Berkatalah Arjuna:
1. Mereka yang tidak kenal akan kaidah-kaidah
suci ini, tetapi mempersembahkan pengorbanan dengan kepercayaan (iman)
--bagaimanakah keadaan mereka ini, oh Kreshna? Apakah (mereka) ini
tergolong sattva, raja atau tama?
Timbul pertanyaan yang wajar di dalam hati sang Arjuna, apakah perlu
kita semua belajar tentang hukum atau kaidah-kaidah yang dikandung oleh
skripsi kuno dan buku-buku suci lainnya? Apakah Bhagavat Gita sendiri
tidak cukup atau memadai? Dan bagaimana dengan nasib mereka yang beriman
tetapi tidak pernah membaca atau mengetahui tentang naskah atau
skripsi-skripsi kuno ini? Sebenarnya hukum ini — karena sifatnya yang
abadi, spiritual dan alami — secara otomatis akan bekerja sendiri. Tidak
penting apakah setiap orang yang beriman itu pernah mendengar atau
tidak akan hukum/kaidah ini. Sesuai dengan karuniaNya maka seseorang
yang beriman akan belajar sendiri atau dengan kata lain mendapatkan
sendiri semua kaidah-kaidah suci ini secara bertahap, dan ia akan
memahami itu semua dengan baik. Yang penting, kita ini (setiap individu)
harus jujur pada diri sendiri, dan walaupun tak pernah mendengar
tentang sastra-sastra ini, seorang yang telah terpanggil ke jalanNya
akan secara otomatis mempelajari dan mempraktekkan secara langsung semua
kaidah dan hukum-hukum suci ini, sesuai dengan hati nuraninya, karena
memang hukum ini sifatnya amat universal dan alami. Arjuna yang khawatir
akan nasib seseorang yang beriman tetapi tidak kenal kaidah-kaidah suci
ini, sebenarnya tidak perlu khawatir, karena yang penting adalah
penghayatan dan pengamalan kaidah-kaidah itu sendiri secara tulus, dan
bukan dengan membaca atau mengetahuinya. Kaidah-kaidah itu sendiri
secara tulus, dan bukan semua itu datang dari Satu Tuhan Yang Maha Esa
dan Maha Pengasih dan Penyayang. Walau nampaknya kaidah-kaidah ini
berlainan dalam berbagai ajaran agama, ajaran moral, kebatinan dan hukum
tetapi intisarinya selalu Manunggal, yaitu Satu, dan semua itu selalu
berporos dan kembali kepadaNya juga. Om Tat Sat.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
2. Kepercayaan
manusia (makhluk yang dapat binasa), yang lahir dari sifat-sifat mereka
terbagi dalam tiga bagian -- sattvik, rajasik dan tamasik. Dengarkanlah
oleh mu semua ini.
3. Iman seseorang, oh Arjuna, adalah
berdasarkan sifat seseorang itu. Manusia dibentuk oleh imannya: begitu
imannya, begitu juga manusianya.
Shradda, atau iman atau kepercayaan,
adalah ekspressi dari setiap sifat sejati atau asli dari individu itu
sendiri yang sudah diatur oleh karma-karmanya. Begitu sifatnya, begitu
juga prilaku orang itu. Kepercayaannya akan Yang Maha Esa, otomatis
terpancarkan sesuai dengan sifat-sifat asli setiap individu yang
tentunya berbeda-beda dari setiap manusia ke manusia yang lainnya, dan
faktor ini juga akan membeda-bedakan prilaku manusia tersebut. Dan ada
tiga golongan kepercayaan pada setiap makhluk yang hidup, terutama yang
disebut manusia (makhluk yang juga dapat binasa), yaitu sattvik (dari
sattva), rajasik (dari raja) dan tamasik (dari tama), yang hadir secara
berbeda-beda dan dominan dalam bentuk dan kekuasaannya masing-masing.
4. Manusia-manusia
yang bersih memuja para dewa, manusia-manusia yang bernafsu memuja para
yaksha dan para rakshasa, dan yang lainnya, yaitu manusia-manusia yang
berada dalam kegelapan -- memuja hantu-hantu dan roh-roh yang
bergentayangan.
Shradda (iman) yang bersifat sattvik ini menunjukkan
kemurnian atau kesucian orang-orang dengan sifat ini, yaitu memuja Tuhan
Yang Maha Esa atau para dewa-dewa yang dianggapnya Tuhan atau pengganti
Tuhan. Dan sewaktu ajal mereka tiba, mereka ini pergi ke tujuan
pemujaan mereka sesuai dengan imannya masing-masing. Mereka ini dapat
saja mencapai penerangan atau nirvana pada akhir hayat mereka.
Sifat-sifat rajasik adalah sifat-sifat yang penuh dengan energi. Iman
rajasik adalah iman yang penuh energi, nafsu dan keinginan-keinginan
bagi mereka yang menginginkan kekuasaan, harta-benda, sukses dan lain
sebagainya. Mereka-mereka yang punya kepercayaan rajasik ini memuja para
yaksha (dewa-dewa pemberi harta dan kesejahteraan duniawi) dan para
rakshasa (setan dan iblis). Sedangkan sifat-sifat tamasik adalah
sifat-sifat kegelapan total yang dimiliki oleh mereka-mereka yang kurang
sekali pengetahuannya akan kebesaran Yang Maha Esa, mereka amat serakah
dan tidak suci, amat sensual, malas dan penuh akan sifat-sifat gelap
lainnya. Demi hasrat dan jalan pintas ke sukses dan pencapaian
kesejahteraan duniawi ini mereka memuja roh-roh yang sesat, hantu, jin
dan kuasa-kuasa gelap yang cepat mendatangkan kenikmatan bagi mereka.
