinginan, semua bentuk ego yang mementingkan diri sendiri. Kalau kita tidak mau menyerahkan pikiran-pikiran negatif ini secara total, maka timbullah kama (nafsu dan keinginan) yang sebenarnya sudah ada dan hadir dalam pikiran dan indra-indra kita. Sering timbul pertanyaan bagaimana caranya untuk menyingkirkan kama ini? Menurut teori di Barat yang diilhami oleh Freud, maka sebaiknya kama dijadikan teman saja dan semua keinginannya dipenuhi saja. Tetapi ajaran Hindu menolak mentah-mentah hal ini, karena kama ini ibarat api dan kalau dipenuhi terus menerus semua hasrat-hasratnya maka ibarat memberi minyak pada api ini, yang akibatnya adalah makin membara dan membesarnya api ini. Lalu ada ajaran yang mengatakan tindaslah kama atau nafsu ini. Tidak, menindasnya tidak menolong sama-sekali, karena bentuk nafsu atau kama ini tidak dapat ditindas karena sifat-sifatnya yang tidak dapat dimengerti dan amat misterius, apalagi oleh mereka yang masih jauh dari jalan spiritual. Jalan yang benar untuk menjauhkan kama atau nafsu ini adalah dengan abhyasa atau meditasi, dengan usaha upaya atau praktek yang berketerusan. Dengan kata lain, seperti yang dianjurkan oleh Bhagavat Gita, yaitu dengan kendali diri yang disertai dengan penuh kesadaran atau mawas diri. Dengan kesadaran dan tekanan pada pikiran kita bahwa sebenarnya indra-indra dan nafsu kita juga bisa diarahkan ke arah yang positif secara spiritual dan duniawi, yaitu ketenangan dan kekuatan, kesucian dan kebenaran. Langkah demi langkah, secara perlahan tetapi pasti kita harus mengarahkan pikiran kita dan mengendalikannya (bukan menghentikannya sama sekali, tetapi mengendalikannya!) secara positif. Secara perlahan pastikan diri kita bahwa pemuasan nafsu-nafsu indra-indra kita secara tanpa kendali itu bukanlah cara dan jalan yang baik, begitupun menindas nafsu ini bukan juga jalan keluar. Jalan yang terbaik adalah yang terletak di tengah-tengah kedua metode tersebut, yaitu kendali-diri dengan mengendalikan nafsu-nafsu yang beraneka-ragam ini dan mempergunakannya seperlunya saja dan secara positif. Sadarlah akan suatu pengetahuan, yaitu tubuh kita ini dibentuk ibarat mata-pisau yang tajam dan peka; pisau itu dapat dipergunakan untuk tujuan positif seperti memotong sayur-sayuran dan kayu, atau untuk hal-hal negatif seperti membunuh atau merampok orang. Lalu bagaimana seharusnya kita gunakan tubuh ini dan semua indra-indranya. Untuk tersesat di dunia ini tanpa kendali dan terikat selama-lamanya secara duniawi atau untuk mengabdi dan kembali mengenal Yang Maha Esa. Dalam melakukan kendali diri yang penuh kesadaran ini, maka setahap demi setahap akan terbuka horizon baru dalam kehidupan kita dan akan nampak pergantian yang ajaib, misterius dan penuh dengan mukjizat yang sukar dilukiskan dengan kata-kata karena merupakan suatu pengalaman yang misterius dan spiritual. Seseorang yang indra-indranya terkendali dan terpakai secara positif akan menemui pengalaman-pengalaman unik, karena jiwa dan pikirannya yang bersih akan melakukan kontak-kontak ke obyek-obyek indranya dengan hasil yang berlainan sifatnya dari yang dialami selama ini. Kontak-kontak spiritual akan berlangsung secara otomatis, ingat pisau yang bermata dua, begitu pun indra-indra kita dapat dipergunakan secara duniawi dan secara spiritual, suatu potensi yang tersembunyi tetapi amat dahsyat karena kita tidak tahu akan hal ini selama kita terjebak dengan yang duniawi. Setelah itu akan timbul, secara perlahan tetapi pasti, sinar atau penerangan dalam hidup kita. Dan sekali ini tercapai maka seseorang yang telah hasil kerjanya secara total kepada Yang Maha Esa tanpa pamrih, akan menjadi seseorang yang tetap bekerja di dunia ini sesuai dengan kewajibannya, tetapi sama sekali tanpa nafsu atau keinginan duniawi, karena ia telah mendapatkan sesuatu yang lebih menarik lagi dari semua itu, sesuatu kekuatan yang misterius dan membahagiakannya secara lahir dan batin, ia pun akan menjadi pusat dan inspirasi atau penerangan bagi mereka-mereka yang masuk ke dalam radius pengaruhnya. Jalan ke arah ini memang nampaknya sukar untuk manusia, tetapi tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini seandainya seseorang telah beritikad ke arah itu, karena memang setiap manusia diberikan potensi yang amat besar untuk melakukannya. Jadi terserah kita lagi, jalannya memang sukar, dan banyak jatuh-bangunnya, banyak jurang dan jeram yang menghadang, tetapi Yang Maha Esa sendiri secara "pribadi" akan menuntun kita, akan membimbing kita dan mengajarkan kita cara-cara mengatasi semua rintangan ini dan individu-individu yang kuat akhirnya akan sampai kepadaNya, karena itulah janji Yang Maha Esa kepada kita semua dan itulah tujuan yang dimaksud olehNya, yang telah ditentukan olehNya. Tanyakanlah kebenaran akan hal ini kepada mereka-mereka yang dianggap telah mencapai kesadaran ini, dan semua kebenaran akan dijawab dengan kebenaran. Om Tat Sat.