5. Manusia-manusia
yang menjalankan disiplin-disiplin spiritual secara negatif, yang tidak
dianjurkan oleh skripsi-skripsi suci, yang telah terbiasa dengan
kemunafikan dan rasa egoisme dan telah terseret oleh kekuatan nafsu dan
keinginan (duniawi).
6. Manusia-manusia semacam ini tak
memiliki akal-budi. Mereka merusak elemen-elemen raga mereka dan Aku
yang bersemayam di dalam raga ini. Ketahuilah bahwa orang-orang ini
berpikiran iblis.
Cara pemujaan juga merefleksikan iman atau shraddha
ini. Dan seandainya seseorang memuja sesuatu unsur alami atau yang
lainnya dengan menyiksa tubuh mereka atau merusak tubuh ini dengan
sesuatu ritus-ritus tertentu, maka tapa, pemujaan atau usaha spiritual
ini tidaklah suci sifatnya, tidak sinkron dengan kaidah-kaidah suci yang
tertera di kitab-kitab suci Hindu kita ini; mereka yang merusak raga
mereka demi kepuasan duniawi ini sebenarnya merusak "kuil yang suci,"
kuil Sang Kreshna yang dilahirkan sebenarnya dengan tujuan yang suci,
yaitu menyembah dan mengenal Yang Maha Esa dan bukan menjadi budak dari
nafsu mereka. Raga ini pantang untuk dirusak karena sebenarnya bukan
milik kita dan seharusnya dipergunakan untuk maksud-maksud yang positif,
dan seandainya orang-orang ini masih saja merasa lebih benar dari yang
dianjurkan oleh skripsi-skripsi ini, maka manusia semacam ini adalah
manusia yang egoistik dan hanya mementingkan diri mereka sendiri dan
menghalalkan segala cara demi tercapainya maksud-maksud duniawi mereka.
7. Pangan
yang diperlukan oleh semua makhluk terdiri dari tiga jenis. Begitupun
bentuk pengorbanan, tapa dan dana. Dengarlah perincian-perinciannya.
8. Makanan
yang memperpanjang hidup dan menunjang kesucian, tenaga, kesehatan,
kebahagiaan, dan kegembiraan, yang manis, lembut, penuh dengan gizi dan
sesuai, disukai oleh orang-orang yang bersifat sattvik.
9. Makanan
yang pahit, asam, bergaram, terlalu pedas, berbau, kering dan membakar,
yang menimbulkan penderitaan, kesusahan dan penyakit disukai oleh
mereka-mereka yang bersifat rajasik.
10. Makan yang tak segar, tak berasa, basi, cacat, tidak bersih adalah
jenis makanan yang disukai oleh orang-orang yang bersifat tamasik.
Makanan
yang dimakan seseorang pun merefleksikan karakter seseorang itu
sendiri, yang didasarkan pada iman orang itu sendiri sesungguhnya.
Seperti juga iman atau kepercayaan yang terbagi tiga, maka jenis makanan
pun dibagi tiga:
a. Makanan sattvik, makanan jenis ini menambah
kewibawaan, intelegensia, intelektualitas, kekuatan, kesegaran,
kesehatan, kenikmatan lahir dan batin, kegembiraan, dan kebahagiaan
hidup. Makanan jenis ini adalah yang mudah dimakan, beraroma, manis,
mengandung cairan seperti sari-buah dan buah-buahan; menyehatkan dan
sesuai dengan mereka-mereka yang bertemparamen sattvik. Contoh: gandum,
beras, kacang-kacangan, mentega, susu, produk dari ternak (bukan daging
ternak), buah-buahan dan sayur-sayuran segar dan matang.
b. Makanan
rajasik adalah jenis makanan untuk mereka-mereka yang penuh dengan nafsu
dan keinginan-keinginan duniawi, yaitu jenis-jenis makanan yang rasanya
pahit, asam, bergaram, terlalu pedas, berbau, keras dan menyengat
seperti opium, tembakau, tamarin, cabai, gandum yang dibentuk alkohol
dan lain sebagainya. Makanan sejenis ini menimbulkan sakit, penderitaan
dan kesusahan.
c. Makanan tamasik adalah jenis makanan yang disukai
oleh mereka-mereka yang hidup dalam kegelapan dan berpikiran gelap dan
iblis. Mereka ini menggemari makanan yang tidak dimasak dengan baik,
yang kotor, yang tidak ada rasanya, cacat, basi, tidak dapat digolongkan
suci atau bersih. Contoh: daging, ikan, bawang, telur, daging-mentah,
buah-buahan dan sayur-sayuran yang diasamkan, alkohol dan sisa-sisa
makanan orang lain. Juga makanan hasil korupsi dan kejahatan termasuk
golongan ini.
Makanan yang disantap kita seharusnya adalah makanan
yang menyehatkan dan membersihkan diri kita. Hasil kerja kita yang halal
adalah sattvik, dan seandainya kita memakan sesuatu dari uang hasil
korupsi atau pekerjaan haram lainnya, dan seandainya kita menerima
sesuatu pemberian atau makanan dari seseorang yang jelas-jelas kita
ketahui uangnya berasal dari uang yang tidak jujur atau tidak halal,
maka yang dimakan itu tidak sattvik. Sebuah pepatah Jerman mengatakan,
"Seorang manusia adalah apa yang ia makan!" Dan ini memang benar adanya,
karena berdasarkan makanan yang kita konsumsikan kemudian timbul
berbagai jenis pikiran di dalam benak. Pikiran, jiwa dan hati kita, dan
semua pikiran ini, kemudian menghasilkan berbagai aktivitas yang
berhubungan dengan kehidupan kita. Jadi berhati-hatilah akan apa yang
kita makan atau konsumsikan. Makanlah sesuatu dari orang-orang yang
sifat dan rasa magnetismenya suci dan bersih. Seseorang yang pantas
dimakan makanannya adalah ibu kita sendiri, istri yang berbakti, putri,
saudara perempuan dan guru kita sendiri. Dan secara mental selalu
mempersembahkan makanan ini sebagai ahuti (persembahan) kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Dengan cara ini makanan yang dimakan ini akan memberikan
kekuatan untuk pekerjaan kita dan juga untuk amal kita bagi semuanya.
Dan sewaktu bersantap harap diperhatikan bahwa suasana di sekitar tempat
makan ini tenang dan tidak berisik. Makanlah dengan diam-diam tanpa
banyak berbicara, jauhkanlah pikiran dan pembicaraan yang tidak perlu.
Ini penting sekali baik untuk segi kejiwaan maupun kesehatan badani.
Cobalah!
11. Persembahan (atau pengorbanan) yang bersifat
sattvik, seandainya dipersembahkan sesuai dengan kaidah-kaidah suci,
oleh orang-orang yang tidak menginginkan suatu imbalan, dan yang percaya
dengan teguh bahwa persembahan (atau pengorbanan) ini adalah wajib
sifatnya.
12. Persembahan (atau pengorbanan) yang
dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan suatu imbalan tertentu
atau demi suatu pertunjukkan belaka adalah persembahan (atau
pengorbanan) yang bersifat rajasik (penuh nafsu), oh Arjuna.
13. Persembahan
(atau pengorbanan) yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah suci, di mana
tak ada makanan yang dibagikan, tak ada mantra-mantra yang diucapkan,
dan tak ada dana atau hadiah yang diberikan, yang kosong akan iman,
adalah bersifat tamasik (gelap).
Pengorbanan atau persembahan pun
berhubungan dengan karakter asli dari para pemuja, dan terdapat tiga
kualifikasi dari persembahan atau pengorbanan ini:
a. Persembahan
yang bersifat sattvik dilakukan oleh seseorang karena merasakan adanya
kewajiban berdasarkan kewajibannya terhadap Yang Maha Esa dan
kaidah-kaidah suci. Persembahan atau pengorbanan ini dilakukan tanpa
pamrih, tanpa mengharapkan suatu keuntungan tertentu.
b. Persembahan
secara rajasik adalah persembahan atau pengorbanan yang tidak tulus
karena dilakukan dengan mengharapkan pamrih atau untuk suatu tujuan
tertentu. Persembahan atau pengorbanan ini dilakukan demi mendapatkan
kemasyhuran dan ada juga yang demi memamerkan kekayaan dan kekuasaan
seseorang.
c. Persembahan secara tamasik adalah persembahan tanpa
iman, yang dilandasi akan maksud-maksud gelap. Persembahan atau
pengorbanan ini bertolak belakang dengan ajaran-ajaran suci.
14. Pemujaan
kepada para dewa, kepada yang lahir dua kali, kepada para guru, dan
kaum bijaksana; kemurnian, kejujuran (yang tidak ditutup-tutupi),
disiplin spiritual bagi diri, dan tidak menyakiti siapapun — inilah yang
disebut sebagai tapa-tapa bagi raga ini.
15. Kata-kata
(wicara) yang tidak menyakiti seseorang, yang jujur, menyenangkan dan
menguntungkan, dan mempelajari buku-buku suci secara konstan - inilah
yang disebut sebagai tapa-tapa wicara ini.
16. Ketenangan
pikiran, kelembutan, diam-diri, kendali-diri, berpikir (dan juga merasa)
secara baik dan murni - inilah yang disebut tapa-tapa pikiran ini.
Tapa
atau disiplin spiritual bagi seseorang pun dibagi tiga. Tapa yang
benar adalah disiplin diri yang dilakukan pada raga, kata-kata (mulut
dan pembicaraan) dan pikiran kita masing-masing sebagai berikut:
a.
Tapa atau disiplin pada raga itu adalah dengan menyembah dan memuja
kepada Yang Maha Esa secara teratur dan konstan; menyembah dan bekerja
untuk para guru dan orang-orang yang bijaksana yang menjadi tempat kita
belajar, kepada para pendeta dan Brahmin yang kita hormati dan pada
individu-individu yang agung dan suci ajaran-ajarannya. Dalam tapa untuk
raga ini tercakup juga disiplin yang kuat dalam membersihkan tubuh kita
dari berbagai kekotoran duniawi dan juga benda-benda lainnya yang dapat
membuat kita sakit. Juga kendali pada semu; indra-indra sensual kita
adalah salah satu dari tapa-raga ini. Menjaga kesehatan raga kita dari
berbagai kemungkinan terkena penyakit kotor dan penyakit-penyakit
lainnya, berolah-raga secara teratur, berekreasi ke alam bebas,
bermeditasi adalah tapa atau disiplin bagi raga kita, yang amat vital
dan penting efeknya pada kehidupan spiritual kita.
Juga
termasuk dalam tapa-raga ini, ialah kualitas-kualitas atau sifat-sifat
seperti keterus-terangan atau kejujuran, tidak menyakiti sesama makhluk
dan usaha-usaha bramacharya, yaitu mendisiplinkan diri dan raga kita
agar jauh dari nafsu-nafsu badani. Jauhkanlah kemanjaan dalam hidup ini,
hiduplah secara sederhana saja dai lebih alami. Jangan berpikir semasih
ada pergunakan saja kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan Tuhan
kepada kita, kemudian dengan landasan pemikiran semacam ini, kita
berfoya-foya atau hidup yang mewah dan penuh dengan kenikmatan duniawi.