  7. Sebenarnya mengesampingkan pekerjaan-pekerjaan yang sudah seharusnya itu, adalah tidak benar. Memasrahkan dengan cara tersebut karena kebodohan, disebut bersifat tamasik (gelap). Pekerjaan atau perbuatan yang sudah seharusnya menjadi kewajiban seseorang dan merupakan keharusan sehari-hari (tertera jelas dalam pustaka-pustaka Hindu), tidak boleh dikesampingkan dengan alasan apapun juga. Berbuat demikian menandakan kebodohan yang amat dalam dari si pelaku tersebut. Begitupun tindakan seperti dana, tapa dan yagna, berulang-ulang ditekankan agar tidak diabaikan, karena merupakan penyucian dari jiwa dan raga kita. Tyaga sendiri terbagi dalam tiga sifat, yaitu tamasik, rajasik dan sattvik. Tyaga yang sejati adalah yang bersifat sattvik di mana lepas sudah bahkan itikad akan hasil atau buah dari tyaga itu sendiri. Sedangkan dalam sifat tyaga yang tamasik terlihat jelas dominasi dari keterikatan (moha), ilusi, kebodohan, kegelapan dan hasrat untuk mendapatkan imbalan-imbalan tertentu baik secara spiritual maupun duniawi. Tyaga semacam ini disebut gelap sifatnya. Misalnya: seorang pria meninggalkan semua pekerjaannya atau kewajiban rumah-tangganya demi seorang wanita atau demi menuntut suatu kesaktian tertentu untuk tujuan duniawi, ini disebut cinta-duniawi yang menyesatkan dan bukan tyaga pemasrahan total.

  8. Seseorang yang tidak mau bertindak sesuatu karena merasa tindakan itu menyusahkannya atau khawatir akan menjadi derita untuk fisiknya, disebut melakukan tyaga bersifat rajasik. Dan tyaga semacam ini tidak akan menghasilkan keuntungan apapun juga. Tyaga bersifat rajasik tidak akan menghasilkan mukti (pembebasan) karena seorang yang melakukan tyaga ini hanya melakukannya demi menjauhi derita, tantangan hidup dan kesusahan atau kerja keras.