Tetapi berpikirlah selama diberi kesempatan dan fasilitas ini kita
malahan menggunakan secara minim dan yang perlu saja, dan ingat Yang
Maha Esa tidak pernah menciptakan uang, rumah, AC, mobil dan benda-benda
mewah lainnya, yang menciptakan semua ini adalah manusia. Yang
diciptakan oleh Yang Maha Kuasa adalah alam, jadi kembalilah ke alam
yang tak ada habis-habisnya ini, di alam yang murni ini terletak
kebahagiaan dan obat kita untuk mengatasi semua problem kita. Semua yang
nampaknya mewah dan praktis ini sebaliknya malahan membuat raga kita
sakit karena kurang gerak dan jadilah kita budak dari semua milik kita
yang mewah-mewah ini dan timbullah efek dari semua ini yang biasanya
membuat kehidupan kita makin tergantung kepadanya, dan bukan sebaliknya.
Padahal tubuh dan pikiran kita diciptakan sedemikian rupa agar makin
banyak gerak dan semakin alami hidup kita maka semakin sehatlah raga dan
pikiran kita akhirnya. Jauhilah dan kurangilah pembantu rumah-tangga
yang berlebihan jumlahnya, sebisa mungkin kita bekerja sendiri semua
urusan rumah-tangga kita dan bergeraklah semaksimum mungkin sambil
bekerja. Inilah salah satu tapa-raga kita yang sehat dan sattvik
sifatnya.
b. tapa-wicara atau disiplin pada kata-kata atau
pembicaraan kita adalah disiplin diri kita dalam bertutur-kata. Jauhilah
bualan-bualan kosong maupun kata-kata yang penuh dengan nada
kebanggaan, sombong dan egois. Selalu berkata sejujur mungkin, tulus dan
mengutarakan kata-kata yang baik, lembut dan bermakna, yang menyejukkan
hati yang mendengarkannya. Sebuah pepatah Jepang mengatakan, "Satu kata
yang lembut, menyejukkan tiga bulan musim panas." Kata-kata yang jauh
dari nafsu dan kekotoran adalah kata-kata yang harus selalu melekat pada
bibir dan pikiran kita. Gunakanlah selalu kata-kata yang dapat menolong
seseorang yang memerlukannya, (nasehat-nasehat) dan Jauhilah
argumen-argumen yang menunjukkan rasa egoisme yang pribadi, seperti "ini
punyaku, ini aku yang melakukannya, dan lain sebagainya." Jauhilah
kata-kata kasar dan didorong rasa amarah. Dekatilah Ia selalu setiap
saat, setiap waktu baik sedang bekerja maupun tidak, dan selalu
mengucapkan doa-doa, mantra-mantra suci dan "berdialoglah denganNya baik
secara verbal maupun secara mental. Inilah tapa-wicara yang penting
dilakukan kita semua, demi tercapainya disiplin spiritual kita yang
lebih tinggi, yaitu disiplin kepada dan bagiNya.
c. Tapa-jiwa
(atau pikiran) adalah: (1) Selalu membuat pikiran kita gembira dan
balans (stabil) dengan menenangkan diri dan mencari ketenangan baik di
tengah-tengah kesibukan maupun ketika sedang seorang diri. (2)
Kelembutan atau ramah-tamah, tetapi ini tidak berarti kelemahan atau
rasa pengecut, tetapi bersikap ramah, baik dan terus-terang, tenang dan
welas-asih terhadap semua makhluk, manusia dan benda-benda. (3)
Diam-diri atau tenang-diri tidak berarti kita harus bermeditasi
sepanjang hari, atau diam seperti patung, atau bagaikan orang-mati dan
tidak bergerak sama-sekali, atau juga lari dari pekerjaan dan kewajiban
kita sehari-hari, melainkan berarti mengusahakan setiap harinya untuk
sejenak meluangkan waktu kira-kira 10 menit atau satu jam, dan duduk
bermeditasi atau "berdialog" dengan Yang Maha Esa secara tenang dan
tidak terganggu. Ini baik untuk menjauhkan stress dan berbagai problem,
tetapi lebih baik secara spiritual karena akan makin mendekatkan kita
kepadaNya secara lambat laun tapi pasti. Hal ini dapat dilakukan di
kantor, rumah, di toko, atau sambil berolah-raga jalan kaki misalnya,
sambil berdiri di suatu tempat secara tenang dan lain sebagainya. Yang
Maha Esa dapat dihubungi dengan cara apa saja dan di mana saja karena Ia
Maha Hadir di alam semesta ini. Yang penting luangkan waktu sejenak
pada waktu-waktu tertentu atau secara bebas, dan berusaha tenang dan
menyatu denganNya. (4) Kendali pada pikiran dan (5) membersihkan
perasaan kita. Kedua hal terakhir ini berarti janganlah berpikir yang
tidak-tidak atau berspekulasi atau mencurigai sesuatu atau seseorang.
Tetapi fokuskanlah diri padaNya selalu dan banyak berpikirlah mengenai
hal-hal yang positif dan suci, dan yang tidak merusak jiwa dan mental
kita. Seperti raga yang harus dibersihkan setiap hari dengan air bersih,
maka jiwa dan pikiran kita pun harus dimandikan dan dibersihkan dengan
selalu berpikir tentang Yang Maha Esa dan hal-hal yang positif, bersih,
murni dan baik untuk semua yang di sekitar kita dan di seluruh alam
semesta ini, dengan doa-doa dan mantra-mantra suci bagi semuanya (di
alam semesta ini).
17. Ketiga tapa (di atas) ini disebut sattvik, seandainya dilaksanakan
dengan iman yang tinggi oleh mereka-mereka yang stabil pikirannya dan
tanpa mengharapkan pamrih.
18. Tapa-tapa yang dilakukan
demi peragaan atau pertunjukan yang penuh dengan rasa kesombongan agar
mendapatkan rasa hormat, kemasyhuran dan agar dipuja orang, disebut
sebagai tapa-rajasik, tapa ini tidak stabil dan hanya sementara
sifatnya.
19. Tapa-tapa yang mengakibatkan penyiksaan pada
diri-sendiri atau pada orang (dan makhluk lainnya), yang dilaksanakan
oleh mereka yang pikirannya telah tersesat disebut sebagai tapa tamasik.
Tapa
atau disiplin diri secara sattvik adalah kendali-raga, wicara dan
pikiran dengan penuh iman dan tanpa keserakahan. Sedangkan tapa yang
bersifat rajasik mengarah pada rasa-hormat dan kemasyhuran dan
bermotifkan sesuatu, jadi tidak tulus dan selalu mengharapkan imbalan.
Tapa tamasik bahkan merusak diri atau orang dan makhluk lain. Disiplin
yang amat keras dan fanatik, yang merusak diri sendiri tidak dianjurkan
karena sebenarnya secara spiritual malahan tidak spiritual sama sekali
dan tidak mengarah kepada pembebasan (mukti) dan Yang Maha Esa. Memang
disiplin semacam ini dapat menghasilkan kekuatan-kekuatan gaib tertentu
baik secara ragawi maupun secara batin, tetapi semua kekuatan-kekuatan
ini sebenarnya adalah hambatan-hambatan yang besar ke arah jalan
spiritual yang sejati dan penerangan Ilahi tidak akan turun karenanya.
Sebaliknya yang timbul akibat kesaktian-kesaktian ini adalah rasa
sombong dan ego yang baru sifatnya. Jadi supaya tidak sia-sia jalan
spiritual kita, dianjurkan untuk secara sederhana saja memuja Yang Maha
Esa; dan kekuatan gaib yang datang sendiri karena karuniaNya saja yang
boleh dipergunakan untuk tujuan-tujuan manusiawi dan demi Yang Maha Esa
tanpa pamrih.
Puasa yang berkepanjangan dan menyiksa diri,
kemudian praktek-praktek atau ritus-ritus yang merusak tubuh, yang
menyiksa tubuh, tidak pernah dianjurkan oleh guru-guru maupun
ajaran-ajaran suci di dunia ini. Lebih baik melakukan suatu disiplin
diri yang tidak terlalu keras dan bersifat kejam, tetapi tidak juga yang
santai-santai sifatnya. Yang dianjurkan dengan disiplin ini adalah
pengendalian dan nafsu-nafsu kita yang kalau tidak diajarkan yang baik
akan selalu bergentayangan ke arah obyek-obyek sensual. Semua disiplin
ini juga sebenarnya mengajarkan kita untuk membersihkan dan menguatkan
diri dan jiwa kita, guna menghadapi semua cobaan hidup sehari-hari,
semua suka dan duka, semua kesenangan dan kesusahan, kenikmatan dan
penderitaan secara stabil. Bukankah hidup kita sehari-hari tidak lain
dan tidak bukan ibarat ujian-ujian yang berat saja. Semua itu bisa
dihadapi secara stabil dan teguh, jika kita terbiasa akan disiplin diri
ini. Setiap tindakan disiplin diri yang sejati seharusnya menghasilkan
suatu tekad yang kuat dalam berbagai tindakan dan pemikiran kita,
menghasilkan suatu rasa kasih-sayang yang positif terhadap semua makhluk
dan sesama kita yang menderita, menjauhkan kita dari rasa ego, rasa
marah, dan keinginan-keinginan pribadi kita yang selalu tak pernah
kunjung habis.
Suatu tapa yang baik dan sejati akan
menghasilkan seseorang yang tegar imannya, yang aktif bekerja, berdoa,
memuja Yang Maha Esa tanpa pamrih, yang aktif menolong siapa saja tanpa
pamrih, yang aktif berekreasi dan berolah-raga secara sehat, yang
berkewajiban penuh kepada semua kewajiban-kewajibannya di lingkungannya,
di negaranya dan tempat-tempat yang berhubungan dengan orang itu
sendiri, terutama kewajibannya kepada Yang Maha Esa. tapa yang sejati
menghasilkan sesuatu yang amat besar nilainya secara spiritual dan
kejiwaan bagi seseorang yang melakukannya secara sejati. Sukar
dilukiskan ketenangan orang semacam ini, sukar dikatakan akan kekuatan
jiwanya, karena ketegaran dan kepasrahannya pada Yang Maha Esa akan
menghapus semua rasa takutnya pada apapun juga di dunia ini selain Yang
Maha Esa. Kalau ada yang ingin anda salibkan atau kuburkan sebelum kita
ini binasa, maka saliblah atau kuburkanlah pikiran dan jiwa anda yang
penuh polusi, agar jauh dari kekotoran-kekotoran duniawi. Dengan jiwa
dan pikiran yang terkendali, bersih dan murni akan dihasilkan raga
perbuatan yang bersih, suci, murni dan bebas dari polusi duniawi.
Jauhilah unsur-unsur kenikmatan yang berlebihan dan juga unsur-unsur
yang memancing kenikmatan-kenikmatan ini, kendalikan diri, pergunakan
semua fasilitas yang diberikan olehNya secukupnya saja sesuai kebutuhan
kita, dan jangan sekali-kali menghamburkan tenaga, pikiran dan fasilitas
anda pada semua yang berbau duniawi ini. Kibarkanlah panji-panji
kebajikan mulai dari diri kita sendiri, dan bertapa atau berdisiplin
dirilah secara sejati dan murni, inilah penyaliban atau penguburan diri
kita yang sejati.