  9. Seseorang yang melakukan sesuatu tindakan seperti yang telah diwajibkan, oh Arjuna, karena harus dilakukannya, tanpa keterikatan dan pamrih — tyaga semacam itu dipandang sebagai bersifat sattvik (bersih). Tyaga yang sejati adalah yang bersifat sattvik, yaitu tyaga yang tanpa keterikatan, hasil atau buah. Pekerjaan yang dilakukan ini sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan anjuran dan kaidah-kaidah yang tertulis di buku-buku suci. Dan semua kewajiban ini dilaksanakan sebagai kewajiban semata tanpa mencari atau mengharapkan sesuatu keuntungan, imbalan dan rasa egoisme.

  10. Seseorang bijaksana yang telah diliputi oleh sifat-sifat sattva (kesucian), yang keragu-raguannya telah terbuang jauh — seseorang yang pasrah semacam ini tidak membenci sesuatu tindakan yang tidak menyenangkan, juga tidak terikat pada suatu tindakan yang menyenangkan. Seorang tyagi (pelaksana tyaga) yang telah pasrah total kepada Yang Maha Esa, yang telah menyerahkan diri dan semua tindakan-tindakannya sekecil apapun perbuatan atau tindakan tersebut kepadaNya dan telah mencari dan mendapatkan perlindunganNya, tak akan pernah ragu-ragu dalam bertindak apapun juga. Baik itu tindakan nikmat dan memberikan kepuasan dan kesenangan ataukah tindakan itu memberikan rasa derita, kegagalan atau kedukaan, baginya sama saja sifatnya. Baginya yang wajib adalah bekerja, dan semua emosi, hasil atau efek dari pekerjaan itu tidak penting sifatnya karena ia sadar bahwa ia tidak menghasilkan atau memberikan suatu efek kepada setiap tindakannya, melainkan semua itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, dan terjadilah kehendakNya sesuai dengan keinginanNya, ia hanya alat dan sebuah alat hanya berkewajiban untuk bekerja sewaktu dipergunakanNya dan tidak berhak untuk memprotes majikan yang mempergunakannya ataupun menilai hasil kerja dari alat itu sendiri. Semuanya terserah kepadaNya. Baginya nikmat dan derita sama saja rasanya, saling mengisi malahan, dan semua itu diterimanya dengan sama rata dan tanpa banyak mengeluh. Jadi dengan kata lain, Sang Kreshna Yang Maha Pengasih sedang mengajarkan Arjuna dan kita semua agar menerima dan memainkan peranan kita masing-masing di dunia ini secara setia dan penuh semangat. Jangan berduka atau bersuka baik dalam kegagalan maupun dalam kesuksesan. Pasrahkan semuanya kepada Yang Maha Esa!" Karena hanya kehendakNya saja yang akan terlaksana, bukankah kita tidak tahu mengapa kita dilahirkan di dunia ini, dan sekali kita lahir dan tumbuh, lalu mengapa harus kita yang mengatur hidup ini, mengapa tidak dikembalikan semua skenario kehidupan ini kepada Sang Sutradaranya sendiri. Camkanlah pesan ini dan jadilah sebuah alat yang baik atau seorang pemain sandiwara kehidupan ini yang baik dan penuh dedikasi.

Seseorang yang bekerja sesuai dengan kewajibannya sadar bahwa suatu kewajiban yang dilaksanakan tanpa pamrih akan menuntunnya ke arah penerangan Ilahi, ke arah pembebasan dari ikatan dan derita duniawi. Seseorang yang secara sejati bekerja tanpa pamrih tidak akan pernah mau mengkhayal mengharapkan sedikit pun akan penerangan Ilahi, semua pekerjaan ia lakukan secara tulus dan penuh dengan tekad, yaitu dengan pemikiran terjadilah kehendakNya semata, dan pekerjaan adalah hukum alam di dunia ini bagi semuanya, sebagai misi yang diembannya dari Yang Maha Esa. Itulah kaidah atau hukum spiritual ini — yakinlah akan Yang Maha Esa dan semua kehendakNya. Tyaga yang sejati berarti bekerja tanpa pamrih, bukan tidak bekerja sama sekali.