Kita pun harus belajar untuk menjadi miskin
dalam hidup ini, bukan berarti lalu setiap orang mengubah dirinya
menjadi peminta-minta, tetapi baik penampilan dan kehidupan sehari-hari
diubah sederhana. Pola hidup sederhana jangan hanya dijadikan semboyan
pemanis bibir saja, tetapi harus dilaksanakan secara lahir dan batin,
dimulai sebaiknya semenjak dini. Dan ini adalah tanggung-jawab
orang-orang tua sebenarnya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Seandainya anda seorang yang hartawan, mulailah berdisiplin diri dengan
tinggal di sebuah rumah yang sederhana saja tetapi baik dan sehat
lingkungannya, berpakaian dan makan secara sederhana saja tetapi sehat
dan penuh gizi, dan bersifat makanan sattvik, karena yang penting adalah
berpikir dan bertindak sattvik. Seharusnya kita menyadari bahwa manusia
ini sebenarnya amat miskin, karena sewaktu lahir kita dikirim ke dunia
ini dalam keadaan telanjang-bulat dan sewaktu mati nanti apa yang akan
kita bawa serta? Semua ini hanya pinjaman dan ilusi saja, sebenarnya
hanya penunjang saja untuk kehidupan kita, lalu untuk apa serba mewah
dan gemerlapan, kalau yang terpakai hanya sekedar saja dan sisanya dalam
jumlah yang besar hanya sebagai dekor dan penghias belaka? Sewaktu
berlebihan inilah kita belajar hidup sederhana, agar di kemudian hari
sewaktu mengembalikan semua ini kita sudah siap sedia sama seperti kita
datang ke dunia ini.
Intisari dari semua tapa dan disiplin
diri spiritual ini ialah: Disiplin dan kendalikan diri anda sebegitu
rupa agar anda jauh dari rasa memiliki, rasa ego, dan rasa pamrih. Hanya
Yang Maha Esa saja yang seharusnya tampil sebagai tujuan kita bekerja,
dan hanya Ia saja terpikir senantiasa dalam jiwa sanubari kita,
kosongkanlah, sekosong-kosongnya jiwa dan pikiran kita dari semuanya
yang berbau duniawi. Kalau sudah kosong secara sejati, maka Yang Maha
Esa akan mengisinya!
20. Pemberian yang diberikan, terdorong
oleh rasa kewajiban, kepada seseorang tanpa mengharapkan sesuatu
kembali, dan diberikan di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat
dan kepada orang yang membutuhkannya --pemberian ini disebut sattvik
(bersih).
21. Bila suatu pemberian diberikan dengan itikad
mendapatkan sesuatu imbalan atau dengan harapan bahwa di kemudian hari
akan ada balasannya, atau diberikan secara tidak ikhlas - pemberian ini
disebut rajasik (bersifat mementingkan diri sendiri).
22. Pemberian
yang diberikan pada tempat dan waktu yang salah atau kepada orang yang
tak pantas menerimanya, atau diberikan tanpa rasa hormat atau dengan
diiringi caci-maki — pemberian ini disebut tamasik (gelap).
Terdapat
tiga jenis pemberian dana atau perbuatan amal yang jelas diperinci di
atas, yang masing-masing didasarkan pada sifat-sifat seseorang. Seperti
kata Nabi Muhammad SAW, maka sebenarnya memberikan dana atau perbuatan
amal itu lebih ditegaskan pada itikadnya, contoh: memberikan air pada
seorang musafir yang kehausan adalah dana, membersihkan batu atau
benda-benda tajam dari jalan agar orang lain tidak tersandung dan
tertusuk adalah dana, tersenyum memberi semangat pada seseorang yang
kesukaran adalah dana. Menggali sumur, menyediakan tempat minum,
membangun jalan, membangun tempat ibadah dan menanam pepohonan demi
kebutuhan masyarakat dan melestarikan alam adalah dana. Bukankah
sebenarnya dengan kata lain pemberian dana atau perbuatan amal itu
adalah kekayaan seorang manusia yang sebenarnya. Pemberian tidak selalu
identik dengan uang, tanpa uangpun seseorang dapat memberi tanpa
habis-habisnya dan itulah kekayaan kita yang sejati. Sadarkah kita akan
hal ini? Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Sewaktu seseorang meninggal
dunia, orang-orang bertanya harta-benda apa saja yang telah
ditinggalkannya, tetapi para malaikat bertanya amal-perbuatan baik apa
saja yang telah dilakukannya sebelum ia meninggal dunia? Pemberian yang
ikhlas dan tanpa pamrih adalah kekayaan sejati, seperti kata sebuah
pepatah: "Hanya orang kaya yang dapat memberikan tanpa merasakan
kehabisan, yang miskin hanya dapat menerima saja tanpa memberi kembali!"
Seseorang disebut miskin kalau sudah menerima apa adanya masih saja
merasa kurang dan meminta terus, dan hal ini berlaku untuk orang-orang
yang merasa kaya-raya tetapi selalu haus akan harta-benda, kedudukan dan
hal-hal duniawi lainnya. Sebaliknya seorang petani yang miskin secara
duniawi mungkin adalah orang yang amat kaya, karena setiap harinya ia
bersyukur ke hadirat Yang Maha Esa untuk semua yang didapatkannya hari
itu. Kalau saja semua ini dapat dihayati oleh semua insan di dunia ini,
damai sentosalah kita semuanya.
Dana atau amal adalah
perbuatan yang amat mulia sifatnya, yang dianjurkan oleh semua agama di
dunia ini, karena dengan jalan ini lahirlah rasa simpati yang dalam dari
hati nurani kita kepada makhluk-makhluk ciptaan Yang Maha Esa yang
lainnya seperti sesama manusia, fauna, flora, makhluk-makhluk halus dan
lain sebagainya. Dana atau amal yang sejati menciptakan kedamaian,
kebahagiaan, membuat hidup ini berarti bagi sesamanya. Perbuatan dana
atau amal adalah salah satu kreasi Yang Amat Indah dan Penuh Makna,
ciptaan Yang Maha Esa. Memberikan dana adalah ibarat menanam pohon yang
cabang-cabangnya menjulang tinggi langit tanpa habis-habisnya.
Memberikan tanpa pamrih adalah inti dari kebahagiaan sejati atau berkah
dari Yang Maha Esa sesungguhnya.
Lihatlah Ibu Theresia,
pemenang hadiah Nobel untuk perdamaian dari India, yang telah menolong
jutaan manusia hina-papah di India dan di bagian-bagian lain di dunia
tanpa mengharapkan suatu imbalan apapun juga. Memulai usahanya tanpa
uang sepeserpun dan hanya berbekal iman pada Tuhan Yang Maha Esa ia
masih dapat menolong ribuan manusia setiap harinya. Ibu Theresia inilah
lambang dari Yang Maha Esa sesungguhnya dalam bentuk manusia di muka
bumi ini, yaitu memberi tanpa pernah merasa akan kehabisan, dan tetap
saja Ibu yang suci ini berkata, "Tuhan belum memberikan aku suatu
kesuksesan, la hanya telah membuatku beriman." Om Tat Sat.
23. "Om Tat Sat" - inilah yang dikatakan sebagai ketiga faktor penting
dari Sang Brahman (Yang Maha Esa). Dengan ini terciptalah para Brahmin
di masa lalu, Veda-Veda dan persembahan-persembahan (pengorbanan).
24. Maka
dengan itu semua tindakan pengorbanan, persembahan (pemberian) dan
disiplin spiritual yang dianjurkan skripsi-skripsi suci, dimulai dengan
ucapan kata Om oleh mereka-mereka yang mengetahui akan Sang Brahman.
25. Mereka
yang menginginkan pembebasan (penerangan) memulai tindakan pengorbanan,
disiplin dan persembahan mereka dengan ucapan kata Tat (Itu), tanpa
mengharapkan pamrih.
26. Kata Sat dipergunakan dengan
menyadari realitas dan kebenaran. Begitu juga, oh Arjuna, kata Sat
dipergunakan untuk tindakan-tindakan terpuji.
27. Keteguhan
dalam pengorbanan, disiplin-disiplin spiritual dan pemberian dana juga,
disebut "Sat," dan juga tindakan yang terpusat pada hal itu disebut Sat.
28. Apapun
yang dilakukan tanpa iman, apakah itu persembahan (dalam suatu
pengorbanan), dana atau disiplin spiritual, atau apa saja yang lain
daripada itu, disebut asat, oh Arjuna! Pekerjaan semacam itu tak ada
nilainya (artinya) baik di sana maupun di sini.
Om Tat Sat
adalah tiga patah kata mistik yang disebut-sebut di pustaka-pustaka suci
Hindu. Ada hubungannya yang amat dalam dan bersifat mistik, suci,
sekaligus spiritual antara kata-kata ini dengan semua tindakan yagna,
tapa dan dana.
Om Tat Sat adalah tiga patah kata yang menyatu
artinya dan merupakan manifestasi dari Yang Maha Esa, Sang Para Brahman
dan semua tindakan-tindakanNya. Kata Om berarti supremasi Yang Maha Esa
yang tanpa ada tandingannya. Yang Maha Esa atau Sang Brahman begitu
tinggi dan agung bentuk dan sifatNya sehingga tidak ada suatu kata pun
yang dapat menggambarkanNya atau melukiskanNya dengan pasti apa itu
sebenarnya Yang Maha Kuasa ini. Kata Om maka dari itu dijadikan lambang
dari supremasi atau keagunganNya. Om kata filsuf shankara dapat berarti
"setiap kata tunduk di hadapan Yang Maha Esa." Begitu agung makna simbol
atau kata Om ini bagi orang-orang Hindu. Manusia hanya bisa menangkap
apa arti Yang Maha Esa tetapi tidak bisa menggambarkan atau
mengekspresikan Apa Itu Yang Maha Esa sebenar-benarNya."
Setiap
agama berusaha untuk menggambarkan atau melukiskan atau bahkan
memberikan nama dan arti untuk Yang Maha Esa dengan versinya
masing-masing, tetapi sesungguhnya kita manusia begitu terbatas
kemampuannya sehingga tak akan pernah dapat dan tahu apa itu Yang Maha
Esa sesungguhnya dengan segala manifestasi dan keagunganNya. Setiap
agama dan ajaran suci memanggilNya dengan nama dan sebutan suci
masing-masing, begitu juga para Aryan yang menjadi nenek-moyang dari
orang-orang Hindu di India memberikanNya suatu nama atau sebutan suci,
yaitu Om. Dengarkanlah gema nama ini dalam alunan Sang Bayu, dan
gelegarnya suara ombak, dalam alunan aliran sungai yang mengalir, dan
dalam cahaya bintang-bintang di langit, dalam kicauan dan lagu-lagu alam
para burung di alam-bebas, dan dalam gegap-gempitanya suara halilintar,
dalam lagu-lagu pujaan seorang bhakta (pemuja)Nya, dalam suara
lonceng-lonceng di gereja dan di kuil, dalam puja-puji dan kidung-kidung
suci di stupa-stupa dan suara azan yang merdu di mesjid-mesjid. Semua
ini menyebut nama Yang Maha Esa, yang Tak Ada TandinganNya: bagi orang
Hindu semua itu suara Om yang tak ada taranya di alam semesta ini.
Sebutkanlah kata sakti ini sekali, dua kali, tiga kali dan seterusnya,
karena Om inilah lagu kehidupan, lagu Yang Maha Esa, lagu penciptaan
Yang Maha Esa, dengan ini diciptakannya alam semesta beserta segala
isinya. Sebutkanlah mantra Om ini tujuh kali atau seterusnya dan
biasakanlah kita ini selalu merasa hadir di tengah-tengah kebesaran Yang
Maha Esa, di tengah-tengah Yang Maha Esa Itu Sendiri.
Om
adalah meditasi, Om adalah kesucian diri kita, Om adalah hidup kita
sehari-hari, Om adalah aspirasi kita kepada Yang Maha Esa, kepada Sang
Kreshna Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Om adalah setiap tindakan kita
yang tanpa pamrih, tanpa keserakahan dan motivasi apapun juga. Hadirkan
diri kita secara suci-bersih di hadapan setiap hal, tindakan dan
kewajiban kita dengan memulai kata Om selalulah menghayatiNya dengan
tulus dan murni.
Kata Tat mengekspresikan universalitas Sang Brahman,
Yang Maha Esa. la adalah Sifat UniversalNya. Tuhan Yang Maha Esa ini
menurut Shankara adalah kesadaran Yang Maha Suci. Tat dengan kata lain
dapat dan baik diartikan sebagai Kesadaran Universal Yang Suci.
"Bermeditasilah," kata Shankara, "di dalam kesadaranmu sendiri."
Meditasi ini mengarah ke arah penerangan atau pembebasan. Kata Sat
mengekspresikan Kebenaran dan Kebaikan Sang Para Brahman. Sang Brahman
ini adalah Yang Maha Baik, dan Ia hadir dalam setiap jiwa kita dan para
makhluk-makhluk lainnya sebagai Yang Baik, Yang Suci, dan berbagai
manifestasiNya seperti Itikad Yang Suci, Itikad Yang Baik, semua unsur
yang baik dan suci dalam diri kita. Ia menuntun kita dan menyadarkan dan
memberitahukan kita apa itu yang baik dan apa itu yang buruk. Tuhan
Yang Maha Esa adalah Itu. Ia juga berarti "Apa," yaitu "Kebaikan." Sat
juga berarti memproduksi yang baik dan suci. Semua tindakan tanpa pamrih
dan demi kewajiban kita kepada Yang Maha Esa adalah Sat. Semua tindakan
yang bukan demi Yang Maha Esa adalah asat, tidak realis, tidak benar
atau tidak nyata.
Om Tat Sat adalah mantra suci Bhagavat Gita.
Mengulang-ulang mantra ini adalah suatu tindakan sakramental, yang akan
membukakan pintu berkahNya bagi yang melakukannya. Orang-orang Kristen
dan Buddhis, Muslim dan Yahudi pun masing-masing mempunyai ucapan-ucapan
atau formula-formula suci, yang kalau diucapkan menjadi semacam
jembatan spiritual bagi yang melakukannya dengan Yang Maha Esa, dan yang
dapat memberikan semacam sakti atau kekuatan spiritual bagi yang telah
menghayati kata-kata suci ini. Kata-kata suci ini juga menjauhkan kita
dari segala efek-efek dan pengaruh-pengaruh negatif yang gelap, buruk
dan yang bersifat iblis. Penghayatan akan mantra-mantra suci
mempengaruhi jiwa kita sehingga lama-kelamaan menjadi suatu kesatuan dan
tenaga spiritual bagi jiwa-raga kita. Berbagai kata suci dalam berbagai
agama dapat diterangkan secara singkat seperti berikut ini: "Sat Nam."
"Tuhan," "kasih," "Kreshna," "Kristus," "Hare Ram," "Hari Bol," "Haq
Maujud," "Rahman," "Rahim," dan banyak lainnya. Kalau diucapkan
berulang-ulang setiap saat, hari dan pada setiap kesempatan yang
tersedia, dengan dedikasi dan kesetiaan kita yang tulus, dengan
penghayatan dan maksud membersihkan dan menyucikan diri dan pikiran
kita, dan sambil menjauhkan segala ego kita, maka semua itu akan
mempertebal iman kita kepadaNya. Seorang sufi pernah berkata, "Pintu
kata-kata ini akhirnya terbuka dan Sang Jiwa pun masuk kedalam Keadaan
Yang Nyata." Mantra-mantra atau kata-kata suci yang diulang-ulang
sepanjang hidup kita pasti suatu saat akan mengantar kita ke alamNya
yang penuh dengan cahaya dan penerangan Ilahi Bagi seorang Hindu, setiap
bentuk perbuatan, pekerjaan, yagna dan lain sebagainya dimulai dengan
kata-kata Om Tat Sat. Mulailah semuanya dengan kata Om, lalu mulailah
dengan puja atau mantra yang akan dibacakan. Tidak ada pekerjaan, mantra
atau suatu tindakan yang tidak dilakukan tanpa diawali kata Om. Inilah
salah satu kaidah atau hukum suci yang terdapat di kitab-kitab suci
Hindu kuno, yang kesemuanya juga adalah hasil kerjaNya semata, hasil
kerja dari Om Tat Sat Itu Sendiri, begitu pun dengan semua ciptaan dan
kreasiNya, semua kasih dan berkahNya, semuanya adalah Om Tat Sat,
berawal dari Itu dan berakhir ke Itu juga. Demikianlah, seyogyanya kita
memulai semua perbuatan kita, apa saja pekerjaan atau perbuatan itu
dengan kata Om Tat Sat.
Semua tindakan tanpa kata-kata suci
adalah asat. Walaupun semua tindakan baik sifatnya, tetapi tanpa
penghayatan akan kata-kata suci ini secara sejati tidak akan
menghasilkan apapun juga baik di dunia ini maupun di loka-loka lainnya.
Om Tat Sat adalah pencetusan iman kita kepadaNya, dengan kata lain
mengingatNya dan mendahulukanNya untuk dan dalam setiap tindakan atau
perbuatan kita yang berarti mengutamakanNya dan bekerja demi la semata
secara tulus. lalah semua ini sebenarnya, la juga Hidup dan Tujuan
kehidupan ini sebenarnya. Tanpa iman kepada Yang Maha Kuasa, semuanya
jadi tidak berarti. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu
Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna
dan Arjuna, bab ini adalah bab ketujuh-belas yang disebut:
Shraddha Traya Vibhaga Yoga Atau
Yoga Ketiga Bentuk Sifat Kepercayaan (Iman).